Monday, May 14, 2012

a piece of day and a slice of waffle


Sebelumnya, akan saya awali catatan ini dengan satu kisah.


Suatu hari, seorang profesor filosofi masuk ke kelas yang diajarnya dengan membawa beberapa barang bersamanya.  Tanpa membuka kuliah dengan kata-kata, beliau meletakkan satu toples kaca besar yang kosong  di atas mejanya, kemudian beliau memasukkan bola-bola golf ke dalamnya hingga toples itu penuh.  Beliau lalu bertanya pada para siswanya apakah toplesnya sudah penuh.  Mereka menjawab iya.

Kemudian beliau mengambil satu kotak kerikil dan memasukkannya ke dalam toples.  Beliau mengguncang toplesnya sedikit, dan kerikil-kerikil itu pun memenuhi ruang di antara bola-bola golf yang sudah ada.  Beliau kemudian bertanya lagi apakah toplesnya sudah penuh.  Mereka menjawab iya.

Kemudian beliau mengambil satu kota pasir dan memasukkannya ke dalam toples.  Dan tentu saja pasir-pasir tersebut memenuhi semua sisa ruang yang ada.  Beliau sekali lagi bertanya apakah toplesnya sudah penuh.  Serempak mereka menjawab iya.  

Kemudian beliau mengambil dua sendok kopi dan memasukkannya ke dalam toples, memenuhi secara tepat sela-sela di antara pasir-pasir.  Para siswa pun tertawa.

“Nah,” ujar sang professor, ketika tawa telah mereda, “saya ingin kalian memahami toples ini sebagai representasi hidup kalian.  Bola-bola golf itu adalah hal-hal yang terpenting—Tuhan-mu, keluargamu, anak-anakmu, sahabat-sahabatmu, kesehatanmu, passion-mu—segala hal yang meski segala hal lain tak ada dan hanya hal-hal itu saja yang ada, hidupmu akan tetap lengkap.  Kerikil adalah hal-hal lain yang juga penting setelahnya.  Pekerjaanmu, rumahmu, kendaraanmu.  Dan pasir adalah hal-hal kecil lainnya.”

“Jika kau memasukkan pasir terlebih dahulu,” lanjut beliau, “tidak akan ada tempat untuk kerikil dan bola golf.  Hal yang sama berlaku pada hidup kalian.  Jika kalian menghabiskan waktu dengan mengurusi hal-hal kecil saja, kalian tidak akan pernah punya waktu untuk hal-hal yang penting.  Jadi perhatikanlah hal-hal yang paling penting bagi kebahagiaan kalian.  Uruslah bola-bola golf itu terlebih dahulu, hal-hal yang benar-benar berarti.  Tetapkan prioritas kalian.  Yang lain hanyalah pasir.”

Salah seorang siswa mengangkat tangannya dan bertanya apa makna dari kopi.
Sang professor tersenyum, “Saya senang kamu menanyakannya.  Kopi itu menunjukkan bahwa seberapa pun sibuk dan padatnya hidupmu kelihatannya, selalu ada waktu untuk menikmati dua cangkir kopi bersama seorang kawan.”


Ada yang merasa tertohok setelah membaca cerita di atas?  High-five.  Saya terutama merasa demikian pada beberapa waktu terakhir.  Ketika saya lebih muda—dan tentunya lebih egois dan labil—saya punya hal-hal yang saya anggap prioritas di atas segalanya.  Sebutlah barangkali kuliah saya, nilai-nilai saya, atau kegemaran-kegemaran sepele saya.  Hal-hal itu memenuhi sebagian besar hari-hari saya saat itu.  Tak boleh diganggu gugat, no matter what.  Everything else comes second.  

Kemudian tiba satu waktu saya jatuh sakit, salah satu sakit paling parah seumur hidup saya—dan masih menjadi mimpi buruk hingga sekarang—dan membuat saya sejenak tersingkirkan dari semua rutinitas saya.  Rasanya aneh, memang, mendadak tidak berdaya dan cuma bisa berbaring tanpa melakukan apa pun sementara biasanya hari-hari saya sangat hectic dengan tugas ini-itu, diskusi kelompok ini-itu, et cetera, et cetera.  Tapi justru saat itulah, saya menyadari hal-hal yang terpenting bagi saya yang sempat saya lupakan ketika pikiran saya hanya dipenuhi hal-hal sepele itu.

Keluarga saya adalah segalanya.  Keluarga saya adalah yang selalu ada kapan pun saya membutuhkannya, bahkan tanpa saya meminta.  Ketika saya sakit, orang-orang lain datang menjenguk saya dan mendoakan saya agar lekas sembuh, tapi keluarga sayalah yang sepenuhnya ada bersama saya.  Bukan hanya dalam artian waktu, tapi sepenuhnya.  Membuat saya merasa saya akan baik-baik saja, seberapa pun sakitnya, karena saya memiliki mereka.

And yes, tentu saja saya juga jadi menyadari kesehatan adalah salah satu dari prioritas—prioritas yang tepat, coret daftar saya sebelumnya.

Then I know what’s my golf balls are, and the pebbles, and the sand that is need to be poured later.

Bagaimana dengan kopinya?

Disebutkan belakangan, bukan berarti berada di urutan paling bawah di antara semuanya.  Siapa yang bisa hidup tanpa teman?  Saya tidak bisa.  Well, saya tidak bisa disebut sebagai orang yang terlalu supel, juga tidak termasuk seorang yang sangat gemar berkumpul ramai-ramai dengan teman-teman.  Saya menikmati waktu sendirian saya, hanya berdua dengan musik menyumbat telinga saya, buku di tangan saya, coklat di sisi saya, atau berjam-jam berteman dengan tempat tidur saya yang empuk.  Dulu ketika masa kuliah sedang padat-padanya, terkadang saya lebih memilih untuk diam di rumah sendiri atau tidur daripada pergi bersama teman-teman ketika senggang.  Pikir saya saat itu, toh saya bisa bertemu teman-teman saya tiap hari.  

Just a note for younger readers: when you’re in college, you (almost) literally live with your friends 24/7.  Both in good way and bad way (most of it are good times, don’t worry ^__^).

Itu berubah ketika akhirnya kuliah berakhir.  Kami semua lulus, menyongsong tahap hidup yang berikutnya: karir.  Satu per satu kawan saya meninggalkan Malang untuk bekerja.  Mulai dari teman-teman satu kelas, hingga yang karib.  Rasa kehilangan itu mulai terasa ketika dua dari sahabat baik ketika masa kuliah—Ratih dan Tania—pindah ke Surabaya dan Jakarta karena pekerjaan mereka.  Rasanya sama sekali tidak menyenangkan mendadak tidak bisa bertemu dengan mereka padahal sebelumnya saya bertemu mereka tiap hari, hampir tiap jam, karena merekalah yang paling sering berada di kelompok yang sama dengan saya.  Heidi, sahabat saya yang lain, kemudian juga menyusul pergi dari Malang untuk bekerja di Surabaya.

Tidak lama setelahnya, sahabat-sahabat terdekat saya sejak SMA, yang selama hampir tujuh tahun penuh tidak terpisah karena juga kuliah di kampus yang sama, juga kembali ke kota asal kami—Samarinda—segera setelah lulus untuk bekerja di sana.  

Rasanya waktu berlalu begitu cepat, dan mendadak saya tak bisa lagi semudah itu bertemu dengan mereka.  Dan menyesallah saya tidak lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka sebelumnya.

Sekarang, setelah kami semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, kawan-kawan bekerja dan saya melanjutkan kuliah ke jenjang pascasarjana, saya—kami—jadi lebih menghargai waktu yang kami punya untuk dapat saling bertemu, seberapa pun singkatnya.  Bertemu tiap hari memang tidak mungkin.  Bahkan terkadang ada saja masanya saya merasa sama sekali tidak memiliki waktu untuk diluangkan untuk bertemu dengan teman-teman ketika deadline-deadline telah duduk manis mengancam saya tepat di depan mata.  Tapi sebetulnya, seperti dua sendok kopi yang bisa memenuhi bahkan sisa-sisa ruang terkecil di antara butir-butir pasir, selalu ada waktu yang bisa kita sisihkan untuk kawan-kawan kita.

Waktu temu kami tidak selalu diisi dengan hal-hal meriah atau luar biasa.  Terkadang kami bahkan hanya sekedar makan siang bersama sambil saling menceritakan kabar masing-masing.  It was short.  It was nothing big.  And yes, it was not that expensive either, hehe.  But we enjoy it anyway.  

Sekarang, saya justru jadi menunggu-nunggu saat saya bisa berkumpul dengan teman-teman lagi.  Dua sahabat baik saya sejak SMA, Ayu dan Hilga, masih di Samarinda dan saya hanya bisa menemui mereka satu tahun sekali ketika saya pulang saat Lebaran.  Ratih masih di Surabaya, begitu juga dengan Heidi.  Kawan terdekat yang masih bisa saya temui sekarang hanya Tania, yang kembali bekerja di Malang sejak tahun lalu.

Sepi?  Tentu saja.  Terutama karena biasanya kami berkumpul berempat.  Tapi bukan berarti saya tidak menikmatinya.  It makes me treasure it even more.  

Saya senang sekali tiap kali Tania mampir ke rumah saya setelah pulang bekerja, sekedar berbincang mulai dari hal-hal seperti kekonyolan di kantor dan kampus hingga hal-hal yang lebih membuat kening berkerut.  Dan saya terutama senang ketika tiap akhir minggu kami berdua sepakat untuk berjalan-jalan berdua, dalam waktu yang lebih leluasa.  

Kami bukan penggemar berat salon (we’re kinda boyish, yes) dan terlebih sangat cupu dengan dunia yang lebih gemerlap (and we’re kinda nerd, too, yes, lol), dan kami berdua terutama doyan makan, jadilah kami lebih sering menghabiskan waktu kami itu dengan menjelajahi tempat-tempat makan untuk ngemil.  Memang bukan kopi yang menemani kami berbincang (dan mengeluh, dan menggosip, dan ngakak ababil), tapi apa pun makanan atau minumannya, still, it will always be a great time.

And I feel like sharing the story of those foods, too, hehehe...  In case you’re interested ;)




Jadi inilah tempat yang kami tuju akhir minggu lalu.  de’Pans, tempatnya berada di Jl. Simpang Balapan, di kawasan Ijen.  Tempatnya tidak begitu besar, tapi sangat nyaman.  Terutama karena awalnya adalah rumah tinggal, dan taman-taman serta struktur ruangnya dipertahankan, jadi kesan homy dan cozy-nya sangat terasa.  Area duduknya terbagi antara indoor dan outdoor di teras, yang sangat menyenangkan karena berbatasan langsung dengan taman-tamannya yang mungil tapi cantik.  Meskipun berada di tengah kota, bising bukan sesuatu yang akan kita temui di sana.

Sesuai namanya, menu utama di tempat ini adalah pancake, juga waffle, dengan berbagai pilihan topping, fruitfilling, dan es krim.  Juga panganan lain seperti baked macaroni, french fries, hingga makanan berat seperti pasta dan nasi.  Tapi, seperti yang saya bilang sebelumnya, expensive stuffs is not really our thing, jadi tidak banyak biaya terkuras untuk satu-dua jam menikmati waktu di tempat itu.

And here goes our ‘coffees’ that day:

Tania&her pancakes with blueberry topping&vanilla ice cream

My waffle with chocolate topping&chocolate ice cream





 Along with these, too:

French Fries Bolognese
Apple&Lemon Soda Punch

Tidak terlihat mengenyangkan?  Well, that’s not true.  Kami kenyang, dan puas, terutama kenyang dengan saling bercerita satu sama lain.  That’s the thing that matters.  

Kami memang tidak punya waktu satu hari penuh, tapi beberapa jam yang kami miliki cukup untuk menggantikan satu minggu yang kami lalui dengan berkutat pada bola-bola golf dan kerikil-kerikil kami masing-masing.  It’s about the quality, not quantity.

So when things in your life seem almost too much to handle, when 24 hours in a day are not enough, remember the jar and two cups of coffee.


P.S.  And I might post more about our coffees again next time, hehehe… ;)


Malang, 14 Mei 2012
01:02

8 comments:

multimehdia said...

Suka ta' sama tulisannya..
Bagian paling favorit adalah waktu Profnya jelasin soal filosofi hidup. Simple..tapi mengena :D

Hilga Clararissa said...

Aku maauuuuu....

cappucino_no said...

Ola la.. Ta, anak yang di fotomu itu, imut ya? wuahahahah

Dan tentang isinya... hm... aku lebih ingin waffle dan pancakenya. *plak*

Btw, aku pernah baca filosofi hidup itu ta, tapi lupa dimana aku pernah baca. Dan kamu menulisnya kembali di sini, itu oke banget kok ta... Dan soal isi ke bawah-bawahnya, hihihihihi, aku takjub kamu bisa nulis seperti itu. Dia merindukanmu, Ratih dan Yana? *hihihihihi ;))*

Ayo, setelah Yana kembali ke surabaya.. kita kuliner ke surabaya.. Di sini kita kulinerin sendiri saja ta.. Yana, kalau u membacanya, beri kami referensi. Asli kita di sini bingung mau kemana?

Dan terakhir, aku pikir kamu hanya akan menulis tentang kuliner seperti pak bondan itu loh!!!

キアリ said...

@Mehdia:

Wah, ada Mehdiaaa~~ :D
Tengkyu, Meh, aku juga suka banget sama cerita itu, makanya ku-share :D Makasih udah mampir, baca&komen ya, Meh! Let's keep writing~ (^__^)/

@Ayank Hilga:

Ayaaaank~~ Bogoshiepo~~ :D
Kamu mau? Mau waffle atau aku? #eah Sinilah ke Malang, apa pun yang kamu mau aku kasih deh :*

@Tania:

Iya, imut banget, saya jadi ngerasa kayak tante-tante yang nyulik anak SD buat nemenin saya makan #digerus Ahaha, iya, filosofinya bagus, makanya ku-share, dan emang pas sama yang mau kusampein sih :))

Iyap, Tih, Yan, ayok ngumpul berempat lagi. Ga kangen kah sama temen-temenmu yang cebol--eh maksudku imut ini? :))

Hehe, dari awal emang aku bermaksud ga sekedar nulis cerita soal jalan-jalan atau makanan-makanannya kok. Aku ga pinter ngasih amanah di tulisan-tulisanku, jadi paling ga aku pengen nge-share lebih dari sekedar cerita perjalanan&kuliner, siapa tahu bisa jadi lebih berguna buat yang baca :)

Thanks for the comment, Ni! Dan mari kita "ngopi" lagi~~ :))

namie25 said...

Profesornya koq berasa bukan dari keluarga brawijaya ya.. wkwkwkwk *aku ngina banget,... pizzzz prof....


Ta knp aku ingetnya dlu jaman kuliah kita juga sering bgt keluar..
wkwkwkwk,,
atau yang sering keluar tuh aku ya?? weleh...

キアリ said...

@Yana:

Akhirnya neng Yana muncul =)) Yan, itu emang bukan profsor UB yang ngomong, wakakak... Itu kuterjemahin dari cerita orang luar, malah =))

Iya emang dulu kita juga lumayan sering keluar, makanya semacam sekarang jadi terasa lebih jarang jalan habis lulus kan =))

Dirimu kapan balik ke Surabaya, btw? *tunjuk komen Tania di atas*

Ayu Abriya said...

cintaaa, aku kangeen..!

Hilga Clararissa said...

Aku mau dua2nyaa... :D

Emang lg kepengen waffle aku yank,,
km bikin tambah ngiler ajaa... *ngeces*

Kapan ksni jagii?? Dsni jg ada yg waffle-nya enak loooh... :))