“Kau benar-benar tidak berguna!”
Aku menguap dengan lagak bosan,
bersiap mendengarkan omelan harian.
Sekali lagi aku gagal membekukan sampel benih. Langka, katanya. Kemungkinan bisa memperbaiki musim,
katanya. Tapi sampel itu mencair dan
membusuk sebelum mereka bahkan sempat memindai sel-selnya di bawah mikroskop.
“Sekedar membekukannya untuk beberapa
hari pun kau tak sanggup?”
Kata-kata itu lagi. Membosankan.
“Kenapa tidak cari orang lain saja
untuk melakukannya, kalau begitu?” sahutku, sengaja menanggalkan nada sopan
yang seharusnya kugunakan pada seniorku.
Ia berjengit tak senang mendengar
jawabanku, dan mendesis dalam nada dingin.
“Aku tak paham kenapa Pemantik Beku
masih tersisa.”
BRAK!
Kuhantamkan telapakku pada meja di
hadapanku, menatap nyalang. Aku bangkit
dari tempat dudukku, tak memedulikan kursi yang terbanting dengan keras akibat
gerak tiba-tibaku, dan melangkahkan kakiku dengan marah meninggalkan ruangan
itu. Tanganku terkepal erat. Gigi-gigiku bergeretak. Aku sudah begitu sering mendengarnya, tapi
tetap saja kata-kata itu mengiris toreh yang tak menyenangkan di benakku.
Aku sampai di pintu depan gedung, dan
mendesah berat. Aku sengaja keluar untuk
mendinginkan kepalaku, tapi sesungguhnya di luar sana tidak lebih baik. Kutengadahkan wajah, menerawang jauh pada
batas semu langit, memandangi apa yang tersisa.
Negeri kami tak pernah sama lagi.
Sejak Ledakan Panas itu menerjang bertahun-tahun lalu. Panas Inti dari Bumi meluap terlalu besar,
nyaris menghanguskan kami semua menjadi jelaga.
Beruntung Tetua mampu membentuk dinding tak kasat mata di sekeliling
kami, melindungi dataran kami dengan selubung bagai kubah transparan
raksasa. Panas Inti tak lagi dapat
menjamah kami, namun percikannya telanjur meresap pada tanah-tanah di bawah
kaki kami, mengubah segala yang dulu kami tahu.
Musim telah punah. Sisa-sisa Panas Inti dalam wujud Sulur yang
terperangkap di dalam Selubung membunuhnya, menyisakan kering yang tak berujung
bagi kami. Tapi kami tak tahan menghadapi
kenyataan bahwa negeri kami telah kerontang.
Maka para Penggenggam Energi berusaha membuat seolah tak ada yang
berubah, seolah Bumi masih memiliki wajah-wajah rupawannya meski waktu tak lagi
akan berganti bagi tiap musim.
Para Pemetik Matahari akan mengubah
suhu, mencipta hangat bagi musim semi.
Para Pengembala Angin akan membantu bunga-bunga menyebar serbuk mereka
untuk merekahkan kuncup. Para Pembenih
Warna akan melaburkan kuning dan jingga pada dedaunan demi musim gugur. Dan Pemantik Beku sepertiku? Sebagaimana sering dikatakan padaku, kami
tidak berguna. Kami tak dapat mencipta
musim dingin. Panas Inti menelan habis
sumber-sumber air kami. Untuk bertahan
hidup, kami bersusah payah memeras
batang-batang pohon penyimpan air. Siapa
yang mau merelakan tetes-tetes air yang begitu langka untuk kami ubah menjadi
bulir-bulir salju sementara ancaman mati kehausan menghantui kami?
Mungkin memang sebaiknya Pemantik Beku
turut punah. Toh jenis kami yang tersisa
bisa dihitung dengan jari. Dan tak
banyak yang dapat kami lakukan bagi pemulihan negeri. Terutama aku.
Pori-pori Energiku begitu sempit, tak mampu menyalurkan titik-titik beku
terlalu jauh dari permukaan kulitku.
Karenanya apa pun yang kubekukan tak pernah bertahan lama. Karenanya pagi hariku selalu dimulai dengan
omelan.
“Kai!”
Aku terbangun dari lamunanku, menoleh
ke arah sumber suara, dan seketika senyum lebar melengkung di wajahku. Kurentangkan lenganku, menyambut
langkah-langkah kecilnya yang berlari padaku.
Ia tertawa senang ketika sampai di pelukanku, dan kudekap ia erat,
mengalirkan desir dingin pada tiap jengkal kulitku yang merengkuhnya.
“Ah, sejuk sekali,” ia mendesah
nyaman, memejamkan matanya, “terima kasih.”
Aku tersenyum. Seharusnya akulah yang berterima kasih. Lulu, pemilik mata secemerlang bintang dan
senyum seindah matahari terbenam itu adalah satu-satunya yang membuatku
berpikir aku masih memiliki arti. Ia
ringkih, kulitnya lebih rentan suar panas dibandingkan kebanyakan dari kami. Sebisa mungkin aku berupaya menemuinya di
sela-sela tugasku sebagai Penggenggam Energi.
Aku selalu berusaha untuk menjaganya rapat dalam pelukanku yang kusepuhi
dingin. Ia bilang ia beruntung
memilikiku untuk menyejukkannya. Tapi
sebetulnya, akulah yang merasa disejukkan olehnya, bahkan tanpa ia melakukan
apa pun. Hanya dengan ada di dekatku.
Aku terus menggenggam tangannya,
mempertahankan dingin pada jemariku yang bertautan dengan miliknya sepanjang
perjalanan. Ia mengisahkan padaku
tentang pohon maple yang berada di
depan jendela kamarnya, tentang daun-daunnya yang merona dalam musim gugur,
yang melayang jatuh dari dahan-dahannya ketika ditiup sepoi angin, menghujani
pemandangan sepanjang harinya dengan rinai lembayung yang indah.
Aku tersenyum, dan kupandangi Lulu
dengan rasa sayang tak terkira. Ia bukan
Penggenggam Energi. Dan matanya tak
mampu mengenali warna. Segalanya berada
dalam jangkau kelabu hingga nyaris hitam di penglihatannya. Tapi ia mampu melihat segala tentang hidup
lebih berwarna dari semua orang yang pernah kukenal.
“Tapi, aku juga merindukan salju.”
Aku tersentak mendengar perkataannya
yang tiba-tiba, dan kutatap ia dengan bingung.
“Selama ini aku selalu melihat putih
yang dilaburi kelabu dari warna-warna musim,” ia melanjutkan, suaranya diiringi
harap, “tapi aku tak pernah melihat putih yang sesungguhnya. Aku tak pernah kenal musim dingin. Aku tak pernah tahu warna salju.”
Rasa sedih menggumpali rongga
lisanku. Aku tak bisa mengabulkan
keinginannya. Jangankan membuat salju,
membekukan benih pun aku tak mampu.
“Oh, Kai, jangan sedih!” Lulu memeluk
lenganku, menengadah memandangku, yang memalingkan wajah darinya. “Aku hanya bergurau! Itu cuma khayalanku saja!”
Tetap saja. Aku tak bisa memenuhi harapannya—yang kutahu
bukan sekedar canda.
Lulu mempererat dekapannya di lenganku,
kudengar suaranya menyendu, “Bagiku tak apa salju tak ada, asalkan Kai selalu
ada di sisiku.”
Aku masih diam.
“Aku hanya butuh Kai.” Isak mulai menjejak masuk dalam
kata-katanya. “Hanya Kai saja.”
Aku tak tahan. Akhirnya kukembalikan pandanganku padanya,
menariknya ke dalam pelukanku sekali lagi, membenamkan wajahku pada ceruk
bahunya.
“Kai tidak akan pernah meninggalkanku,
kan?”
Tanpa perlu pikir panjang, aku
mengangguk, “Aku janji.”
Karena aku membutuhkannya lebih
daripada ia membutuhkanku.
Senyumnya terbit, membawa ketenangan
kembali dalam dadaku, dan sisa hari itu kami jalani dengan senyum satu sama
lain di sisi.
Pagi esok hariku tidak dimulai dengan
omelan. Gumam-gumam risau merayapi
ruang. Bisik-bisik cemas terasa di
udara. Ada yang tak beres. Dan benar saja. Tak lama, Tetua mengumpulkan kami semua. Beliau menyebut Badai Panas akan tiba tak
lama lagi, membuat kami semua tercekat. Ini
memang bukan yang pertama kali. Selalu
ada saat-saat ketika Panas Inti menggelegar lebih kuat dari biasa dan sebagian
menembus melewati celah-celah tipis pada Selubung. Dan meski kami selalu selamat melewatinya,
ketakutan tak pernah lepas dari kami.
Trauma kami akan Ledakan Panas terlalu besar membekas dalam ingatan
kami.
Tanpa menyiakan lebih banyak waktu, kami
semua segera berpencar, terutama para Pembisik, mereka mengirimkan bulir-bulir
suara untuk menyampaikan pesan itu bagi seluruh penduduk negeri, memberitahu
mereka untuk berlindung. Aku melajukan
kakiku keluar. Pikiranku dipenuhi wajah
Lulu. Ini hari Sabtu, dan ia selalu
pergi memetik buah-buah berry yang
hanya tumbuh hari itu di Hutan Tepi yang berbatasan langsung dengan
Selubung. Aku harus sampai di rumahnya
sebelum ia berangkat.
Atap rumahnya yang berwarna merah bata
menyala terlihat. Aku mempercepat lariku,
berhenti tepat di bawah jendela kamarnya, dan berteriak memanggilnya.
“Lulu!”
Tak ada jawaban. Tak ada tangan mungilnya bergerak membuka
daun jendela. Tak ada wajahnya melongok
keluar. Tak ada senyumnya menyambutku.
Rasa panik menyergapku, menyebar dalam
tubuhku seperti racun. Kembali aku
berlari, menghalau panas yang mulai menguapi udara di sekelilingku, mengabaikan
teriakan-teriakan para Pembisik yang menyuruhku untuk kembali. Sulur Panas semakin kuat kurasakan
mencengkeram kulitku. Sudah dekat
waktunya. Tapi aku tak peduli.
Aku harus menemukannya. Harus.
“Lulu!”
Aku sampai di Hutan Tepi, dan apa yang
kulihat membuat dadaku seolah dihantam batu besar. Ia ada di sana. Terbaring di antara semak-semak berry, tampak tak sadarkan diri. Aku berlari ke sisinya, mengangkatnya ke
pelukanku. Kurasakan tubuhnya melemah di
lenganku. Kulitnya kemerahan, nyaris
melepuh. Wajahnya pias. Napasnya dangkal. Nyeri tak terkira kurasakan. Melihatnya terluka adalah salah satu hal yang
paling tak kuinginkan. Kuangkat ia lebih
dekat padaku, kubisikkan namanya perlahan dengan gemetar, memohonnya untuk
bangun.
“Kai…?”
Matanya terbuka dalam garis tipis, dan
aku melenguh lega karenanya, mendekapnya erat, seolah melepaskannya akan
membuatku kehilangannya selamanya.
“Shh, sudah tidak apa-apa,” kataku
dengan nada lembut untuk menenangkannya, hendak mengangkatnya dari tanah. “Aku ada di sini. Kita pulang sekarang.”
Ia tersenyum lemah, mengangguk. Kugendong ia di dadaku, memastikan tiap
permukaan kulitku terlapisi dingin untuk melindunginya. Aku menggerakkan kakiku untuk meninggalkan
tempat itu—sebelum jatuh terjerembab.
Aku menoleh, dan kulihat Sulur Panas
mengelilingi kakiku. Sulur itu lebih
tebal dan nyalang dari yang pernah kutahu, membara dalam merah yang berpendar
mengancam, memerangkap pergelangan kakiku bagai jemari-jemari besar yang
kuat. Aku meraung ketika kurasakan
panasnya begitu tajam menembus kulitku, seolah mencapai tulangku.
Ini aneh. Meski tidak dapat sepenuhnya disebut tak
terlihat, Sulur Panas tak pernah tampak sepadat ini. Selama ini Sulur hanya tersadari daam bentuk
percik-percik panas di sela udara di sekeliling kami, merambat dalam uap tak terlihat
di antara kaki-kaki kami. Tapi tidak
pernah senyata ini.
Sulur Panas seharusnya tak berwujud.
Kubawa pandanganku menelusuri
sepanjang Sulur, berusaha mencari sumbernya, dan mataku membelalak tak
percaya. Sulur itu berpangkal pada celah
di Selubung. Tidak, bukan sekedar celah
yang ada di sana, tapi retak. Retak
besar hingga membentuk lubang yang kasat mata.
Kulihat Sulur itu berusaha mengikis tepi-tepi retak itu sedikt demi
sedikit, memperbesar diri menjadi kobaran.
“Lulu, lari!”
Ia ketakutan, namun tak beranjak dari
tempatnya. Ia mencengkeram punggungku,
menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Aku tidak mau meninggalkan Kai!”
Aku terperanjat. Aku akan senang mendengarnya seandainya kami
tidak sedang dihadapkan pada Sulur yang siap melalap habis kami tanpa pandang
bulu. Tapi keselamatannya adalah
prioritas satu-satunya bagiku. Aku sudah
membuka mulut untuk menyuruhnya pergi lagi, ketika salah satu jemari Sulur
mengarah pada kami. Kutarik Lulu ke
belakang punggungku untuk melindunginya, dan kurasakan bara memecut
wajahku. Lulu memekik. Robek besar muncul di pipiku, mengucurkan
darah segar. Belum juga aku terbiasa
dengan rasa sakit itu, dan satu lecutan kembali menghajarku, kali ini mengoyak
lenganku.
Lecutan-lecutan itu terus datang, dan
aku mati-matian berusaha menghalaunya dengan melemparkan keping-keping beku ke
arahnya, mengerahkan segenap Energiku.
Tapi Sulur itu lebih kuat.
Keping-keping bekuku dengan mudah dihancurkannya, kembali melecutku. Membentuk luka-luka besar pada lenganku,
tungkaiku, sisi tubuhku, melemahkanku dengan seketika. Merah pekat menghiasi tubuhku, tapi aku
berusaha tetap berdiri di atas dua kakiku, menamengi Lulu, menolak untuk
membiarkan terluka lebih jauh. Kusadari
Sulur itu semakin menebal, bergulung bagai ombak api. Retak itu telah membesar. Tepi-tepinya
bergetar rapuh, menghantarkannya lebih jauh ke permukaan Selubung, seolah
hendak meruntuhkannya.
Kalau begini terus, seluruh negeri
akan terbakar. Seisi negeri akan
musnah. Dan aku akan kehilangan Lulu.
Kupalingkan pandanganku, dan kudapati
Lulu menatapku. Ketakutan jelas terpeta
di garis parasnya, matanya disaputi air mata, bibirnya bergetar dalam cemas
yang tak terucap, dan kedua tangannya masih tak melepaskan pegangannya
dariku. Aku tak suka melihat sedih
terlukis di wajahnya. Aku tak suka perih
merusak teduh matanya.
Aku ingin senyum itu selalu ada di sana.
Perlahan, kubuka kaitan jemarinya dari
punggungku dengan lembut. Ia menyadari
apa yang hendak kulakukan, dan dicengkeramnya tanganku kuat-kuat,
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terisak.
Kugenggam sepasang tangan mungilnya, menyentuhkannya perlahan pada
bibirku. Dan dengan satu senyum lebar,
kulepaskan ia.
Aku melangkah menghadang Sulur Panas
itu, berjalan lurus padanya. Lulu
memanggil-manggil namaku, memohonku kembali.
Mendengarnya tersedu mengiris-irisku dari dalam. Kupejamkan mata, menguatkan tekadku, berusaha
agar tak goyah. Seraya melangkah semakin
merapat pada kumparan Sulur itu, kunyalakan beku dari dalam tubuhku.
Pori-pori Energiku memang terlalu
sempit. Aku tak pernah bisa memancarkan
titik-titik beku jauh dari permukaan kulitku.
Tapi sangat mudah bagiku untuk menyalurkannya pada tubuhku sendiri. Ke bawah lapisan kulitku, menembus
otot-ototku, melewati ikatan-ikatan tulangku, menyusupi pembuluh darahku,
hingga menangkap jantungku.
Kubekukan seluruh tubuhku dengan
meraup semua Energi yang kupunya, mengeraskannya dalam dingin yang tak pernah
kucipta sebelumnya. Kusisakan sedikit
kesadaranku untuk mengangkat tungkaiku terus bergerak. Sulur-sulur kembali menghajarnya, semakin
garang seolah mengejekku, tapi tak lagi mampu menggoresku. Tubuhku seolah kebal dengan perisai es yang
melekat langsung di kulitku.
Dan sampailah aku pada sumber retak
itu. Muntahan apinya berusaha
mendorongku menjauh, tapi aku bergeming.
Aku tak akan mundur. Tak akan. Kutolehkan wajahku untuk terakhir kali. Lulu berurai air mata, tangannya terjulur,
memohon agar aku menyambutnya. Sekali
lagi aku tersenyum, dan kulambaikan tanganku padanya.
“Aku akan segera kembali.”
Dan dengan satu langkah terakhir,
kusongsong retak itu. Lulu menjerit, dan
satu ledakan besar memenuhi langit.
Kai tak pernah kembali. Kai berbohong padaku.
Aku tak pernah melihatnya lagi sejak
hari itu. Retak pada Selubung tertutup
dengan lapis kristal di tempat Kai pergi, memadamkan semua Panas. Negeri kami selamat. Semua orang selamat. Tapi aku tak akan pernah bisa bertemu dengan
Kai lagi.
Tak bisa kutahan satu lagi butir basah
menuruni pipiku.
Kau bohong, Kai. Kau bohong.
Kau bilang tidak akan pernah meninggalkanku. Kau bilang kau akan selalu ada di
sisiku. Kau bilang—
Isakku mendadak terhenti. Mataku terbelalak lebar. Tidak, ini pasti cuma khayalanku. Kugosok kedua mataku, berharap dengan begitu
ilusi itu mereda. Tapi tidak.
Salju itu ada di sana.
Aku membuka jendela kamarku dengan
cepat, memanjat tepinya, menengadahkan wajahku.
Butir-butir salju turun dengan gerak pelan tanpa suara, menitiki gelap
langit malam. Putih. Tanpa bayang.
Tanpa kelabu. Tanpa cela.
Warna putih yang sesungguhnya. Warna milik Kai.
Kuulurkan tanganku, membiarkan sebutir
mendarat perlahan di telapakku. Dingin,
sebagaimana yang diceritakan padaku tentang salju. Tapi ketika aku menggenggamnya, kurasakan
kehangatan menjalari ujung-ujung jemariku, menyelubungiku. Menenangkanku, seperti yang selalu kurasakan
ketika Kai mendekapku. Dan, tahulah aku.
“Senang bertemu lagi denganmu, Kai.”
Malang, 29 April 2012
05:42
A/N: Written for Fantasy Fiction Competition 2012. And yes, dear Exotics, it's that 'Kai' and 'Lulu' #pentingbanget #plak =))