Thursday, August 09, 2012

Helai Nostalgi


Ingatkah kau? 

Dulu kau menyebutku penakut.  Dan aku tidak menyanggahnya.  Aku takut pada banyak hal.  Aku takut tenggelam, karenanya aku takut pada bentang-bentang air yang luas.  Aku takut jatuh, karenanya aku takut pada tempat-tempat yang tinggi.  Aku takut petir, karenanya aku takut pada rinai-rinai hujan yang deras.

Tapi, ketakutan terbesarku sesungguhnya adalah dirimu.

“Kau…siapa?”

Dan kau mewujudkannya menjadi nyata.


Ingatkah kau?  Ketika itu usia kita hanya dua jari melebihi satu rentang tangan.  Musim panas bersinar begitu terik di puncak langit.  Peluh memenuhi wajahmu, tapi kau terus berlari.  Terengah-engah, aku membawa langkah-langkah kecilku mengikutimu.  Kau lalu tertawa ketika melihat keterkejutanku ketika kita sampai.  Sungai Naerincheon.  Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang kutakuti.  Kau melangkah hingga airnya mencapai pinggangmu, berseru padaku untuk menyusulmu.

Kedua kakiku gemetar, kugelengkan kepalaku kuat-kuat.  Dan kau serta merta menarik tanganku, membuatku tercebur tepat di depanmu.  Sesaat aku panik.  Kutendang-tendangkan kakiku, kuayun-ayunkan tanganku, berusaha keluar.  Tapi lalu kurasakan bulir basah itu begitu sejuk di kulitku, pasir lembut di dasar sungai membelai telapak kakiku.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan terang matahari di atas sana.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada alir air.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi, kemudian kau memberiku ketakutan lain, yang tak pernah bisa terobati.


Hiasan terakhir telah kupasang.  Manisan-manisan kesukaanmu telah kususun, bersama minuman-minuman favoritmu.  Di tengah-tengahnya, sebuah kue besar telah kuletakkan.  Kita berjanji akan merayakannya bersama, hari yang telah begitu lama kau tunggu-tunggu.  Hari debutmu.  Akhirnya, kau akan menyanyi di depan banyak orang, mempesona mereka semua dengan indah denting suaramu.  Aku tak sabar ingin memberimu peluk dan selamat.

Tapi bukan kau yang muncul di depan pintuku.  Melainkan kabar yang disurukkan padaku dengan suara bergetar, membawa gelap menutupi sekelilingku.

“Jonghyun-ah, Hyorin kecelakaan.”

           
Ingatkah kau?  Ketika itu sembilan jari kita gunakan untuk menunjuk usia.  Udara musim gugur bergaung di langit.  Sekali lagi kau berlari, dengan aku kepayahan mengikutimu di belakang.  Kau berhenti di sana, di salah satu pohon tertinggi di bukit desa Hongcheon.  Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang kutakuti.  Kau memanjatnya dengan lincah, tak mempedulikan ujung gaunmu terserempet dahan-dahan yang menyilang, dan melambai padaku untuk menyusulmu.  Aku menggeleng kuat-kuat.  Tapi kau tak pernah menyerah pada keengannanku.  Kau kembali turun, dan serta merta menarikku naik.  Sesaat aku panik.  Kupeluk erat-erat batang tubuh itu, berusaha seimbang.  Tapi lalu kau menunjuk pada vista di bawah sana, dan kulihat rimbunan dedaunan dalam gradasi kuning, jingga, dan merah yang indah memanjakan mataku, dibentuk kawanan pohon yang berjejer rapat.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan cemerlang kemuning musim gugur.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada ketinggian.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi ketakutan baruku semakin membesar kini, semakin tak terobati.


Tak bisa lagi kuhitung berapa lama aku menunggu di sisimu, berharap kau mau membuka kedua matamu.  Tak bisa lagi kuhitung berapa lama aku lupa cara tersenyum.  Tak bisa kuhitung lagi berapa lama aku merasa hidup terampas dariku.  Tanpamu, bagiku esok tak pernah tiba.  Matahari tak pernah terbit.

Setelah berminggu-minggu yang bagai selamanya untukku, akhirnya waktu jenuh mempermainkanku.  Atau barangkali tak lebih dari sekedar mengasihaniku.  Akhirnya, ia kembalikan kau padaku. 

“Kau…siapa?”

Namun rupanya, waktu masih ingin menyiksaku.


Ingatkah kau?  Ketika itu dua tangan tak lagi cukup untuk mengukur usia kita.  Angin musim semi berhembus di udara.  Kali itu kau tidak berlari.  Dan tak ada aku yang mengikutimu, melainkan aku yang meringkuk di sudut kamarku, melengkungkan tubuhku, menekankan kedua tanganku rapat-rapat pada telingaku.  Deras hujan menghantam daratan, mencipta detam-detam yang memekakkan, memecut gelegar-gelegar halilintar yang menghardik.  Kau membujukku untuk keluar.  Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.  Tapi kau tak pernah mengalah pada sanggahku.  Kau meraih tanganku, membuka telapaknya menghadapmu.  Dan kau bentuk segambar katak di sana.

Aku tak paham.  Lalu kau ceritakan alasan mengapa katak selalu bersuara ketika hujan turun.  Mereka menghibur langit yang bersedih, berusaha menentramkan mereka agar terhapus air mata yang mereka rupakan dalam hujan, dan isak yang mereka suarakan dalam petir-petir.  Karenanya, kau sebut aku akan baik-baik saja selama ada goresan katak itu di tanganku.  Ia akan menjagaku selama hujan, sebagaimana kau akan menemaniku melewatinya.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan sejuk aroma rerumputan ketika hujan mereda.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada guruh hujan.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi ketakutan baruku semakin memadat kini, semakin tak mungkin terobati.


Aku kembali menunggu di sisimu.  Dokter tak sanggup menghiburku dengan memberi waktu pasti kapan segala ingatanmu akan kembali.  Dan mereka melarangku terlalu banyak menyodorkan bukti-bukti kenanganmu, agar kau tak terbebani, agar tak bertambah luka yang tak perlu selain yang telah bersarang di kedua tungkaimu.  Biarkan kau perlahan mengingatnya sendiri, ia sebut.

Tapi, bagaimana aku bisa bertahan tanpa kau bahkan mengenaliku?  Tanpa kau ingat semua waktu yang kita lalui bersama?  Tanpa kau ingat semua hari yang kita hidupi bersisian?

Dan tak banyak perbaikan yang terlihat pada kodisimu.  Tak banyak jawab kau beri pada perkataan yang diarahkan padamu.  Tak sepenuhnya tampak terjaga kedua matamu.  Kau hanya berbaring diam, menatap ke kejauhan di luar bingkai jendela.  Pandanganmu kosong, tak ada pengenalan dan pemahaman apa pun di dalamnya.  Barangkali kau bahkan tak menyadari keberadaanku di sana. 

Dan aku lelah.  Lelah dengan waktu yang masih bermain-main denganku.  Mengembalikan ragamu tapi tidak dirimu sepenuhnya.  Aku bangkit dari dudukku, dan kau tak menoleh.  Kurogoh saku untuk mengeluarkan sebungkus kecil manisan kesukaanmu, meletakkannya di sisi bantalmu meski aku tahu itu sia-sia.  Hanya bagian dari secercah harapanku agar kau ingat meski sejumput akan masa lalumu.

Tak kuharapkan kau mencegahku pergi.  Maka aku terperanjat ketika kau mencengkeram ujung kemejaku ketika berbalik, menghentikan langkahku.  Kau menatapku lurus-lurus ke dalam kedua mataku.  Manisan itu dalam genggaman tanganmu yang lain.  Untuk pertama kali setelah berhari-hari, kau akhirnya bersuara.

“Aku ingat,”

Mataku terbelalak.  Aku kembali duduk di sisimu, merengkuh jemari mungilmu dalam tangkupan kedua tanganku, seolah menguatkanmu untuk mengingat lebih jauh.

“Aku ingat,” ulangmu, matamu berkilat dalam kesadaran baru.  “aku ingat berenang di sungai Naerincheon saat musim panas, ketika itu usiaku tujuh tahun.” 

Kau menungguku bereaksi, dan aku mengangguk-angguk membenarkan, tak bisa kutahan senyum untuk terpampang di wajahku.  Kau menyimpul lengkung serupa kemudian.

“Aku ingat,” lanjutmu, “aku ingat memanjat pohon di bukit Hongcheon saat musim gugur, ketika itu usiaku sembilan tahun.”

Kau kembali menunggu reaksiku, dan sekali lagi aku mengangguk-angguk membenarkan.  Simpul di wajahmu merekah dalam senyum yang lebih lebar kini. 

“Akhirnya, aku ingat—“


Kuharap kau juga tak lupa satu masa ini.  Ketika itu kita membutuhkan tiga tangan untuk menjabarkan usia kita.  Musim dingin menyelimuti hamparan di luar sana.  Kau dan aku tak lagi berlari.  Kita berlindung dari dingin di balik dinding, mengamati butir salju yang turun perlahan menitiki pemandangan.  Kau menyandarkan dagumu di tepi kisi jendela, dan aku memetik senar gitarku, mencipta lagu untuk latar waktu damai itu. 

“Aku akan menjadi penyanyi,”

Kau mengucap tiba-tiba, mendongak dari lamunanmu.  Kau telah berkali-kali mengatakannya.  Sejak kau dengar Dongwoo-sunbae mengalunkan serenade itu saat festival sekolah.  Kau segera takluk dalam karisma suaranya, sebagaimana kau segera jatuh pada pesona dirinya.  Kau bergabung dengan klub musik tak lama setelahnya.  Awalnya kuanggap kau hanya sekedar didera kekaguman sesaat, meski tak kusangkal kau memiliki kemerduan alami sedari mula. 

Tapi lihatlah binar matamu kini.  Kesungguhan itu tak terbantahkan.  Selantang tegas suaramu ketika mengucapkannya.  Maka tahulah aku kau tak mengada-ngada.  Sudah kau temukan impian untuk jadi destinasi hidupmu.

Dan seperti aku yang tak pernah lengah mengikutimu, saat itu juga kuputuskan untuk menyusulmu.  Karena meski tak ada lagi ketakutanku yang tersisa setelah kau sembuhkan kesemuanya, kau menumbuhkan ketakutan baru itu padaku.  Ketakutan yang lebih besar dari apa pun yang pernah kurasakan.

Ketakutan akan dirimu.  Ketakutan akan dirimu menghilang dariku.

Kita habiskan bertahun-tahun berlatih setelahnya, bersama-sama.  Keberuntungan membawa kita pada satu agensi besar yang menjanjikan karir kita, satu tempat yang sama di mana Dongwoo-sunbae melewatkan tahunan masa remajanya sebagai trainee, sebelum pada akhirnya ia mencapai debutnya.  Sukses menghampirinya tak lama setelahnya, memecut kita untuk berjuang sama keras untuk dapat menyamainya.  Tapi yang kutahu, bukan sekedar menyamainya yang kau inginkan.

Dan kusadari bertambah satu yang memandang suaramu seindah sebagaimana aku selalu menganggapnya.  Ia memulai dengan satu puji kecil pada sepotong bait yang kau nyanyikan, diikuti perlakuan yang melebihi sekedar perhatian senior pada juniornya.  Sepotong besar waktu yang biasanya selalu jadi milik kita terbagi dengan kehadirannya kemudian.  Dan aku tak lagi tampak bagai satu-satunya bagimu.  Tapi kutahan rasa itu, tak ingin merusak senyummu yang cerah tiap kali kau sebut namanya.

Hingga satu malam itu, kau beri kabar yang tak akan pernah kulupakan.  Kabar yang menggembungkan hatiku dalam gempita dan menghancurkannya menjadi kepingan segera setelahnya.  Suaramu terdengar bergemrincing begitu riang di telepon saat itu.  Kau sebut kau punya dua berita gembira untukku. 

Satu yang pertama, kau katakan akhirnya esok adalah hari debutmu.  Kita segera bersorak bersamaan, tak terungkap betapa besar kebahagiaan itu, mengetahui tahun-tahun penuh peluh dan engah itu akhirnya akan segera terbayar, segala pengorbanan tak terkira itu tak akan berakhir sia-sia.  Dengan nada yang lebih bahagia, lalu kau ucap yang kedua—Dongwoo-sunbae membalas perasaanmu padanya.

Seketika tawaku menguap, senyumku lenyap.  Rasa sakit yang tak bisa kugambarkan menancapkan kukunya dalam-dalam di ulu hatiku.  Tapi di ujung sana, masih kudengar kau mengulas nada riangmu.  Mengisahkan pengakuannya padamu.  Menyebut namanya membentuk kata “kami”. 

Kami.  Bukan lagi kita.

Tapi aku tak pernah sanggup merusak senyummu.  Aku terlalu mengasihimu untuk tega melakukannya.  Maka kupaksakan tawa.  Bahkan mengusulkan perayaan untukmu.  Untuk dua kabar gembiramu.  Kudengar kau memekik senang, mengucap terima kasih tak terhingga.  Menyebutku sahabat terbaik di dunia.  Sekali lagi kuku-kuku pedih itu menghujamku dari dalam—dan kupalsu senyum untuk menutupinya.

Setidaknya, aku masih memiliki arti bagimu.


“—aku ingat segala hal yang kulakukan bersama Dongwoo-oppa itu.”

Kurasakan detak jantungku seolah berhenti.  Kukerjapkan mataku, berharap pendengaranku telah menipuku.  Tapi tidak.  Kedua matamu menjawabnya.  Binar sungguh-sungguh itu ada di sana.  Tak terbersit dusta.

Kau mewujudkan ketakutanku menjadi nyata.  Kau menggantikan bayang sosokku dalam potret-potret kenanganmu dengan siluet lain.  Dengan seorang yang satu-satunya pernah kau beri definisi cinta. 

Kau akhirnya benar-benar menghilang dariku.

Aku tak lagi menunggu.  Minggu-minggu yang hadir setelahnya tak memberi banyak ubah pada ingat dan anggapmu.  Hanya Dongwoo-sunbae yang kau ingat.  Hanya ia saja.  Bersandingan dengan memori-memori kita, dengan ia sebagai lakon mendampingimu di setiapnya—bukan aku.

Kuputuskan saatnya aku berhenti mengikutimu.  Saatnya aku melepasmu.  Kau tak sepenuhnya pulih, seperti yang disebut doktermu.  Tapi di mataku, kau telah lebih dari sekedar bahagia, hanya dengan memiliki Dongwoo-sunbae di sisimu.  Dan aku masih juga tak sanggup merusak senyummu.  Kubiarkan kau dengan ingatanmu kini.  Kuminta Dongwoo-sunbae untuk tak menyibak yang sesungguhnya. 

Tak apa.  Tak apa ia berdiri di atas tiap jejakku dalam kenanganmu.  Tak apa ia melangkah dalam tiap nostlagi yang kau ungkap.  Tak apa.  Selama itu membuatmu bahagia.

Hujan merintik di luar sana, mengembang dalam deras tak lama setelahnya.  Melatari perasaanku dengan mendung yang begitu serupa.  Tapi sudah kukuatkan tekadku.  Jika tak kulepaskan kau kini, tak akan pernah bisa aku untuk selamanya. 

Kurendahkan wajahku padamu yang terduduk di kursi roda, masih lemah oleh sisa-sisa lukamu.  Kuucapkan sampai jumpa, dan harap semoga lekas sembuh.  Kau tersenyum, menghadiahiku satu peluk hangat.

“Terima kasih, Jonghyun-ah.”

Kau menyebut namaku.  Tapi tak ada nada karib yang dulu selalu menyertai di dalamnya.  Kuangkat satu lagi senyum pura-pura di wajahku, melepaskan lingkar lenganmu dariku sebelum perih itu meledak di dadaku.  Dan dengan satu lambaian singkat, aku berbalik, melangkah menjauh.  Bersiap menyambut hujan di luar sana, mengiringi tetes yang tak akan sanggup kutahan lebih lama tetap berdiam di sudut-sudut mataku.

Lalu kurasakan cengkeraman itu di punggungku.  Aku menoleh, dan kulihat kau di sana.  Kau meraih tanganku, membuka telapakku menghadapmu, menggoreskan satu bentuk di sana.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan segala indah yang pernah kutahu.

“Dengan begini, tak ada yang perlu kau takutkan!”

Kau memutar kursi rodamu, kembali pada Dongwoo-sunbae yang tersenyum membuka lengannya menyambutmu.  Kurekahkan jemariku, dan kulihat goresan yang kau tinggalkan—

—katak penjagaku. 
           
Bolehkah?  Bolehkah kuharap masih ada meski seserpih diriku dalam ingatanmu?


Malang, 12 Mei 2012
00:27

A/N: Just another draft for a Korean Romance writing contest.  And my, romance is definitely my weakness -___-

Friday, June 22, 2012

Putih dalam Jelaga


“Kau benar-benar tidak berguna!”

Aku menguap dengan lagak bosan, bersiap mendengarkan omelan harian.  Sekali lagi aku gagal membekukan sampel benih.  Langka, katanya.  Kemungkinan bisa memperbaiki musim, katanya.  Tapi sampel itu mencair dan membusuk sebelum mereka bahkan sempat memindai sel-selnya di bawah mikroskop.

“Sekedar membekukannya untuk beberapa hari pun kau tak sanggup?”

Kata-kata itu lagi.  Membosankan. 

“Kenapa tidak cari orang lain saja untuk melakukannya, kalau begitu?” sahutku, sengaja menanggalkan nada sopan yang seharusnya kugunakan pada seniorku.

Ia berjengit tak senang mendengar jawabanku, dan mendesis dalam nada dingin.

“Aku tak paham kenapa Pemantik Beku masih tersisa.”

BRAK!

Kuhantamkan telapakku pada meja di hadapanku, menatap nyalang.  Aku bangkit dari tempat dudukku, tak memedulikan kursi yang terbanting dengan keras akibat gerak tiba-tibaku, dan melangkahkan kakiku dengan marah meninggalkan ruangan itu.  Tanganku terkepal erat.  Gigi-gigiku bergeretak.  Aku sudah begitu sering mendengarnya, tapi tetap saja kata-kata itu mengiris toreh yang tak menyenangkan di benakku.

Aku sampai di pintu depan gedung, dan mendesah berat.  Aku sengaja keluar untuk mendinginkan kepalaku, tapi sesungguhnya di luar sana tidak lebih baik.  Kutengadahkan wajah, menerawang jauh pada batas semu langit, memandangi apa yang tersisa.

Negeri kami tak pernah sama lagi. Sejak Ledakan Panas itu menerjang bertahun-tahun lalu.  Panas Inti dari Bumi meluap terlalu besar, nyaris menghanguskan kami semua menjadi jelaga.  Beruntung Tetua mampu membentuk dinding tak kasat mata di sekeliling kami, melindungi dataran kami dengan selubung bagai kubah transparan raksasa.  Panas Inti tak lagi dapat menjamah kami, namun percikannya telanjur meresap pada tanah-tanah di bawah kaki kami, mengubah segala yang dulu kami tahu.

Musim telah punah.  Sisa-sisa Panas Inti dalam wujud Sulur yang terperangkap di dalam Selubung membunuhnya, menyisakan kering yang tak berujung bagi kami.  Tapi kami tak tahan menghadapi kenyataan bahwa negeri kami telah kerontang.  Maka para Penggenggam Energi berusaha membuat seolah tak ada yang berubah, seolah Bumi masih memiliki wajah-wajah rupawannya meski waktu tak lagi akan berganti bagi tiap musim.

Para Pemetik Matahari akan mengubah suhu, mencipta hangat bagi musim semi.  Para Pengembala Angin akan membantu bunga-bunga menyebar serbuk mereka untuk merekahkan kuncup.  Para Pembenih Warna akan melaburkan kuning dan jingga pada dedaunan demi musim gugur.  Dan Pemantik Beku sepertiku?  Sebagaimana sering dikatakan padaku, kami tidak berguna.  Kami tak dapat mencipta musim dingin.  Panas Inti menelan habis sumber-sumber air kami.  Untuk bertahan hidup, kami bersusah payah  memeras batang-batang pohon penyimpan air.  Siapa yang mau merelakan tetes-tetes air yang begitu langka untuk kami ubah menjadi bulir-bulir salju sementara ancaman mati kehausan menghantui kami?

Mungkin memang sebaiknya Pemantik Beku turut punah.  Toh jenis kami yang tersisa bisa dihitung dengan jari.  Dan tak banyak yang dapat kami lakukan bagi pemulihan negeri.  Terutama aku.  Pori-pori Energiku begitu sempit, tak mampu menyalurkan titik-titik beku terlalu jauh dari permukaan kulitku.  Karenanya apa pun yang kubekukan tak pernah bertahan lama.  Karenanya pagi hariku selalu dimulai dengan omelan.

“Kai!”

Aku terbangun dari lamunanku, menoleh ke arah sumber suara, dan seketika senyum lebar melengkung di wajahku.  Kurentangkan lenganku, menyambut langkah-langkah kecilnya yang berlari padaku.  Ia tertawa senang ketika sampai di pelukanku, dan kudekap ia erat, mengalirkan desir dingin pada tiap jengkal kulitku yang merengkuhnya. 

“Ah, sejuk sekali,” ia mendesah nyaman, memejamkan matanya, “terima kasih.”

Aku tersenyum.  Seharusnya akulah yang berterima kasih.  Lulu, pemilik mata secemerlang bintang dan senyum seindah matahari terbenam itu adalah satu-satunya yang membuatku berpikir aku masih memiliki arti.  Ia ringkih, kulitnya lebih rentan suar panas dibandingkan kebanyakan dari kami.  Sebisa mungkin aku berupaya menemuinya di sela-sela tugasku sebagai Penggenggam Energi.  Aku selalu berusaha untuk menjaganya rapat dalam pelukanku yang kusepuhi dingin.  Ia bilang ia beruntung memilikiku untuk menyejukkannya.  Tapi sebetulnya, akulah yang merasa disejukkan olehnya, bahkan tanpa ia melakukan apa pun.  Hanya dengan ada di dekatku.

Aku terus menggenggam tangannya, mempertahankan dingin pada jemariku yang bertautan dengan miliknya sepanjang perjalanan.  Ia mengisahkan padaku tentang pohon maple yang berada di depan jendela kamarnya, tentang daun-daunnya yang merona dalam musim gugur, yang melayang jatuh dari dahan-dahannya ketika ditiup sepoi angin, menghujani pemandangan sepanjang harinya dengan rinai lembayung yang indah.

Aku tersenyum, dan kupandangi Lulu dengan rasa sayang tak terkira.  Ia bukan Penggenggam Energi.  Dan matanya tak mampu mengenali warna.  Segalanya berada dalam jangkau kelabu hingga nyaris hitam di penglihatannya.  Tapi ia mampu melihat segala tentang hidup lebih berwarna dari semua orang yang pernah kukenal.

“Tapi, aku juga merindukan salju.”

Aku tersentak mendengar perkataannya yang tiba-tiba, dan kutatap ia dengan bingung. 

“Selama ini aku selalu melihat putih yang dilaburi kelabu dari warna-warna musim,” ia melanjutkan, suaranya diiringi harap, “tapi aku tak pernah melihat putih yang sesungguhnya.  Aku tak pernah kenal musim dingin.  Aku tak pernah tahu warna salju.”

Rasa sedih menggumpali rongga lisanku.  Aku tak bisa mengabulkan keinginannya.  Jangankan membuat salju, membekukan benih pun aku tak mampu. 

“Oh, Kai, jangan sedih!” Lulu memeluk lenganku, menengadah memandangku, yang memalingkan wajah darinya.  “Aku hanya bergurau!  Itu cuma khayalanku saja!”

Tetap saja.  Aku tak bisa memenuhi harapannya—yang kutahu bukan sekedar canda.

Lulu mempererat dekapannya di lenganku, kudengar suaranya menyendu, “Bagiku tak apa salju tak ada, asalkan Kai selalu ada di sisiku.”

Aku masih diam.

“Aku hanya butuh Kai.”  Isak mulai menjejak masuk dalam kata-katanya.  “Hanya Kai saja.”

Aku tak tahan.  Akhirnya kukembalikan pandanganku padanya, menariknya ke dalam pelukanku sekali lagi, membenamkan wajahku pada ceruk bahunya.

“Kai tidak akan pernah meninggalkanku, kan?”

Tanpa perlu pikir panjang, aku mengangguk, “Aku janji.”

Karena aku membutuhkannya lebih daripada ia membutuhkanku.

Senyumnya terbit, membawa ketenangan kembali dalam dadaku, dan sisa hari itu kami jalani dengan senyum satu sama lain di sisi.


Pagi esok hariku tidak dimulai dengan omelan.  Gumam-gumam risau merayapi ruang.  Bisik-bisik cemas terasa di udara.  Ada yang tak beres.  Dan benar saja.  Tak lama, Tetua mengumpulkan kami semua.  Beliau menyebut Badai Panas akan tiba tak lama lagi, membuat kami semua tercekat.  Ini memang bukan yang pertama kali.  Selalu ada saat-saat ketika Panas Inti menggelegar lebih kuat dari biasa dan sebagian menembus melewati celah-celah tipis pada Selubung.  Dan meski kami selalu selamat melewatinya, ketakutan tak pernah lepas dari kami.  Trauma kami akan Ledakan Panas terlalu besar membekas dalam ingatan kami.

Tanpa menyiakan lebih banyak waktu, kami semua segera berpencar, terutama para Pembisik, mereka mengirimkan bulir-bulir suara untuk menyampaikan pesan itu bagi seluruh penduduk negeri, memberitahu mereka untuk berlindung.  Aku melajukan kakiku keluar.  Pikiranku dipenuhi wajah Lulu.  Ini hari Sabtu, dan ia selalu pergi memetik buah-buah berry yang hanya tumbuh hari itu di Hutan Tepi yang berbatasan langsung dengan Selubung.  Aku harus sampai di rumahnya sebelum ia berangkat.

Atap rumahnya yang berwarna merah bata menyala terlihat.  Aku mempercepat lariku, berhenti tepat di bawah jendela kamarnya, dan berteriak memanggilnya.

“Lulu!” 

Tak ada jawaban.  Tak ada tangan mungilnya bergerak membuka daun jendela.  Tak ada wajahnya melongok keluar.  Tak ada senyumnya menyambutku. 

Rasa panik menyergapku, menyebar dalam tubuhku seperti racun.  Kembali aku berlari, menghalau panas yang mulai menguapi udara di sekelilingku, mengabaikan teriakan-teriakan para Pembisik yang menyuruhku untuk kembali.  Sulur Panas semakin kuat kurasakan mencengkeram kulitku.  Sudah dekat waktunya.  Tapi aku tak peduli.

Aku harus menemukannya.  Harus.

“Lulu!”

Aku sampai di Hutan Tepi, dan apa yang kulihat membuat dadaku seolah dihantam batu besar.  Ia ada di sana.  Terbaring di antara semak-semak berry, tampak tak sadarkan diri.  Aku berlari ke sisinya, mengangkatnya ke pelukanku.  Kurasakan tubuhnya melemah di lenganku.  Kulitnya kemerahan, nyaris melepuh.  Wajahnya pias.  Napasnya dangkal.  Nyeri tak terkira kurasakan.  Melihatnya terluka adalah salah satu hal yang paling tak kuinginkan.  Kuangkat ia lebih dekat padaku, kubisikkan namanya perlahan dengan gemetar, memohonnya untuk bangun.

“Kai…?”

Matanya terbuka dalam garis tipis, dan aku melenguh lega karenanya, mendekapnya erat, seolah melepaskannya akan membuatku kehilangannya selamanya.

“Shh, sudah tidak apa-apa,” kataku dengan nada lembut untuk menenangkannya, hendak mengangkatnya dari tanah.  “Aku ada di sini.  Kita pulang sekarang.”

Ia tersenyum lemah, mengangguk.  Kugendong ia di dadaku, memastikan tiap permukaan kulitku terlapisi dingin untuk melindunginya.  Aku menggerakkan kakiku untuk meninggalkan tempat itu—sebelum jatuh terjerembab.

Aku menoleh, dan kulihat Sulur Panas mengelilingi kakiku.  Sulur itu lebih tebal dan nyalang dari yang pernah kutahu, membara dalam merah yang berpendar mengancam, memerangkap pergelangan kakiku bagai jemari-jemari besar yang kuat.  Aku meraung ketika kurasakan panasnya begitu tajam menembus kulitku, seolah mencapai tulangku.

Ini aneh.  Meski tidak dapat sepenuhnya disebut tak terlihat, Sulur Panas tak pernah tampak sepadat ini.  Selama ini Sulur hanya tersadari daam bentuk percik-percik panas di sela udara di sekeliling kami, merambat dalam uap tak terlihat di antara kaki-kaki kami.  Tapi tidak pernah senyata ini. 

Sulur Panas seharusnya tak berwujud.

Kubawa pandanganku menelusuri sepanjang Sulur, berusaha mencari sumbernya, dan mataku membelalak tak percaya.  Sulur itu berpangkal pada celah di Selubung.  Tidak, bukan sekedar celah yang ada di sana, tapi retak.  Retak besar hingga membentuk lubang yang kasat mata.  Kulihat Sulur itu berusaha mengikis tepi-tepi retak itu sedikt demi sedikit, memperbesar diri menjadi kobaran.

“Lulu, lari!”

Ia ketakutan, namun tak beranjak dari tempatnya.  Ia mencengkeram punggungku, menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Aku tidak mau meninggalkan Kai!”

Aku terperanjat.  Aku akan senang mendengarnya seandainya kami tidak sedang dihadapkan pada Sulur yang siap melalap habis kami tanpa pandang bulu.  Tapi keselamatannya adalah prioritas satu-satunya bagiku.  Aku sudah membuka mulut untuk menyuruhnya pergi lagi, ketika salah satu jemari Sulur mengarah pada kami.  Kutarik Lulu ke belakang punggungku untuk melindunginya, dan kurasakan bara memecut wajahku.  Lulu memekik.  Robek besar muncul di pipiku, mengucurkan darah segar.  Belum juga aku terbiasa dengan rasa sakit itu, dan satu lecutan kembali menghajarku, kali ini mengoyak lenganku.

Lecutan-lecutan itu terus datang, dan aku mati-matian berusaha menghalaunya dengan melemparkan keping-keping beku ke arahnya, mengerahkan segenap Energiku.  Tapi Sulur itu lebih kuat.  Keping-keping bekuku dengan mudah dihancurkannya, kembali melecutku.  Membentuk luka-luka besar pada lenganku, tungkaiku, sisi tubuhku, melemahkanku dengan seketika.  Merah pekat menghiasi tubuhku, tapi aku berusaha tetap berdiri di atas dua kakiku, menamengi Lulu, menolak untuk membiarkan terluka lebih jauh.  Kusadari Sulur itu semakin menebal, bergulung bagai ombak api.  Retak itu telah membesar. Tepi-tepinya bergetar rapuh, menghantarkannya lebih jauh ke permukaan Selubung, seolah hendak meruntuhkannya.

Kalau begini terus, seluruh negeri akan terbakar.  Seisi negeri akan musnah.  Dan aku akan kehilangan Lulu.

Kupalingkan pandanganku, dan kudapati Lulu menatapku.  Ketakutan jelas terpeta di garis parasnya, matanya disaputi air mata, bibirnya bergetar dalam cemas yang tak terucap, dan kedua tangannya masih tak melepaskan pegangannya dariku.  Aku tak suka melihat sedih terlukis di wajahnya.  Aku tak suka perih merusak teduh matanya.

Aku ingin senyum itu selalu ada di sana.

Perlahan, kubuka kaitan jemarinya dari punggungku dengan lembut.  Ia menyadari apa yang hendak kulakukan, dan dicengkeramnya tanganku kuat-kuat, menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terisak.  Kugenggam sepasang tangan mungilnya, menyentuhkannya perlahan pada bibirku.  Dan dengan satu senyum lebar, kulepaskan ia.

Aku melangkah menghadang Sulur Panas itu, berjalan lurus padanya.  Lulu memanggil-manggil namaku, memohonku kembali.  Mendengarnya tersedu mengiris-irisku dari dalam.  Kupejamkan mata, menguatkan tekadku, berusaha agar tak goyah.  Seraya melangkah semakin merapat pada kumparan Sulur itu, kunyalakan beku dari dalam tubuhku. 

Pori-pori Energiku memang terlalu sempit.  Aku tak pernah bisa memancarkan titik-titik beku jauh dari permukaan kulitku.  Tapi sangat mudah bagiku untuk menyalurkannya pada tubuhku sendiri.  Ke bawah lapisan kulitku, menembus otot-ototku, melewati ikatan-ikatan tulangku, menyusupi pembuluh darahku, hingga menangkap jantungku.

Kubekukan seluruh tubuhku dengan meraup semua Energi yang kupunya, mengeraskannya dalam dingin yang tak pernah kucipta sebelumnya.  Kusisakan sedikit kesadaranku untuk mengangkat tungkaiku terus bergerak.  Sulur-sulur kembali menghajarnya, semakin garang seolah mengejekku, tapi tak lagi mampu menggoresku.  Tubuhku seolah kebal dengan perisai es yang melekat langsung di kulitku. 

Dan sampailah aku pada sumber retak itu.  Muntahan apinya berusaha mendorongku menjauh, tapi aku bergeming.  Aku tak akan mundur.  Tak akan.  Kutolehkan wajahku untuk terakhir kali.  Lulu berurai air mata, tangannya terjulur, memohon agar aku menyambutnya.  Sekali lagi aku tersenyum, dan kulambaikan tanganku padanya.

“Aku akan segera kembali.”

Dan dengan satu langkah terakhir, kusongsong retak itu.  Lulu menjerit, dan satu ledakan besar memenuhi langit.


Kai tak pernah kembali.  Kai berbohong padaku. 

Aku tak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.  Retak pada Selubung tertutup dengan lapis kristal di tempat Kai pergi, memadamkan semua Panas.  Negeri kami selamat.  Semua orang selamat.  Tapi aku tak akan pernah bisa bertemu dengan Kai lagi.

Tak bisa kutahan satu lagi butir basah menuruni pipiku. 

Kau bohong, Kai.  Kau bohong.  Kau bilang tidak akan pernah meninggalkanku.  Kau bilang kau akan selalu ada di sisiku.  Kau bilang—

Isakku mendadak terhenti.  Mataku terbelalak lebar.  Tidak, ini pasti cuma khayalanku.  Kugosok kedua mataku, berharap dengan begitu ilusi itu mereda.  Tapi tidak.

Salju itu ada di sana.

Aku membuka jendela kamarku dengan cepat, memanjat tepinya, menengadahkan wajahku.  Butir-butir salju turun dengan gerak pelan tanpa suara, menitiki gelap langit malam.  Putih.  Tanpa bayang.  Tanpa kelabu.  Tanpa cela.

Warna putih yang sesungguhnya.  Warna milik Kai.

Kuulurkan tanganku, membiarkan sebutir mendarat perlahan di telapakku.  Dingin, sebagaimana yang diceritakan padaku tentang salju.  Tapi ketika aku menggenggamnya, kurasakan kehangatan menjalari ujung-ujung jemariku, menyelubungiku.  Menenangkanku, seperti yang selalu kurasakan ketika Kai mendekapku.  Dan, tahulah aku.

“Senang bertemu lagi denganmu, Kai.”


Malang, 29 April 2012
05:42

A/N: Written for Fantasy Fiction Competition 2012. And yes, dear Exotics, it's that 'Kai' and 'Lulu' #pentingbanget #plak =))

Tuesday, May 15, 2012

Soundless

Musik mereda.  Bunyi gerak berhenti.

Aku melangkah keluar dari tempatku dalam langkah hening, berjalan mendekati pintu ruang aula yang separuh tertutup itu  dengan sama perlahannya, berusaha tak membuat satu pun gemerisik pada jejakku.  Kuletakkan sekaleng jus buah persik itu di dekat sepasang sepatu di sana dengan hati-hati.  Mendadak, kurasakan wajahnya menoleh.  Aku terperanjat, dan cepat-cepat kutarik tanganku, segera berlari menjauh.  Aku berhasil menghilang dari pandangannya tepat sesaat sebelum ia mencapai tempatku semula berada. Hampir saja.

Aku mengintip dari balik dinding yang menyembunyikanku, melihatnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari, sebelum akhirnya berjongkok dan memungut kaleng itu.  Ia memandanginya sesaat, lalu tersenyum.  Rona kemerahan merekah di kedua pipiku, dan terus kuperhatikan ia hingga ia membuka kalengnya dan meneguknya, seraya memasang sepatunya, melangkah menjauh dari tempat itu, masih dengan peluh di wajahnya.

Lagi-lagi, hanya itulah yang bisa kulakukan.  Aku tak pernah punya keberanian untuk menyapanya secara langsung, terlebih bicara padanya.  Sudah begitu lama aku berhenti bergantung pada suara untuk berkata.  Sudah begitu lama aku lupa cara menganyam kalimat untuk menyampaikan maksud.  Aku terlalu takut akan penghakiman mereka jika aku membuat salah pada ucapku.  Sudah cukup segala hardik itu memecutku.  Sudah cukup segala lebam itu menandaiku.  Lebih aman bagiku bersembunyi di balik diam, karena cakap dan bincang hanya akan melukaiku.  Karena tiap vokalku hanya akan tersia-sia.

Tapi ia berbeda.  Ia mampu mengungkap bahkan tanpa kata.

Sore itu aku terburu-buru kembali ke sekolah, hendak mengambil partiturku yang tertinggal.  Hingga kusadari ada orang lain di sana, dan alun musik lain menyertainya.  Dan ketika kubawa pandanganku ke dalam, seketika aku terperangkap.  Terhisap pada keberadaannya. 

Tiap ayun tangannya seolah meniti nada, tiap langkahnya seolah berdansa dengan irama.  Tiap geraknya bercerita. 

Ia tak bicara.  Ia bahkan tak terlihat sadar akan sekelilingnya.  Ia bagai tenggelam dalam dunianya sendiri, yang hanya didiami musik dan geraknya.  Tapi di mataku, ia seolah berkisah.  Senang dan sedihnya kuketahui dari caranya menari menyahuti tiap denting nada yang melatarinya. 

Dan aku tak tahu bagaimana caraku mencapainya, maka kuletakkan sekaleng jus persik itu di sana sebagai pengganti semua yang tak mampu kuucapkan.  Awalnya kupikir ia akan mengacuhkannya, atau membuangnya, menganggap pemberian diam-diam adalah sesuatu yang memuakkan.  Tapi kemudian ia meraihnya, dan selalu tersenyum setelahnya.  Satu lagi hal yang membuatku tak bisa tak kembali tiap senja tiba.

Satu-satunya waktu kulihat ia menampilkan wajahnya yang seperti itu.  Begitu tenggelam dalam kesungguhannya ketika menari, dan begitu lembut ketika ia menyudahinya dengan meneguk sari manis itu untuk menghapus dahaganya.  Di lain waktu, ia hampir selalu terlihat bosan.  Ketika di kelas, ketika jam istirahat, terutama ketika segerombolan wajah itu berusaha mencari perhatiannya.  Mereka tak bisa disalahkan.  Ia memiliki aura keberadaan yang begitu kuat untuk dielakkan.  Sosoknya begitu kokoh menjulang.  Dan ia memiliki kepekaan pada bunyi—satu lagi kelebihannya yang kutahu dari bisik-bisik pengagumnya, yang membuatnya begitu leluasa menari, dan menjatuhkan lebih banyak sosok dalam pesonanya.

Tapi yang kupahami, ia tak peduli dengan segala perhatian itu.  Pandangannya hanya sepenuhnya terjaga ketika musik mulai berdetum dan ia mengangkat sendi-sendinya membentuk satu untai gerak untuk menyandinginya.  Terlebih beberapa waktu terakhir, ketika ia berlatih dengan lagu yang sama berulang-ulang.  Kudengar tak lama lagi ia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan cita-citanya, untuk menari di atas panggung yang lebih besar, di hadapan lebih banyak orang.  Dan sekali lagi, kuletakkan sekaleng jus persik itu untuk mewakili ucapan “selamat berjuang” yang terperangkap di dasar rongga pembunyiku.

Hingga kemudian kuketahui satu sisi lain darinya.

Langit sudah berlabur jingga, bel tanda akhir jam sekolah sudah lama berlalu.  Aku berjalan di antara batang-batang jangkung bunga matahari pada salah satu sudut di halaman belakang sekolah—tempat persembunyianku yang lain.  Aku sedang asik mengitari dan menyirami mereka seraya menikmati ketenangannya, ketika satu suara itu membuatku mendadak lupa cara bernapas.

“Wuah,”

Peganganku terlepas.  Air merembes keluar dari penyiram yang jatuh di depan kakiku.  Seluruh tubuhku kaku.  Pikiranku mati rasa.  Aku bahkan tak mampu memerintah kakiku untuk lari ketika suara itu mencapai sisiku, mengungkapkan kekaguman.  Ia membelai rekahan kekuningan itu dengan salah satu tangannya, dengan tangannya yang lain menenteng kaleng jus persik yang terbuka—yang kutinggalkan beberapa saat lalu.

“Kau yang merawatnya?”  tanyanya, menoleh padaku, masih dengan nada takjub.  “Keren.  Aku baru tahu bunga matahari bisa tumbuh sebesar ini.  Bahkan lebih tinggi darimu.  Aku sampai hampir tak melihatmu tadi.”

Ia menyuarakan tawa ringan.  Seandainya kepalaku tidak mendadak riuh dengan panik dan wajahku tak pias akan gugup, aku yakin aku bisa menikmati mendengar bunyi tawanya sepanjang hari tanpa bosan.  Ia berhenti ketika menyadari aku tak juga menyahut, bahkan tidak menatapnya, menundukkan wajahku dalam-dalam, mencengekeram ujung seragamku dengan tangan gemetar.  Sekali lagi ia tertawa, lebih lepas kini, dan tangannya tersodor di hadapanku.

“Park Jongin,” katanya, seraya tersenyum, “sekarang kau tak perlu takut karena mendadak diajak bicara oleh orang asing, kan?”

Aku masih saja tak tahu harus menjawab apa.  Aku bahkan tak dapat merasakan kedua tangan dan kakiku.  Pikiranku gaduh, saling berdebat bagaimana seharusnya aku menyahut, sementara mulutku bergerak terbata-bata tanpa suara.  Tangannya masih di depan mataku, menungguku menyambutnya.  Tapi aku tak bisa.  Kugigit bibirku, mengutuki diriku sendiri.  Ia pasti kesal.  Ia pasti menganggapkau aneh.  Kedua mataku mulai mengabur, dan sebulir air mata hampir menuruni pipiku, ketika kudengar ia terkekeh.

“Kau pemalu, ya,” ia mendaratkan tepukan halus di puncak kepalaku.  Ia membungkuk untuk mengambil penyiram yang kujatuhkan, dan mengembalikannya padaku. “Sebaiknya kau segera pulang, sudah hampir malam.”  Ia menyimpul satu senyum lagi, tanpa kernyit kesal di sana, seraya melambaikan tangannya, beranjak menjauh.  “Sampai ketemu lagi—“ Matanya mengerling sematan huruf di dadaku sebelum melanjutkan, “—Moon Sora-ssi,”

Rasa panas seketika menjalari kedua pipiku.  Golak yang tak pernah kukenal sebelumnya bergerak dalam perutku.  Sudah begitu lama aku tidak mendengar namaku disebut, dan kini suaranya yang dalam itulah yang melantunkannya.  Ketika akhirnya kudongakkan wajah, punggungnya sudah menjauh.  Penyesalan besar segera menderaku.  Kupukul-pukul sisi kepalaku, memarahi diriku sendiri dengan omelan tanpa suara.  Bodoh kau, Sora, bodoh.  Ia sudah berada begitu dekat, begitu dekat, dan tetap tak satu kata pun bisa kuucapkan. 

Tapi sekali lagi, ketidakmampuan dan ketakutanku lebih kuat membenamkan keinginanku, membuatku terus berteman dengan bungkam. 

Maka kubiarkan segalanya tetap tersimpan di balik kaleng-kaleng jus persik itu, esok sorenya, dan banyak sore setelahnya kemudian.  Beberapa kali aku sempat tanpa sengaja bertemu pandang dengannya di halaman sekolah, tapi aku segera menunduk dan memalingkan langkahku menjauh.  Tiap kali ia tampak mengenaliku, aku akan mengubah arahku bahkan sebelum ia sempat membuka mulut menyebut namaku. 

Rasanya menyakitkan.  Rasanya menyesakkan.  Hanya bisa bersembunyi dalam diam yang kugantikan dengan pemberian-pemberian tanpa nama itu.  Tiap kali aku hendak memberanikan lidahku mengukir kata, ketakutan itu kembali menghantuiku.  Kenangan akan sanggah dan hantam yang mengikuti ketika aku berusaha bicara mencengkeramku.

Aku mendesah berat.  Aku lelah.  Aku butuh sesuatu untuk meringankan gumpal kusut dalam kepalaku.  Maka ketika lonceng pertanda istirahat siang bergema, aku pun bergegas menuju aula, tempat piano besar itu berada.  Sebagaimana kutahu Jongin selalu melampiaskan segala yang dirasakannya tiap sore di ruangan itu, aku selalu melabuhkan diriku pada tuts-tuts itu ketika tak ada seorang pun di sana.

Mendengarkan dentingan yang mengalir keluar ketika kuayunkan jemariku membuat perasaanku kembali lapang.  Gemanya yang halus menenangkanku, dan aku memejamkan mata menikmati jernih yang dibawa irama itu ke dalam pikiranku.

“Oh, di sini kau rupanya,”

Aku tercekat.  Kedua mataku mendadak terbelalak membuka.  Sebelum aku sempat membuat satu pun gerak, tubuhku telah ditarik berdiri pada kerahku.  Punggungku terhempas pada sisi piano, dan aku tersedak ketika cengkeraman itu menyudutkanku.  Di hadapanku, wajah-wajah itu menyeringai mengelilingiku, memerangkapku. Tak ada belas kasihan di sana.  Tak pernah sekalipun.

“Sora-ya, mana uang yang kau janjikan?”

Suara itu keji, menusuk pendengaranku.  Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.  Aku tak memilikinya.  Dan aku mengernyit perih ketika tubuhku sekali lagi dibenturkan, diikuti bentak keras.  Aku tahu.  Aku terlalu tahu.  Bahkan sekalipun aku memilikinya, mereka akan tetap menyakitiku.  Sekalipun bukan uanglah yang mereka ingin rampas dariku, mereka akan tetap melukaiku. 

Jambakan keras kurasakan, wajahku dipaksa menengadah, menatap langsung nyalang di matanya.  Ia membentuk senyum ejek, mengernyit jijik memandangku.  Di mata mereka, aku tak lebih dari seorang yang janggal.  Aneh.  Karenanya boleh diperlakukan sesuka mereka.  Dan seperti yang sudah mereka pahami, aku tak pernah melawan.

“Kau memuakkan,”

Tangannya terangkat tinggi, terarah langsung ke wajahku.  Kedua tanganku ditambatkan oleh pegangan yang menyakitkan di sisi tubuhku.    Kupejamkan mataku, bersiap menghadapi rasa sakit itu mencapaiku.  Tak ada jalan bagiku untuk lari.  Dan tak ada suara bagiku untuk meminta mereka berhenti.

“Apa yang kalian lakukan?!”

Suara itu menggelegar memenuhi udara, membuat hening mendadak turun memenuhi ruangan, menghentikan segala gerak.  Pedih itu tak sampai padaku.  Kubuka kembali kedua mataku dengan takut-takut, dan kulihat ia di sana.

Jongin.

Seolah mendengarku memanggilnya dalam kepalaku, ia bergegas dalam langkah cepat menuju ke arahku.  Tangan-tangan yang semula memborgol dan mencekikku serta merta terlepas, dan mereka seketika mundur dariku.  Jongin menatapi mereka dengan pandangan marah, menuntut penjelasan, satu lengannya terentang menamengiku.  Sebagaimana mereka pandai memberiku alasan untuk membenarkan tiap maki dan dentam mereka di tubuhku, mereka pun segera merentet sanggahan—terbata-bata.  Jongin tak tampak senang dengan jawaban mereka, menghadiahi mereka dengan tatapan yang lebih garang dari sebelumnya.  Akhirnya, tanpa tahu apa lagi untuk dikatakan, mereka memutuskan lebih baik pergi dari sana, menjauh dari kilat mata Jongin yang seolah bisa melenyapkan mereka jika tak segera menyingkir.

Kurasakan kedua lututku lemas, dan aku jatuh terduduk.  Wajahku menunduk, napasku terengah.  Lega kurasakan, namun ada kegelisahan yang lebih besar menyusupinya.  Jongin merendahkan tubuhnya hingga berjongkok di hadapanku—dan aku refleks memalingkan wajahku.  Kudengar ia mendesah.  Ada sisa-sisa kemarahan menyertainya.  Tanpa mengindahkan tatapanku yang kubuang dengan gamblang darinya, ia meraih lenganku.

“Tanganmu terluka.”

Ia menyeka lecet itu dengan ujung lengan kemejanya, begitu perlahan.  Aku terus menunduk, membiarkannya membersihkan lukaku.  Aku tak seharusnya diperlakukan sebaik ini.  Tidak ketika aku selalu menunjukkan keengganan yang disengaja padanya, bahkan tanpa ia tahu alasan di baliknya.  Tapi, suara jujur dalam benakku mengungkap syukur atas kehadirannya kini di hadapanku. 

“Kau seharusnya melawan,”

Aku tersentak.  Suara itu dilumuri ketidaksenangan yang terlalu nyata untuk kuanggap khayalan.  Aku mendongak, dan kulihat pekat yang tak pernah kutahu sebelumnya dalam matanya.  Ia marah.  Kemarahan yang sama sekali tak sebanding dengan yang ditampakkannya pada mereka yang melukaiku.  Dan itu ditujukan lurus-lurus padaku.

“Kau seharusnya tidak mengalah begitu saja,” ia berkata lagi, nadanya dingin.  Tangannya masih mengusap lukaku, tapi tatapannya tajam, tak ada keramahan seperti yang ditunjukkannya sore itu, “kau tak akan mendapatkan apa pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”

Aku mengepalkan tanganku hingga jari-jariku memutih.  Kata-katanya menyakitiku jauh lebih perih ketimbang segala hantam yang pernah didaratkan padaku, menggoreskan luka lebih dalam daripada semua lebam yang pernah diukirkan padaku.  Sekalipun begitu, aku tetap tak mampu menyahutinya dengan apa pun.  Aku mendengarnya mendesah, dan menjauhkan pandangannya dariku.

“Kau masih juga tak mau bicara?”  ia memberi jeda, menungguku.  Dan ketika aku tak juga membuka suara, ia akhirnya kembali mengucap, dengan nada yang runcing menghujamku.  “Aku benci pengecut.”

Aku mendadak menepis pegangannya dari tanganku, menarik tubuhku menjauh darinya.  Aku mendongak, menatapnya dengan kedua mataku yang disaputi air mata.  Ia tampak terperanjat untuk sesaat, dan ketika ia hendak membuka mulutnya, aku bangkit berdiri.  Aku berlari.  Terus berlari.  Menjauh darinya.  Menjauh dari pegangannya.  Dari tatapannya.  Dari suaranya.  Dari segala hal tentangnya.

Jongin tak akan pernah paham.  Tak seorang pun akan pernah paham.  Mereka tak pernah tahu bagaimana suaraku telah dibunuh bahkan ketika aku masih begitu belia.  Bagaimana mereka mengatakan tak ada guna aku bicara.  Bagaimana mereka kemudian menganggapku tak ada, sebagaimana bagi mereka suaraku tak terdengar, seberapa pun aku menjerit meminta mereka berhenti saling maki, berhenti saling menyakiti, berhenti mengabaikanku…

Esok harinya, aku begitu enggan datang ke sekolah.  Langkahku gontai.  Mataku sembab.  Kepalaku berat.  Aku ingin terus berbaring di kamarku, berlindung di bawah selimutku, seolah dengan begitu aku terjauhkan dari segala yang hendak menyakitiku.  Tapi berada lebih lama di rumah tak berarti lebih aman bagiku, maka aku tak punya pilihan lain.  Aku hanya berharap tak perlu tanpa sengaja berpapasan dengan Jongin.  Aku tak akan tahu harus bersikap bagaimana.  Aku tak akan tahu cara membuat diriku bicara.  Dan luka besar itu masih terasa begitu segar dalam dadaku.

Namun ketika aku sampai di gerbang sekolah, ada sesuatu yang terasa berbeda.  Ada keriuhan yang tak biasa.  Banyak murid-murid berkeliaran di luar kelas, sebagian besar mengarah pada aula.  Kehebohan semacam itu hanya berarti satu hal: Pementasan.  Ketika beberapa murid menampilkan keahlian mereka di hadapan beberapa ahli di bidangnya, seringkali industri seni.  Jika beruntung, akan ada sebagian yang direkrut menjadi trainee, satu langkah awal menuju pementasan yang lebih besar.  Panggung di hadapan ribuan penonton, dengan lampu benderang yang menyorot, dengan tepuk dan puji digemuruhkan.

Dan Jongin adalah salah satu di antaranya.

Aku mendengar namanya dipanggil.  Ia tampak setenang biasa, meski selarik tipis kegugupan tampak pada matanya.  Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menunjukkan tekadnya yang tak tergoyahkan.  Aku tersenyum kecil.  Pedih masih kurasakan, tapi dalam diam aku mengucap semoga berhasil.  Kupalingkan wajahku dari panggung, hendak pergi dari ruang yang mulai sesak oleh penonton itu.  Aku sudah cukup banyak melihatnya menari.  Dan aku sudah lebih dari sekedar paham bagaimana kerasnya ia berlatih demi mencapainya.  Ia akan baik-baik saja.  Biar aku pergi untuk menenangkan diriku—

Ada yang tidak beres.  Langkahku dihentikan bisik-bisik resah, menyebar semakin luas menjadi gumam-guman gelisah.  Dan kenapa musiknya tidak segera dimainkan?  Aku kembali menoleh ke arah panggung.  Jongin berdiri di sana, berkali-kali menengok pada operator yang bertugas menjalankan lagu pengiringnya.  Tapi ia menjawab Jongin dengan gelengan lemah, pertanda menyerah.  Raut wajah Jongin mengeras, ia seolah kehilangan fokusnya.  Ia telah mengulangi geraknya bersama lagu itu berkali-kali, berulang-ulang, hingga tiap detiknya seolah terpatri pada tiap syaraf tubuhnya.  Tapi tanpa lagu, ia tak akan mampu bergerak.  Tanpa irama, ia kehilangan keseimbangannya. 

Dan tanpa tari, ia akan kehilangan impiannya.

“—kau tak akan mendapatkan apa pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”

Tanpa sepenuhnya kusadari, aku telah menerobos penonton yang bergerombol rapat di depanku.  Melewati deretan-deretan kursi yang penuh sesak dengan langkah-langkah cepatku, tanpa menoleh, tanpa mengucap maaf ketika tanpa sengaja menyandung, tanpa mengindahkan dengung-dengung bingung dan peringatan-peringatan yang diarahkan padaku.  Aku memanjat naik ke panggung, membawa diriku pada piano di sisi lain panggung, piano yang selalu kumainkan.  Kududukkan diriku di depannya, jemariku terentang, bersiap di atas tiap lajur hitam dan putih itu.

Aku sudah berkali-kali mendengar lagunya, sebanyak aku memperhatikan geraknya.  Nadanya terpeta dengan begitu jelas di kepalaku, bergaung dalam ingatanku.  Kutolehkan wajahku padanya, mengisyarat tanpa ucap.  Jongin tampak terperangah tak percaya, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, tapi kemudian ia mengangguk padaku—senyumnya kembali.

Dan kulantunkan lagu itu dengan tanganku.  Bersama dengannya mengisahkan cerita dengan geraknya.  Mataku terpejam, tenggelam dalam irama itu.  Dalam jarak yang begitu dekat, kudengar senandung ketuk kakinya menimpali tiap titi nada yang kumainkan.  Bersahutan, saling mengiringi, seolah tiap not dicipta untuk ditarikan olehnya, tiap hentak dibentuk untuk disuarakan oleh melodinya.

Hening menguasai ruangan.  Waktu seolah berhenti.  Hanya ada musikku dan geraknya, bagai bergandengan erat dalam dansa.  Mengitari masa itu tanpa usikan yang mampu mendekati.

Dan dalam menit-menit yang tak kurasa, tanganku berhenti mengayun, langkahnya berhenti berbunyi.  Kami sampai pada akhir lagu.  Mataku membuka perlahan, dan kesadaranku perlahan kembali.  Apa yang sudah kulakukan?  Aku menoleh cepat ke arah penonton, mendadak panik akan perbuatanku.  Tapi yang kulihat adalah wajah-wajah yang seolah menahan napas, kemudian, seolah dikomando, serentak mereka berdiri.  Satu tepuk, dua tepuk, hingga seluruh ruangan dipenuhi gemuruh tangan-tangan yang menepuk begitu keras.  Siulan, eluan, dan seruan kagum mengikuti di antaranya.  Aku kebingungan, terkejut dengan reaksi itu.  Kutengokkan wajahku pada Jongin, dan kulihat ia tersenyum lebar padaku.  Senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

Seluruh wajahku serta merta memerah seolah terbakar.  Aku bangkit berdiri, membungkuk terburu-buru pada penonton dengan kegugupan mencapai ubun-ubunku, dan segera melarikan diriku turun ke belakang panggung, melewati tangan Jongin yang hendak menghentikanku.

“Sora!”

Kucengkeram dadaku yang terasa begitu sesak dengan jantungku yang bagai siap melompat keluar melewati rusukku kapan saja, mempercepat langkahku.  Aku baru berhenti untuk memberi kesempatan bagi diriku bernapas ketika aku sampai di kebun bunga matahariku, berjongkok di antara batang-batang besarnya, terengah-engah di bawah naungannya. 

Dalam kepalaku, suara-suara itu saling beradu, mempertanyakan satu hal yang sama: bagaimana aku bisa melakukannya?  Aku tak pernah mampu mengutarakan keinginanku, terlebih menampilkan diriku secara gamblang.  Dan di depan banyak pasang mata seperti itu.  Bahkan hingga hari itu berakhir, aku masih tak dapat mempercayai tindakanku sendiri. 

Tapi di antara engah dan kebingungan itu, aku tersenyum. 

Aku terus diam di tempat itu untuk beberapa saat, merasa seluruh energiku telah terpakai untuk membentuk keberanianku sesaat lalu.  Ketika tanah di bawahku telah disepuhi labur jingga, barulah aku sadar aku telah terlalu lama berada di sana.  Aku menengadah, dan kulihat senja sudah kembali ke langit.  Pengingat akan satu hal yang tak pernah kulupa.  Kurogoh tasku, dan kuraih sekaleng jus persik dari dalamnya. 

Mungkin ia tak akan ada di sana.  Ia telah menampilkan segala hasil kerja kerasnya, dan aku yakin tak ada tolak yang didapatnya.  Mungkin ia merasa tak perlu kembali berlatih hari ini.  Dan jus persik ini akan sia-sia.  Tapi aku telah begitu lama melakukannya.  Meletakkannya di depan pintunya sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa kulepas, sebagaimana mataku tak bisa berhenti memperhatikannya, seberapa pun menyakitkannya itu bagiku.

Perlahan, kuangkat tubuhku berdiri.  Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, menenangkan pikiranku untuk terakhir kali.  Kutepuk-tepuk kedua pipiku untuk menyemangati diriku sendiri, lalu kulangkahkan kakiku ke tempat yang selalu kutuju tiap sore.  Aula itu sudah tak lagi dipadati.  Halaman depannya sepi tanpa satu pun sosok terlihat.  Dan benar saja, tak ada musik yang terdengar.  Tak ada sepasang sepatu itu di sana.  Tak ada Jongin.

Aku berjalan lebih dekat pada ruangan itu, yang pintunya terbuka lebar.  Kosong.  Hanya ada piano yang kumainkan beberapa waktu sebelumnya, yang mengantarkan suara menggantikanku.  Aku mendesah.  Sudah kuduga.  Kubawa diriku masuk, menghampiri piano itu.  Seraya menelusuri tuts-tutsnya dengan jemariku, pikiranku memutar ulang segalanya.  Hari pertama aku melihat Jongin menari, detik pertama aku terpikat padanya, kali pertama aku mendengarnya bicara, saat pertama ia menyebut namaku.  Mungkin, semua hal pertama itu harus segera diganti dengan terakhir kali—

Tanganku berhenti, bersamaan dengan pandangan mataku yang mendadak mengenali satu helai rekah di antara senar-senar piano itu.

Bunga matahari.

Siapa yang meletakkannya di sana?  Kujulurkan tanganku untuk meraihnya, dan ketika aku telah menggenggamnya, kurasakan dua lengan merengkuhku dari belakang.  Aku panik, berusaha menyembunyikan jus persik yang ada di tanganku, berusaha lari.  Tapi dekap itu lebih kuat, mengikatku rapat dalam pelukannya, menghalangiku untuk lepas darinya.  Wajahnya bergerak merendah ke sisi kepalaku, dan kurasakan napasnya yang panas di kulitku.  Suaranya yang dalam membelai pendengaranku.  Sekali lagi, kurasakan getar aneh menyebar menelusuri sendi-sendi tubuhku.

“Aku tahu itu kau,”

Aku terdiam, semakin erat kugenggam kaleng itu di tanganku, seolah hendak melenyapkannya, menyanggah dengan menghilangkan buktinya. 

Bagaimana ia bisa tahu?

“Aku mengenali suara langkahmu,” lanjutnya, bagai membaca pikiranku, “aku peka pada bunyi, kau tahu?”

Aku tahu.  Tapi…

Sekali lagi aku berusaha menggerakkan tubuhku yang terkunci rapat di antara kedua lengannya.  Aku ingin lepas.  Aku ingin lari.  Tapi ia justru semakin mempererat dekapannya, membawaku semakin dalam pada pelukannya.

“Jangan lari lagi dariku,”

Aku terkejut, tak memahami maksud perkataannya.

“Aku selalu mendengar langkahmu yang menjauh dariku,” suaranya begitu pelan kini, seolah berbisik.  Tapi tiap katanya diikuti kesungguhan yang tak berdusta, mengungkap harap yang seolah begitu lama tersembunyi.  Ia mendesah, dan seraya merapatkan lagi lengan dan sisi wajahnya menaungiku, getar suara itu kembali menyibak.

“Mulai sekarang, aku ingin mendengar langkahmu yang datang padaku.”

Pandanganku mengabur.  Kedua mataku diselimuti lapis tangis yang hampir pecah.  Satu perasaan yang begitu besar membuncah dalam dadaku, menggantikan beban yang selama ini menyesakinya.  Dan meskipun kali ini aku punya keberanian untuk bicara, aku tak bisa menemukan kata untuk mengungkapkannya. 

Dengan isak yang menggumpal di tenggorokanku, aku mengangguk.  Aku tak akan lari lagi.  Tidak untuk pergi darinya.  Tidak untuk menjauh darinya.

Kurasakan satu desah lagi disuarakannya, kali ini diselimuti kelegaan yang begitu kentara, dan ia menguatkan rengkuhannya padaku.  Tanpa perlu melihatnya, aku tahu ia tersenyum—menemani lengkung yang sama di wajahku.

“Oh, dan maafkan aku soal kata-kataku waktu itu,” suaranya mendadak dipenuhi rasa bersalah, dan ia bergerak salah tingkah.  “aku bermaksud memberimu sesuatu untuk menebusnya, tapi aku tak tahu di mana aku bisa membeli jus buah persik.  Aku juga tak tahu apa kesukaanmu.  Aku menebak kau suka bunga matahari, tapi kurasa tak ada jus bunga matahari.  Aku sudah menanyakannya ke banyak tempat dan mereka terus mengira aku bercanda bahkan mengira aku bodoh.  Jadi aku menyerah dan memutuskan memberimu bunga mataharinya langsung, tapi aku tak tahu apakah itu cukup untuk—astaga, aku sudah mengoceh panjang lebar, ya?”

Aku tertawa.  Begitu lepas.  Begitu mudah.  Kubalikkan badanku menghadapnya.  Mataku masih disisai tangis, dan kedua pipiku masih terbakar merah.  Wajahku pasti tampak begitu konyol sekarang, tapi kuberanikan diriku untuk menengadah, pertama kalinya menatap langsung ke dalam kedua matanya.  Ia balas menatapku, mengunci pandangan kami.  Dan bersama-sama, senyum itu pun terbit.

“Terima kasih.”

Kini, akhirnya aku bisa mencapaimu.


Malang, 5 Mei 2012
00:44

A/N: Originally written for Ufuk Romance Korean Wave Short Story Competition.  And my 2nd attempt to actually write love story -____- And by the way, Jongin dances like this :D