Ingatkah
kau?
Dulu
kau menyebutku penakut. Dan aku tidak
menyanggahnya. Aku takut pada banyak
hal. Aku takut tenggelam, karenanya aku
takut pada bentang-bentang air yang luas.
Aku takut jatuh, karenanya aku takut pada tempat-tempat yang
tinggi. Aku takut petir, karenanya aku
takut pada rinai-rinai hujan yang deras.
Tapi,
ketakutan terbesarku sesungguhnya adalah dirimu.
“Kau…siapa?”
Dan
kau mewujudkannya menjadi nyata.
Ingatkah
kau? Ketika itu usia kita hanya dua jari
melebihi satu rentang tangan. Musim
panas bersinar begitu terik di puncak langit.
Peluh memenuhi wajahmu, tapi kau terus berlari. Terengah-engah, aku membawa langkah-langkah
kecilku mengikutimu. Kau lalu tertawa
ketika melihat keterkejutanku ketika kita sampai. Sungai Naerincheon. Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang
kutakuti. Kau melangkah hingga airnya
mencapai pinggangmu, berseru padaku untuk menyusulmu.
Kedua
kakiku gemetar, kugelengkan kepalaku kuat-kuat.
Dan kau serta merta menarik tanganku, membuatku tercebur tepat di
depanmu. Sesaat aku panik. Kutendang-tendangkan kakiku, kuayun-ayunkan
tanganku, berusaha keluar. Tapi lalu
kurasakan bulir basah itu begitu sejuk di kulitku, pasir lembut di dasar sungai
membelai telapak kakiku. Lalu kau
tertawa lebar. Mengalahkan terang
matahari di atas sana.
“Dengan
begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”
Sejak
saat itu, aku tak lagi takut pada alir air.
Kau menyembuhkan ketakutanku.
Tapi, kemudian kau memberiku ketakutan lain, yang tak pernah bisa terobati.
Hiasan
terakhir telah kupasang. Manisan-manisan
kesukaanmu telah kususun, bersama minuman-minuman favoritmu. Di tengah-tengahnya, sebuah kue besar telah
kuletakkan. Kita berjanji akan
merayakannya bersama, hari yang telah begitu lama kau tunggu-tunggu. Hari debutmu.
Akhirnya, kau akan menyanyi di depan banyak orang, mempesona mereka
semua dengan indah denting suaramu. Aku
tak sabar ingin memberimu peluk dan selamat.
Tapi
bukan kau yang muncul di depan pintuku.
Melainkan kabar yang disurukkan padaku dengan suara bergetar, membawa
gelap menutupi sekelilingku.
“Jonghyun-ah,
Hyorin kecelakaan.”
Ingatkah
kau? Ketika itu sembilan jari kita
gunakan untuk menunjuk usia. Udara musim
gugur bergaung di langit. Sekali lagi
kau berlari, dengan aku kepayahan mengikutimu di belakang. Kau berhenti di sana, di salah satu pohon
tertinggi di bukit desa Hongcheon.
Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang kutakuti. Kau memanjatnya dengan lincah, tak
mempedulikan ujung gaunmu terserempet dahan-dahan yang menyilang, dan melambai
padaku untuk menyusulmu. Aku menggeleng
kuat-kuat. Tapi kau tak pernah menyerah
pada keengannanku. Kau kembali turun,
dan serta merta menarikku naik. Sesaat
aku panik. Kupeluk erat-erat batang
tubuh itu, berusaha seimbang. Tapi lalu
kau menunjuk pada vista di bawah sana, dan kulihat rimbunan dedaunan dalam
gradasi kuning, jingga, dan merah yang indah memanjakan mataku, dibentuk
kawanan pohon yang berjejer rapat. Lalu
kau tertawa lebar. Mengalahkan cemerlang
kemuning musim gugur.
“Dengan
begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”
Sejak
saat itu, aku tak lagi takut pada ketinggian.
Kau menyembuhkan ketakutanku.
Tapi ketakutan baruku semakin membesar kini, semakin tak terobati.
Tak
bisa lagi kuhitung berapa lama aku menunggu di sisimu, berharap kau mau membuka
kedua matamu. Tak bisa lagi kuhitung
berapa lama aku lupa cara tersenyum. Tak
bisa kuhitung lagi berapa lama aku merasa hidup terampas dariku. Tanpamu, bagiku esok tak pernah tiba. Matahari tak pernah terbit.
Setelah
berminggu-minggu yang bagai selamanya untukku, akhirnya waktu jenuh
mempermainkanku. Atau barangkali tak
lebih dari sekedar mengasihaniku.
Akhirnya, ia kembalikan kau padaku.
“Kau…siapa?”
Namun
rupanya, waktu masih ingin menyiksaku.
Ingatkah
kau? Ketika itu dua tangan tak lagi
cukup untuk mengukur usia kita. Angin
musim semi berhembus di udara. Kali itu
kau tidak berlari. Dan tak ada aku yang
mengikutimu, melainkan aku yang meringkuk di sudut kamarku, melengkungkan
tubuhku, menekankan kedua tanganku rapat-rapat pada telingaku. Deras hujan menghantam daratan, mencipta
detam-detam yang memekakkan, memecut gelegar-gelegar halilintar yang
menghardik. Kau membujukku untuk
keluar. Aku menggelengkan kepalaku
kuat-kuat. Tapi kau tak pernah mengalah
pada sanggahku. Kau meraih tanganku,
membuka telapaknya menghadapmu. Dan kau
bentuk segambar katak di sana.
Aku
tak paham. Lalu kau ceritakan alasan
mengapa katak selalu bersuara ketika hujan turun. Mereka menghibur langit yang bersedih,
berusaha menentramkan mereka agar terhapus air mata yang mereka rupakan dalam
hujan, dan isak yang mereka suarakan dalam petir-petir. Karenanya, kau sebut aku akan baik-baik saja
selama ada goresan katak itu di tanganku.
Ia akan menjagaku selama hujan, sebagaimana kau akan menemaniku
melewatinya. Lalu kau tertawa
lebar. Mengalahkan sejuk aroma
rerumputan ketika hujan mereda.
“Dengan
begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”
Sejak
saat itu, aku tak lagi takut pada guruh hujan.
Kau menyembuhkan ketakutanku.
Tapi ketakutan baruku semakin memadat kini, semakin tak mungkin
terobati.
Aku
kembali menunggu di sisimu. Dokter tak
sanggup menghiburku dengan memberi waktu pasti kapan segala ingatanmu akan
kembali. Dan mereka melarangku terlalu
banyak menyodorkan bukti-bukti kenanganmu, agar kau tak terbebani, agar tak
bertambah luka yang tak perlu selain yang telah bersarang di kedua tungkaimu. Biarkan kau perlahan mengingatnya sendiri, ia
sebut.
Tapi,
bagaimana aku bisa bertahan tanpa kau bahkan mengenaliku? Tanpa kau ingat semua waktu yang kita lalui
bersama? Tanpa kau ingat semua hari yang
kita hidupi bersisian?
Dan
tak banyak perbaikan yang terlihat pada kodisimu. Tak banyak jawab kau beri pada perkataan yang
diarahkan padamu. Tak sepenuhnya tampak
terjaga kedua matamu. Kau hanya
berbaring diam, menatap ke kejauhan di luar bingkai jendela. Pandanganmu kosong, tak ada pengenalan dan
pemahaman apa pun di dalamnya.
Barangkali kau bahkan tak menyadari keberadaanku di sana.
Dan
aku lelah. Lelah dengan waktu yang masih
bermain-main denganku. Mengembalikan
ragamu tapi tidak dirimu sepenuhnya. Aku
bangkit dari dudukku, dan kau tak menoleh.
Kurogoh saku untuk mengeluarkan sebungkus kecil manisan kesukaanmu,
meletakkannya di sisi bantalmu meski aku tahu itu sia-sia. Hanya bagian dari secercah harapanku agar kau
ingat meski sejumput akan masa lalumu.
Tak
kuharapkan kau mencegahku pergi. Maka
aku terperanjat ketika kau mencengkeram ujung kemejaku ketika berbalik,
menghentikan langkahku. Kau menatapku
lurus-lurus ke dalam kedua mataku.
Manisan itu dalam genggaman tanganmu yang lain. Untuk pertama kali setelah berhari-hari, kau
akhirnya bersuara.
“Aku
ingat,”
Mataku
terbelalak. Aku kembali duduk di sisimu,
merengkuh jemari mungilmu dalam tangkupan kedua tanganku, seolah menguatkanmu
untuk mengingat lebih jauh.
“Aku
ingat,” ulangmu, matamu berkilat dalam kesadaran baru. “aku ingat berenang di sungai Naerincheon
saat musim panas, ketika itu usiaku tujuh tahun.”
Kau
menungguku bereaksi, dan aku mengangguk-angguk membenarkan, tak bisa kutahan
senyum untuk terpampang di wajahku. Kau
menyimpul lengkung serupa kemudian.
“Aku
ingat,” lanjutmu, “aku ingat memanjat pohon di bukit Hongcheon saat musim
gugur, ketika itu usiaku sembilan tahun.”
Kau
kembali menunggu reaksiku, dan sekali lagi aku mengangguk-angguk
membenarkan. Simpul di wajahmu merekah
dalam senyum yang lebih lebar kini.
“Akhirnya,
aku ingat—“
Kuharap
kau juga tak lupa satu masa ini. Ketika
itu kita membutuhkan tiga tangan untuk menjabarkan usia kita. Musim dingin menyelimuti hamparan di luar
sana. Kau dan aku tak lagi berlari. Kita berlindung dari dingin di balik dinding,
mengamati butir salju yang turun perlahan menitiki pemandangan. Kau menyandarkan dagumu di tepi kisi jendela,
dan aku memetik senar gitarku, mencipta lagu untuk latar waktu damai itu.
“Aku
akan menjadi penyanyi,”
Kau
mengucap tiba-tiba, mendongak dari lamunanmu.
Kau telah berkali-kali mengatakannya.
Sejak kau dengar Dongwoo-sunbae
mengalunkan serenade itu saat festival sekolah.
Kau segera takluk dalam karisma suaranya, sebagaimana kau segera jatuh
pada pesona dirinya. Kau bergabung
dengan klub musik tak lama setelahnya.
Awalnya kuanggap kau hanya sekedar didera kekaguman sesaat, meski tak
kusangkal kau memiliki kemerduan alami sedari mula.
Tapi
lihatlah binar matamu kini. Kesungguhan
itu tak terbantahkan. Selantang tegas
suaramu ketika mengucapkannya. Maka
tahulah aku kau tak mengada-ngada. Sudah
kau temukan impian untuk jadi destinasi hidupmu.
Dan
seperti aku yang tak pernah lengah mengikutimu, saat itu juga kuputuskan untuk
menyusulmu. Karena meski tak ada lagi
ketakutanku yang tersisa setelah kau sembuhkan kesemuanya, kau menumbuhkan
ketakutan baru itu padaku. Ketakutan
yang lebih besar dari apa pun yang pernah kurasakan.
Ketakutan
akan dirimu. Ketakutan akan dirimu
menghilang dariku.
Kita
habiskan bertahun-tahun berlatih setelahnya, bersama-sama. Keberuntungan membawa kita pada satu agensi
besar yang menjanjikan karir kita, satu tempat yang sama di mana Dongwoo-sunbae melewatkan tahunan masa remajanya
sebagai trainee, sebelum pada
akhirnya ia mencapai debutnya. Sukses
menghampirinya tak lama setelahnya, memecut kita untuk berjuang sama keras
untuk dapat menyamainya. Tapi yang
kutahu, bukan sekedar menyamainya yang kau inginkan.
Dan
kusadari bertambah satu yang memandang suaramu seindah sebagaimana aku selalu
menganggapnya. Ia memulai dengan satu
puji kecil pada sepotong bait yang kau nyanyikan, diikuti perlakuan yang
melebihi sekedar perhatian senior pada juniornya. Sepotong besar waktu yang biasanya selalu
jadi milik kita terbagi dengan kehadirannya kemudian. Dan aku tak lagi tampak bagai satu-satunya
bagimu. Tapi kutahan rasa itu, tak ingin
merusak senyummu yang cerah tiap kali kau sebut namanya.
Hingga
satu malam itu, kau beri kabar yang tak akan pernah kulupakan. Kabar yang menggembungkan hatiku dalam
gempita dan menghancurkannya menjadi kepingan segera setelahnya. Suaramu terdengar bergemrincing begitu riang
di telepon saat itu. Kau sebut kau punya
dua berita gembira untukku.
Satu
yang pertama, kau katakan akhirnya esok adalah hari debutmu. Kita segera bersorak bersamaan, tak terungkap
betapa besar kebahagiaan itu, mengetahui tahun-tahun penuh peluh dan engah itu
akhirnya akan segera terbayar, segala pengorbanan tak terkira itu tak akan berakhir
sia-sia. Dengan nada yang lebih bahagia,
lalu kau ucap yang kedua—Dongwoo-sunbae
membalas perasaanmu padanya.
Seketika
tawaku menguap, senyumku lenyap. Rasa
sakit yang tak bisa kugambarkan menancapkan kukunya dalam-dalam di ulu
hatiku. Tapi di ujung sana, masih
kudengar kau mengulas nada riangmu.
Mengisahkan pengakuannya padamu.
Menyebut namanya membentuk kata “kami”.
Kami. Bukan lagi kita.
Tapi
aku tak pernah sanggup merusak senyummu.
Aku terlalu mengasihimu untuk tega melakukannya. Maka kupaksakan tawa. Bahkan mengusulkan perayaan untukmu. Untuk dua kabar gembiramu. Kudengar kau memekik senang, mengucap terima
kasih tak terhingga. Menyebutku sahabat
terbaik di dunia. Sekali lagi kuku-kuku
pedih itu menghujamku dari dalam—dan kupalsu senyum untuk menutupinya.
Setidaknya,
aku masih memiliki arti bagimu.
“—aku
ingat segala hal yang kulakukan bersama Dongwoo-oppa itu.”
Kurasakan
detak jantungku seolah berhenti.
Kukerjapkan mataku, berharap pendengaranku telah menipuku. Tapi tidak.
Kedua matamu menjawabnya. Binar
sungguh-sungguh itu ada di sana. Tak
terbersit dusta.
Kau
mewujudkan ketakutanku menjadi nyata.
Kau menggantikan bayang sosokku dalam potret-potret kenanganmu dengan
siluet lain. Dengan seorang yang
satu-satunya pernah kau beri definisi cinta.
Kau
akhirnya benar-benar menghilang dariku.
Aku
tak lagi menunggu. Minggu-minggu yang
hadir setelahnya tak memberi banyak ubah pada ingat dan anggapmu. Hanya Dongwoo-sunbae yang kau ingat. Hanya
ia saja. Bersandingan dengan
memori-memori kita, dengan ia sebagai lakon mendampingimu di setiapnya—bukan
aku.
Kuputuskan
saatnya aku berhenti mengikutimu.
Saatnya aku melepasmu. Kau tak
sepenuhnya pulih, seperti yang disebut doktermu. Tapi di mataku, kau telah lebih dari sekedar
bahagia, hanya dengan memiliki Dongwoo-sunbae
di sisimu. Dan aku masih juga tak
sanggup merusak senyummu. Kubiarkan kau
dengan ingatanmu kini. Kuminta Dongwoo-sunbae untuk tak menyibak yang
sesungguhnya.
Tak
apa. Tak apa ia berdiri di atas tiap
jejakku dalam kenanganmu. Tak apa ia
melangkah dalam tiap nostlagi yang kau ungkap.
Tak apa. Selama itu membuatmu
bahagia.
Hujan
merintik di luar sana, mengembang dalam deras tak lama setelahnya. Melatari perasaanku dengan mendung yang
begitu serupa. Tapi sudah kukuatkan
tekadku. Jika tak kulepaskan kau kini,
tak akan pernah bisa aku untuk selamanya.
Kurendahkan
wajahku padamu yang terduduk di kursi roda, masih lemah oleh sisa-sisa
lukamu. Kuucapkan sampai jumpa, dan
harap semoga lekas sembuh. Kau
tersenyum, menghadiahiku satu peluk hangat.
“Terima
kasih, Jonghyun-ah.”
Kau
menyebut namaku. Tapi tak ada nada karib
yang dulu selalu menyertai di dalamnya. Kuangkat
satu lagi senyum pura-pura di wajahku, melepaskan lingkar lenganmu dariku
sebelum perih itu meledak di dadaku. Dan
dengan satu lambaian singkat, aku berbalik, melangkah menjauh. Bersiap menyambut hujan di luar sana,
mengiringi tetes yang tak akan sanggup kutahan lebih lama tetap berdiam di
sudut-sudut mataku.
Lalu
kurasakan cengkeraman itu di punggungku.
Aku menoleh, dan kulihat kau di sana.
Kau meraih tanganku, membuka telapakku menghadapmu, menggoreskan satu
bentuk di sana. Lalu kau tertawa
lebar. Mengalahkan segala indah yang
pernah kutahu.
“Dengan
begini, tak ada yang perlu kau takutkan!”
Kau
memutar kursi rodamu, kembali pada Dongwoo-sunbae
yang tersenyum membuka lengannya menyambutmu.
Kurekahkan jemariku, dan kulihat goresan yang kau tinggalkan—
—katak
penjagaku.
Bolehkah? Bolehkah kuharap masih ada meski seserpih
diriku dalam ingatanmu?
Malang,
12 Mei 2012
00:27
A/N: Just another draft for a Korean Romance writing contest. And my, romance is definitely my weakness -___-