Sunday, November 13, 2011

Pagi dan Engkau


Kusebut ia bagai Mentari.


Ia begitu menawan.  Parasnya memesona, geraknya bagai tari, ucapnya mudah mengundang decak kagum.  Ia cerdas, juga menyenangkan bahkan untuk sekedar berbincang ringan.  Semua menyukainya, terutama kaum Adam yang sudah terlalu sering kulihat mencuri pandang dan berusaha memancing sejumput perhatiannya.  Dan ia sudah menjadi kawan baikku sejak lama, begitu lama, hingga aku terkadang merasa mungkin kami memang berasal dari rahim yang sama, dihubungkan ikatan darah.

Kembar.  Seperti julukan yang pernah disematkan bagi kami berdua.  Selain karena satu kebetulan luar biasa kelahiran kami di hari yang sama, juga karena kami nyaris tak terpisahkan.  Akan sukar bagimu menemukanku tanpa ada ia di sampingku, dan begitu pula sebaliknya.  Rasanya janggal jika ada terlalu banyak waktu yang kami habiskan tanpa ada kehadiran satu sama lain di sisi.  Karenanya kami selalu bersama, semenjak seragam kami masih sewarna bendera, hingga bertransformasi menjadi biru dan abu-abu, bahkan ketika kami tiba pada bangku-bangku kuliah, dan akhirnya terlepas dari kewajiban-kewajiban belajar itu dan menyongsong hidup yang sebenarnya dalam jalan karir, kami masih terus bersisian. 

Namun sebenarnya kembar tak benar-benar tepat untuk menggambarkan kami.  Aku tak bisa disejajarkan dengannya, dan kau tak bisa menyebutku Mentari pula.  Aku tak mampu mencerahkan suasana seperti halnya Mentari hanya dengan keberadaannya saja.  Aku tak mampu menciptakan tawa bagi sekeliling semudah Mentari selalu melakukannya.  Aku tak mampu memancing rasa terkesan sebagaimana Mentari sehari-harinya bagi orang lain. 

Aku berbeda.  Jika diibaratkan, mungkin aku lebih cocok dengan segenang kecil danau tanpa riak di bawah pancaran Mentari yang menerangiku.  Tak banyak suara kubuat, pun tak pandai aku berekspresi.  Ketika aku tak tahu harus menjawab apa terhadap perkataan yang diarahkan padaku, aku hanya mampu tersenyum.  Ketika aku tak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap perlakuan yang ditujukan padaku, aku hanya akan menunduk, atau tersipu, dan menghalau pelan usikan-usikan tanpa mampu benar-benar mengusirnya.  Lalu kemudian Mentari akan datang dan menjadi tamengku, melindungiku. 

Dan aku memang lebih terlihat ketika ada Mentari di sampingku, meski kilaunya yang begitu terang tentu saja menjadi pusat dari perhatian di mana pun kami berada.  Sudahkah kubilang Mentari begitu populer?  Tak bisa lagi kuhitung berapa banyak wajah-wajah yang sengaja mendatangiku dan membujuk, berusaha mendapatkan secuil saja info dan sepotong kecil bantuan agar dapat mendekati Mentari.  Ya, ia tak mudah diraih, dan aku cukup senang dengan perangainya yang demikian.  Tak semua laki-laki yang mendekatinya bisa kusebut baik, terutama baginya.  Tak sedikit yang mati-matian mengejarnya semata karena terpikat tampilannya, namun kosong akan pemahaman tentangnya.  Dan karenanya, sedikit banyak aku berusaha menjauhkan kawan dekatku itu dari sosok-sosok yang tak baik itu darinya semampuku, memilah nama-nama yang kuizinkan tahu sepetak-petak kecil hal mengenai Mentari.

Tidakkah aku iri, tanyamu?  Bohong jika kusebut tidak.  Tentu saja aku ingin memiliki kecerahan seperti Mentari, mengubah sedikit kecenderunganku yang disebut-sebut terlalu tenang.  Seperti gong, jika tak dipukul aku tak akan berbunyi, jika tak disentil dengan sapa dan ajakan membuka percakapan, aku tak akan bersuara—seperti itu kawan-kawan lain menjulukiku.  Dan meski telah lama berada di sisi Mentari, tidak juga aku tertular kemeriahan sifatnya itu.  Tapi tak apa.  Aku tak akan mendengki cemburu atas segala keindahan yang dimilikinya.  Dengan memilikinya sebagai kawan dekatku saja, aku sudah sangat bahagia.  Ia Mentari yang kupantulkan dengan lapis tetes-tetes air dari genang danauku, dan aku merasa lebih baik ketika ada ia di sampingku.

“Selamat pagi.”

Kuhentikan celoteh dan tawa kecil yang kubagi dengan Mentari ditemani dua cangkir kopi di atas meja kerja penuh gambar-gambar kerja kami, menoleh bersamaan pada sumber suara itu.  Lalu waktu seolah berhenti.  Satu pemandangan yang merampas kemampuanku bernapas seperti biasa.  Di depanku, kudapati Samudera.  Jangan salahkan kecenderunganku menatapi mata untuk mengenali dan menelaah seorang yang tak pernah kutahu sebelumnya, tapi kali ini kedua iris itulah yang terlalu tak bisa kutolak untuk pandangi.  Memang bukan biru warna yang menghiasinya, melainkan coklat tua.  Namun kepekatannya membuatku seolah hanyut di kedalamannya, kilatnya membuatku terpaku dengan ketenangannya.

Kepala studioku memperkenalkannya sebagai anggota baru tim perancang kami, yang akan segera menempati ruang yang sama dengan kami—aku, Mentari, dan tiga orang lainnya.  Ia kemudian melengkungkan senyum dan memperkenalkan dirinya, dalam kalimat-kalimat yang cukup banyak luput dari pendengaranku.  Ah, aku merasa tolol.  Aku belum pernah sebegitunya terperengah oleh keberadaan seseorang, dan aku merasa bodoh karenanya.  Semu samar timbul di kedua pipiku—untuk alasan yang tak kupahami kenapa.  Aku menarik pandanganku kembali pada Mentari dengan cepat, hendak meminta penjelasannya akan apa yang terjadi padaku, dan apa yang harus kulakukan. 

Namun kuurungkan itu.  Kulihat rona yang lebih terang merekah di sisi wajah Mentari, dan binar yang tak pernah kulihat ada dalam kedua bola matanya sebelumnya tampak di sana.  Senyumnya terkembang lebar.  Ia kemudian berdiri dan mengulur tangan, berjabatan tangan dalam sapa riang dengan Samudera, membuatku terkesiap.  Samudera menyambutnya, menghadiahinya senyum yang lebih lebar, sebelum menunduk dan menyapaku juga, yang berdiri terlalu mendadak hingga nyaris menjatuhkan kursi, membalas sapanya dengan tergagap.  Aku dan Mentari kembali duduk, membuat mata kami mengikuti gerak Samudera menuju kubikelnya.  Dan berikutnya kudengar pekik tertahan dari Mentari, diikuti puji yang jarang disuarakan olehnya akan orang-orang lain.

Aku mengangguk dan tersenyum menyimaknya.  Bisa kupahami mengapa Mentari tak henti mengucap kagum tentangnya, meski kami baru mengenalnya kurang dari lima belas menit yang lalu.  Jika bicara penampilan, ia memang tak seistimewa beberapa pria yang pernah mendampingi Mentari sebelumnya, tak juga setara dengan segala patokan ideal seperti yang pernah diungkapkan kawan-kawan perempuanku yang lain.  Namun ada hal yang tak terkatakan darinya yang begitu sulit untuk ditolak.  Sosoknya yang tinggi menjulang tampak kokoh, tiap bagian kecil dari geraknya memikat, caranya berlisan sangat bersahaja, dan suaranya yang dalam begitu menenangkan.  Terlebih, caranya menatap—entahlah, tak bisa kujelaskan dengan tepat, namun ia bagai magnet yang mampu menarik siapa pun dalam pesona keberadaannya.  Begitu mudah.  Seperti Mentari.

Dan disokong dengan santun dan pribadinya yang mengesankan, juga sikap pekerja kerasnya, segera ia menjadi favorit di tempat kerja kami.  Ia menjadi nama baru yang sering disebut dalam bisik-bisik kagum selain Mentari, tapi aku tak terusik karenanya.  Yang membuatku demikian adalah apa yang mendatangiku ketika jam kerja telah usai keesokan harinya. 

“Hai.”

Sapa itu membuatku tercekat, menghentikan gerakku yang sudah hendak beranjak dari meja menuju pintu.  Dan benar saja, Samudera-lah pembuat sapa itu.  Ia menyimpul senyum lembutnya yang semakin kusukai itu, dan menghampiriku, menyisakan jarak yang tak jauh di depanku.  Aku mematung dalam diam, dan menunggu dengan degup berisik apa maksud sapanya itu.  Ia tertawa kecil, mungkin menertawakan kekikukanku, dan warna merah spontan memenuhi wajahku tanpa bisa kukendalikan.  Setelah reda gemerincing tawanya—yang terlalu menyenangkan untuk dihentikan—ia nyatakan satu kalimat yang membuat sebongkah batu mendadak seolah muncul dalam perutku.

“Maaf, mungkin ini terdengar terlalu tiba-tiba dan tidak masuk akal untukmu.  Tapi sejak pertama kali aku...”

—seharusnya aku tahu.

Seharusnya aku tahu dari awal bahwa itu tak mungkin—bodoh berharap ia mendatangiku karena diriku.  Kalimat itu sudah teramat sering kudengar:  Sejak pertama kali aku melihat Mentari, aku jatuh cinta padanya.  Dan kemudian bujukan dan permohonan-permohonan menyusul setelahnya.  Ini semua tentang Mentari.  Selalu tentang ia.

“Aku mengerti.”

Kupotong perkataannya, tak ingin mendengar sisa kalimatnya yang kutahu akan memperbesar bongkahan yang sudah menyesaki tubuhku dari dalam.  Ia tampak terkejut, tapi kupaksakan senyum terpasang rapi di wajahku, membujuk otakku untuk mengucap “aku baik-baik saja”.  Kukerling lagi kedua iris coklat gelap itu—Samudera itu—dan yakinlah aku bahwa tak perlu aku menimbang-nimbang lagi baikkah pria ini bagi sahabatku.  Tak kulihat niatan buruk dari sinar matanya, bahkan ketulusanlah yang kurasakan darinya.  Satu senyum lagi kupaksakan—

—aku akan senang pria ini mendampingi sahabatku.

Segera kukatakan padanya aku akan membantunya untuk dapat mengenal Mentari lebih jauh, segala yang ingin diketahuinya akan aku berikan, dan kukatakan itu dengan sungguh-sungguh, dalam kecepatan yang sedikit lebih terburu dari cara bicaraku biasanya, berusaha menutupi rasa tak menyenangkan yang masih menyisa.  Samudera tak menyelaku, ia tampak menyimak setiap kata yang kuucapkan, pandangannya tak dialihkan dariku.  Ia tampak serius—begitu serius, hingga seperti mengintimidasiku.  Ia lalu tersenyum, dan berkata terima kasih.

Hari-hariku berikutnya terasa begitu berbeda.  Ada satu sosok lagi yang sering ada di sisiku selain Mentari.  Pagi hingga sore hari kuhabiskan dengan mengerjakan proyek seperti biasa, bersama Mentari, namun kali ini aku berusaha selalu membawa Samudera ke dalam segala pembicaraan dan kegiatan kami.  Tak sukar melakukannya karena pada dasarnya keduanya lihai bercakap-cakap, dan tampak mudah bagi mereka saling menimpali dalam apa pun yang kami lakukan.  Kubuat diriku lebih banyak diam agar lebih banyak waktu mereka habiskan untuk berbincang, dan seringkali aku menyingkir berpura-pura ada hal lain yang harus kukerjakan agar dapat meninggalkan mereka berdua saja. 

Dan hari-hari itu juga memberiku kesempatan untuk berada bersama Samudera lebih dari yang kuharapkan.  Seringkali ia menawari untuk menghabiskan sore bersama, berbincang sembari menyesap secangkir teh hangat di sebuah kafe kesukaannya.   Aku, yang merasa tertekan dengan ketenangan dan kelembutannya yang bukan untukku, selalu memenuhi waktu kami dengan membeberkan segala yang kutahu tentang Mentari, memberinya berbagai saran untuk lebih cepat menggapainya.  Kuberitahu ia apa-apa yang menyenangkan hati Mentari, apa yang memukaunya, apa yang mampu menarik perhatiannya.  Samudera, seperti selalu, tak menyelaku.  Hingga akhir kalimatku, ia kemudian bertanya.

“Lalu bagaimana denganmu?  Apa yang kau sukai?”

Itu juga sudah terlalu sering kudengar.  Pria-pria sebelum ia berpikir akan lebih mudah mendapatkan hati Mentari jika menyenangkanku juga.  Dan kali ini, kata-kata itu menyakitiku jauh lebih kuat dari yang sudah-sudah.  Karena Samudera-lah yang mengatakannya, orang pertama yang menerbitkan iriku akan Mentari, berharap akulah yang terlahir sebagai dirinya, akulah yang mencipta kekaguman darinya.  Aku bergeming, perlu beberapa saat hingga aku mampu memberi jawab.

“Tak penting apa yang kusukai.  Tentang Mentari-lah yang penting.”

Sempat aku ragu akan apa yang kulakukan—sejauh mana aku mampu terus menjalankannya.  Benarkah aku sanggup terus menekan perasaanku sendiri, membohongi diriku dengan menyebut emosi ini sekedar kekaguman sesaat, mengorbankannya demi apa yang Samudera rasakan terhadap sahabatku.  Reaksi yang diberikan Mentari kemudian memupus keraguanku—sekaligus membengkakkan bongkahan yang kini menyebar hingga rongga dadaku.  Binar yang dulu kulihat ada dalam matanya ketika pertama kali menatap Samudera kini membesar, cemerlang memenuhi kedua matanya, bersinar begitu kasat mata dalam laku dan ucap yang diberinya atas Samudera.

“Kurasa aku jatuh cinta.”

Ketahuilah, ini pertama kalinya kalimat itu terkatakan darinya, dan tak terdengar satupun ragu di dalamnya.  Tak pernah kulihat Mentari seperti itu sebelumnya.  Dan sekali lagi, senyumlah yang kugunakan sebagai jawaban, dan semakin sering kulakukan seiring berlalunya waktu dan semakin jelas bagiku kedekatan mereka.   Ketika semakin kuat kulihat percik ketertarikan pada keduanya.  Ketika Mentari semakin menepikan cakap-cakap harian kami, menggantikannya dengan segala hal mengenai Samudera.  Ketika apa yang lebih tampak penting baginya tak lagi tentang aku dan ia, melainkan ia dan Samudera.  Aku tak bisa mundur lagi.  Samudera menyukainya.  Mentari menyukainya.  Tak ada cela memisah keduanya—tak bisa dan tak pantas aku mengubahnya.

Hingga suatu ketika, tersenyum seperti itu membuatku lelah.  Ya, aku lelah.  Tak pernah aku merasakannya sebelumnya, tapi kini aku merasa begitu lelah menjadi sesosok bayangan baginya, yang hanya dibutuhkan dan dipanggil ketika mereka perlu mencapai Mentari.  Aku lelah berdiam diri.  Aku lelah berpura-pura baik-baik saja.  Dan hari itu, ketika kami mendudukkan diri di salah satu sudut taman, menyantap makan siang kami berdua, dan sekali lagi nama Samudera menyusup begitu lantang dalam kalimat-kalimat yang disuarakan Mentari dengan begitu bahagianya, dalam kata-kata harap tentang apa yang akan didapatnya dari Samudera pada hari ulangtahunnya yang segera menjelang, aku tak lagi dapat menahan diri.  Aku berdiri begitu mendadak, menghentikan perkataan Mentari dalam keterkejutan.  Kemudian aku berlari.  Berlari.  Jauh.  Darinya.  Dari mereka yang bertanya-tanya.  Dari sepasang mata coklat pekat itu.

Sisa siang itu kuhabiskan dengan melangkah tanpa arah pasti.  Hingga penat mulai menghinggapiku bersama kedatangan senja, dan kutambatkan kedua kakiku menepi, merasakan hampar rerumputan pendek mengalasi dudukku di sisi lain kota yang senyap akan hiruk pikuk, diam menatapi matahari yang bergerak turun menuju tidurnya.  Sekarang, ketika jernih telah kembali dalam pikirku, perlahan kurenungi lagi apa yang telah kulakukan.  Kurutuki diriku yang masih menyimpan rasa yang tak seharusnya pada Samudera.  Kusesali kecemburuanku pada Mentari, sahabatku—saudariku.

Dan aku benci karena tak semudah itu memaksanya lenyap dari dalam kepalaku.

“Hei.  Selamat pagi.”

Sapa yang begitu akrab di telingaku kini.  Hanya pemilik mata dan suara yang dalam itu yang selalu mengatakan selamat pagi untuk menyapaku, tak peduli waktu yang sedang berlangsung saat itu, tak peduli matahari telah berdiri di puncak siang, tak peduli jingga telah melaburi pemandangan dengan senja.  Seperti saat ini.  Aku menoleh, dan wajah berhias senyum itu memenuhi penglihatanku, yang dalam sekejap telah beranjak menempati sisiku, mengorbitkan pandangannya pada arah yang sama denganku sesaat lalu, pada matahari terbenam.  Ia diam, seolah kehadirannya bukan untuk mencecarku dengan berbagai tanya atas apa yang terjadi siang itu, melainkan hanya untuk menemaniku—setidaknya begitulah sekedar aku berharap.

Tersenyum kecil aku menatapnya, lalu kurebahkan sisi wajahku di atas lipatan lengan yang memeluk kedua lututku.  Satu tanya kubuat untuk memecah sunyi—untuk mengalihkan segala kusut dalam benakku.

“Kenapa kau selalu menyebut selamat pagi?”

Ia menderaikan tawa ringan, seolah aku adalah bocah yang menanyakan mengapa matahari harus terbenam dan digantikan malam.  Diarahkannya wajahnya padaku, dan dijawabnya dengan nada tanpa canda.

“Karena aku menyukai pagi hari.”

Karena ia merasa pagi adalah yang mengawali segalanya.  Karena ia merasa kedatangan pagilah yang membangkitkan semangatnya untuk memulai satu lagi hari baru.  Karena bangunnya matahari yang membentuk niatannya untuk memulai hari itu sebaik yang dimampunya.  Karena  embun yang dilihatnya menetesi helai-helai pagilah yang menghidupkan keinginannya untuk menjalani hari itu tanpa keluh.  Maka selalu ia katakan “selamat pagi” untuk menyapa, agar semangatnya terus terbumbung seperti ketika hari masih dini, tak peduli telah hampir berakhirkah hari ini. 

Aku terdiam mendengarnya berkata, menjelaskannya.  Semakin sadarlah aku betapa salah apa yang telah kurasakan.  Betapa salah segala ragu dan cemburuku.  Dan betapa tepat pria ini bagi sahabatku.  Ia mencintai pagi—maka yakinlah ia juga mencintai Mentari.  Begitupun sebaliknya.

Aku tersenyum kini—merelakan segala rasaku bersamanya.  Aku akan bahagia melihat Mentari bahagia, dan itu cukup bagiku.  Dalam tenang kukatakan pada Samudera untuk mengungkap perasaannya pada Mentari pada hari ulang tahunnya, jadikan kata-kata indah itu sebagai hadiahnya.  Aku tahu Mentari akan menyukainya, tak akan menolaknya.  Ini akan menjadi ulang tahun terindah baginya.  Samudera diam dalam jeda yang lebih panjang dari biasanya, dan sesuatu beriak dalam kedalaman matanya, tak bisa benar-benar kuartikan, sebelum akhirnya mengangguk, disertai senyum.

Aku yakin ia bahagia.

Hari ulangtahun Mentari tiba—yang juga hari ulangtahunku.  Namun seperti tahun-tahun yang lalu, hari ini lebih terasa bagai milik Mentari saja.  Lebih banyak ucap selamat diberikan padanya, lebih meriah sukacita dilambungkan untuknya.  Dan, ya, aku tidak keberatan akan hal itu.  Sahabatku itu akan selalu menjadi yang nomor satu bagiku, kebahagiannya kuletakkan di tempat yang lebih penting dariku sendiri.  Dan terutama untuk hari ini, aku ingin menjadikannya yang tak terlupakan bagi Mentari.

Kukerling sosok Samudera di sana.  Tampak rapi dalam balutan sewarna biru yang kuidentikkan dengan julukanku padanya, terlihat lebih mengesankan dari yang pernah kuingat.  Dalam bayanganku, ia akan begitu serasi disandingkan dengan Mentari, yang berkilauan dengan sukacitanya malam ini.  Mata kami bertemu di satu titik, dan kuambangkan senyum lebar, mengangkat kedua ibu jariku, menyemangatinya tanpa suara—sebelum segera mengalihkan perhatianku pada Mentari, mendampinginya menyambut lebih banyak lagi uluran selamat untuknya. 

Lilin-lilin telah ditiup, kue-kue telah dipotong, dan riuh tepuk tangan menyahutinya.  Lagu dimainkan, mengajak yang hadir untuk lebih jauh menikmati selebrasi itu.  Sepasang demi sepasang turun untuk berdansa, mengikuti irama lembut yang dinadakan sekelompok vokal dan alat-alat musik yang mengiringi di atas panggung di depan hamparan lantai dansa. 

Sebentar lagi akan tiba waktunya. 

Kulihat Samudera membawa langkahnya melewati kerumunan, menghampiri Mentari.  Menggenggam tangannya, menariknya mendekat, dan keduanya berputar bersama dalam tari.  Perlahan, anggun, seolah waktu itu dicipta hanya untuk mereka berdua saja.  Mentari memejamkan matanya, tampak menikmati detik-detik itu, dan Samudera merendahkan wajahnya, begitu dekat dengan sisi wajah Mentari.  Kukuatkan diriku untuk terus melihat keduanya.  Aku tak boleh melewatkan momen mereka berdua.  Dua orang yang begitu berarti bagiku.  Samudera tampak membisikkan sesuatu pada Mentari, membuat sahabatku itu mendadak membuka kembali kedua matanya, membelalak terkejut.  Keduanya saling menatap dalam diam kini, lurus-lurus memandang satu sama lain.  Samudera tersenyum, mengangguk perlahan namun tegas pada Mentari, dan berkaca-kacalah kedua mata Mentari kemudian.  Turut tersenyum.

Dan aku, menahan haru, memoles senyum yang sama di wajahku.

Hanya perlu satu agenda terakhir untuk rencana kami malam itu, untuk menjadikan malam ini ulangtahun terbaik bagi Mentari.  Samudera mengerlingku, tersenyum kecil, dan melepas lingkar lengannya dari Mentari.  Kembali ia bawa langkahnya menelusuri kerumunan, begitu tenang, dan menaiki undakan menuju panggung.  Musik seketika berhenti ketika ia tiba di atas sana.  Julangan sosoknya membisukan segala percakapan yang sebelumnya padat memenuhi udara.  Dibukanya suara, dan bahkan tanpa pengeras vokal menyokongnya, setiap kata yang diucapkannya terdengar jelas, membahana di antara semua yang hadir.  Dan aku menunduk menatapi tanah, memejamkan mata, menunggu kata-kata yang sudah kutahu akan kudengar, menyiapkan hatiku untuk tetap utuh hingga sesudahnya. 

“Aku ingin menyampaikan sesuatu yang telah begitu lama kurasa dan kupendam.”

Ia akan mengungkapkannya.

“Begitu besar hingga aku merasa tak sanggup lebih lama lagi menahannya.”

Segala perasaannya.

“Sejak pertama kali aku melihatnya, aku tahu ialah yang selama ini kucari,“

Pada Mentari.

“Kau.  Yang seperti Embun di pagi hariku.”

apa?

Mataku serta merta terbuka.  Keheranan membuncah dalam kepalaku.  Ini tidak benar.  Ke mana nama Mentari dalam kata-kata itu? 

Kudongakkan wajah dalam gerak tersentak.  Dan kudapatinya kedua iris coklat itu, senyum itu, wajah teduh itu, menatap lurus-lurus kepadaku.  Seolah kalimat itu ditujukan untukku.  Aku tidak paham.  Bagaimana bisa?  Kubalas tatapannya dengan tanda tanya memenuhi garis wajahku, sementara kulihat semua pandang turut mengarah padaku—bahkan juga Mentari, yang tersenyum dengan kerlip haru dalam matanya.  Belum pernah kulihat Mentari tampak sebahagia itu sebelumnya.   Dan aku semakin tak mengerti.

Langkah-langkah tegap menghampiriku, dan seketika sosok Samudera telah berada di hadapanku.  Tangannya diangkat menyentuh halus sisi wajahku, memandangku dengan kelembutan memenuhi rona eskpresinya—tak ada kepura-puraan.  Aku terhenyak.  Jantungku berderu dalam detak yang aku yakin terdengar oleh semua yang mengelilingiku.  Darahku berdesir, mengalirkan perasaan itu hingga ke ujung-ujung jariku yang mendadak kebas.  Satu kesadaran mencuat tiba-tiba dalam pikiranku.  Mungkinkah benar terkaku kini?

“Mengertikah kau sekarang?”  ucapnya dengan suara mengalun, lembut membelai pendengaranku, “Kaulah yang selama ini kuinginkan.  Kau.  Dan hanya kau seorang.”

Itukah arti kalimatnya yang kupotong hari itu?  Itukah maksud dari tiap ajakan di sore hari itu?  Itukah mengapa ia menanyakan apa yang kusukai ketika itu?  Itukah mengapa ia menemukanku saat aku berlari menjauh?  Itukah yang selama ini tak kupahami dari riak-riak yang bergerak dalam diam dan warna matanya?  Itukah yang telah terlalu lama kusalahartikan?

Aku tercekat.  Lidahku kelu.  Semua kata yang kutahu seolah menguap hilang.  Sendi-sendi tubuhku seolah beku, tak mampu membuat gerak apa pun untuk sekedar menyahutinya—sekedar memintanya meyakinkan benarkah apa yang telah kudengar.  Samudera menyenandungkan tawanya, yang begitu kusukai, yang terdengar begitu bebas kini—dan merengkuhku dalam satu dekap erat.

“Kau tak perlu berkata apa-apa.  Kau hanya perlu ada.  Di sini.  Di sisiku.”

Aku terisak.  Segalanya terdengar begitu sunyi, seolah semua wajah hanyut dalam kejujuran yang akhirnya tersampaikan.  Dan kubenamkan diriku lebih dalam padanya.

“Selamat ulang tahun, Embun.”


Malang, 13 November 2011
03:09

Saturday, November 12, 2011

Yesterday's Sky


Saya sangat jarang bepergian.

Bukan karena saya adalah seorang yang begitu sibuk hingga tak memiliki waktu untuk itu.  Saya belum bekerja, dan kuliah saya pun tidak sebegitunya membuat saya tak mampu bergerak bebas.  Sebenarnya justru saya punya cukup banyak waktu sekalipun saya ingin berlibur ke suatu tempat dalam waktu agak lama, dan meski tak banyak, tabungan saya rasanya cukup untuk membiayai perjalanan.  Sayangnya ada satu faktor yang membuat saya sulit untuk dapat bepergian bahkan sekedar berjalan-jalan ke luar kota seperti yang sering dilakukan teman-teman saya yang lain.

Saya memiliki penyakit.  Tidak berat, sebenarnya, hanya asma yang cukup akut.  Namun itu membuat ketahanan tubuh saya lemah dan alhasil orangtua saya sangat protektif terhadap saya sejak kecil.  Tidak mudah meminta izin agar diperbolehkan bepergian agak jauh dari rumah.  Itulah mengapa saya sangat jarang mengunjungi tempat-tempat baru selain yang berada di dalam kota saya sendiri.  Dan meskipun sudah tinggal di Kota Malang selama lebih dari 5 tahun, saya belum pernah mencicipi indahnya pantai Sempu ataupun puncak Bromo. 

Mungkin karena itulah, saya jadi memiliki cita-cita untuk backpacking suatu hari nanti: menjelajahi sudut-sudut dunia yang jauh dan tak pernah saya ketahui sebelumnya, jauh dari zona aman saya.  Semakin jauh semakin bagus, karenanya saya memiliki keinginan besar untuk menjejak tanah-tanah negara lain.  Kalau pergi jauh, rasanya semakin terasa seperti ‘perjalanan’, begitu ^__^  Tapi baru-baru ini, lebih tepatnya kemarin, saya mendapatkan pengalaman yang mungkin terdengar sepele dan remeh, namun bagi saya mengesankan.

Salah seorang teman seangkatan S2 saya menikah, dan acaranya diselenggarakan di Bondowoso, kota yang hanya satu dua kali saya dengar namanya dan tentu saja belum pernah saya kunjungi.  Setelah harap-harap cemas kalau-kalau saya tidak mendapatkan izin karena perjalanannya yang memakan waktu lebih dari 4 jam, akhirnya saya bisa berangkat juga bersama teman-teman saya yang lain setelah kuliah selesai hari itu, sekitar pukul 11 siang.  Awalnya bagi saya perjalanannya biasa saja, kanan kiri dipenuhi pemandangan kota, penuh gedung dan minim pohon, pemandangan yang tidak begitu saya sukai.  Ya, ya, saya memang berlatar belakang pendidikan arsitektur tapi sebenarnya saya tidak begitu suka gedung-gedung, terutama pencakar langit.  Bagi saya rona hijau alami pada tetumbuhan jauh lebih indah dan menyenangkan untuk dilihat.

Dan saya mendapatkannya ketika perjalanan semakin jauh meninggalkan kota, menuju Probolinggo.  Sawah yang luas menghampar sampai ke horizon, warna hijaunya cantiiiiiiiik sekali.  Berbagai jenis  pohon juga ramai memenuhi pandangan saya, yang menempelkan wajah di jendela mobil, rasanya seperti anak kecil yang kelewat takjub saat pertama kali dibawa ke kebun binatang.  Begitu banyaknya jenis pohon hingga Mas Aji—teman yang mengemudikan mobil hari itu—selalu menjawab “Mahony” tiap kali ditanyai apa jenis pohon yang kami lihat ^__^  Rumah-rumah tradisional sederhana dengan warna coklat tanah liat alami pada atap-atapnya juga sesekali terlihat, dan bagi saya terlihat menawan, serasi dengan pemandangan non-artifisial yang melatarbelakanginya.  Satu kali saya melihat ada seorang bapak yang sudah cukup berumur tampak beristirahat sembari menyantap makan siangnya di tepi sawah, di bawah sebuah pohon—yang sekali lagi disebut Mahony oleh kawan saya—yang merindanginya.  Di dekatnya, ada seorang lagi yang duduk santai menjagai ternak-ternaknya.  Mungkin terdengar naif, tapi sempat terbesit setitik iri dalam diri saya, karena di mata saya hidup mereka tampak begitu damai, begitu tenang, tanpa diburu berbagai agenda seperti mereka-mereka yang sering ditemui di kota.  Udara yang dihirup terasa sejuk, matahari lebih bersahabat.

Dan tahukah Anda, langit tampak jauh lebih lapang dan indah ketika tak ada dinding-dinding beton yang menghalangi.  Entah hanya perasaan saya atau bagaimana, tapi langit yang berparas biru muda siang itu terlihat lebih memukau dari yang biasa saya temui di kota.  Hamparan awannya pun mengesankan, luas dan lebar seperti payung besar di atas sana.  Dan saya bahkan bermain tebak-tebakan bentuk awan dengan seorang kawan saya yang lain—Mas Agus—setelah sekian lama saya tak melakukannya.  Belum cukup sampai di situ, ketika memasuki wilayah Paiton, kami disuguhi pemandangan laut berwarna biru tua jernih di sisi jalan, begitu dekat seolah dapat dijangkau dengan berjalan kaki saja.  Sudah cukup lama saya tidak melihat laut dengan warna sepekat dan sebagus itu, tampak kontras dengan biru muda berbaur jingga tipis dari senja yang mulai bangun, tapi saling melengkapi, memanjakan mata saya.

Sebenarnya perjalanan yang seperti itu bukannya jarang saya temui.  Pemandangan seperti itu adalah biasa ketika saya bepergian dari Balikpapan menuju kota kelahiran saya, Samarinda, tiap kali liburan tiba, juga ketika saya menghampiri Jogjakarta untuk keperluan survey skripsi.  Pada masa-masa itu, saya juga merasakan ketenangan yang sama, kekaguman yang sama, hanya saja entah mengapa kemarin terasa istimewa.  Mungkin karena saya sudah lama mendekam di rumah dan kampus, dan mungkin juga karena kemarin saya tidak berdesakan dengan penumpang kendaraan travel yang lain dan menguasai kursi tengah mobil seorang diri, hehe ^__^

Perjalanan dari Situbondo menuju Bondowoso juga mengasyikkan.  Seperti soundtrack anime Ninja Hattori yang sering saya tonton ketika masih kanak-kanak, kami benar-benar “mendaki gunung, lewati lembah”.  Jalannya menanjak dan berkelak-kelok, tikungannya tajam dan tak jarang hingga 180O.  Wuih, dan karena kawan saya hobi menyalip kendaraan meski dalam medan seperti itu, rasanya seperti berada dalam adegan film Fast and Furious ^__^  Yang saya sukai adalah pemandangan di sisi jalan, yang menampakkan jalan-jalan yang telah kami lalui jauh hingga ke bawah sana.  Keren sekali.  Serasa naik menuju puncak dunia, hahaha.

Perjalanan itu terasa lengkap dengan acara pernikahan yang kami hadiri.  Kami tiba sangat terlambat, namun kebahagiaan dan kemeriahannya tetap terasa.  Setelah sekitar dua jam menghabiskan waktu di Bondowoso, akhirnya kami beranjak pulang ke kota Malang tercinta.  Sayangnya malam sudah tiba dan sesak napas saya kambuh, sehingga tidak dapat menikmati pemandangan kembali.  Namun saya akan selalu mengingat perjalanan 5 jam bersama hijau dan biru alam itu, ditemani orang-orang menyenangkan yang suka tertawa dan mudah membuat saya ikut terbahak, dan iringan lagu-lagu nostalgia Sheila on 7 ^__^

Tak perlu pergi terlalu jauh untuk melihat tempat baru dan melepas penat.  Tak perlu ngotot ke luar negeri untuk terkagum dengan hal yang belum pernah kita ketahui.  Cobalah sesekali beranjak dari depan laptop, PC, tumpukan buku dan DVD-DVD, juga empuknya kasur serta bantal, luangkan waktu untuk keluar mencari sudut lain yang begitu dekat namun mungkin selama ini luput dari mata. 

Bentangkan lengan, hirup udara segar, dan syukurilah apa yang alam sudah berikan pada kita.

Malang, 12 November 2011
12:54

Lima Belas

Hari ini.


Hari ini ulangtahunku.  Dan akan menjadi ulang tahun terbaikku.  Karena aku akan berumur lima belas.  Orang-orang mungkin biasa menganggap usia tujuh belaslah yang istimewa, tapi tidak begitu bagiku.  Untukku, usia kelipatan limalah yang istimewa. 

Dulu, ayah mengajariku sesuatu yang sederhana.  Ketika itu usiaku beranjak lima, ayah meraih sebelah tanganku, membukanya, merentangkan jemariku, dan berkata sebesar itulah usiaku sekarang.  Sejumlah jariku.  Aku bertanya apakah itu berarti aku akan bertambah besar suatu saat nanti, apakah ketika usiaku bertambah lima lagi, aku akan dapat menjadi sebesar rentangan tangannya, rentangan tangan ibu.  Ia berkata iya.  Lima tahun lagi, tanganku akan cukup besar untuk menggandeng tangan ibu dengan sempurna.  Dan lima tahun kemudian, tanganku akan lebih besar lagi untuk dapat menggandeng tangan ayahku dengan setara.

Sejak saat itu, aku selalu menantikan ulangtahun kelipatan limaku.  Dan hari ini, aku akan menjadi sebesar tanganku sekarang.  Rentangannya sudah mampu untuk menggenggam erat tangan ibu.  Memang belum sebesar tangan ayah, tapi aku yakin  telah cukup besar untuk menggenggamnya erat juga.

Dan seperti yang selalu terjadi setiap ulangtahun kelipatan limaku, segalanya terasa sempurna.  Bahkan alampun seolah setuju untuk merayakannya bersamaku.  Cahaya matahari menyusup malu-malu melalui tirai jendela kamarku, mengundangku untuk keluar menyambutnya, menerima hujan cahayanya yang selalu terasa lebih hangat pada ulang tahun kelipatan limaku.  Lihatlah.  Langit mengenakan gaun birunya yang terbaik, tak mengizinkan segenggam awanpun mengintip, memberiku labur warna yang paling kusukai di atap dunia.  Dengarlah.  Burung-burung bersenandung, gemanya seperti dentingan lonceng-lonceng kecil, berorkestra khusus untukku. 

Dan tak ada yang lebih baik daripada senyum ayah dan ibu.  Senyum itu membuatku merasa hangat seolah memelukku, bahkan sebelum aku benar-benar membenamkan tubuhku di antara lengan-lengan itu.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Kukatakan iya, dan dengan satu lambaian, kutinggalkan keduanya, menuju sekolahku.  Ah, rasakanlah.  Bahkan angin bergemerincing riang bersama langkahku.  Ini memang hari terbaik, sudah kukatakan.  Dan akan jadi lebih baik lagi ketika aku pulang dan merayakannya bersama ayah dan ibu.  Dengan sebuah kue mungil bertuliskan namaku, dengan lilin-lilin kecil yang memberi percik menyenangkan di atasnya.  Lalu aku akan menggenggam tangan ibu dan ayahku.  Aku tak akan peduli pada kado-kado yang terpita rapi.  Karena kedua tangan itu sudah cukup untukku.

“Hei, selamat ulang tahun!”

Alunan kata selamat memenuhi udara di sekelilingku ketika aku sampai di sekolah.  Wajah-wajah mereka membentuk senyum, lengan-lengan mereka merengkuhku, tangan-tangan mereka menyalamiku.  Kurangkai ucapan terimakasih berbalut senyum sebagai balasnya.  Bahkan nada-nada dalam lagu selamat ulang tahun yang mereka nyanyikan untukku bergetar lebih indah di telingaku hari ini.  Bukankah sudah kukatakan hari ini istimewa?

Waktu di sekolah kulalui dengan sempurna, tak ada cacat di sana.  Aku pulang dengan langkah ringan, ditingkahi suara pantulan yang terdengar bagai tangga nada pada tiap jejak.  Bahkan tanah yang kupijak turut menyelamatiku. 

“Selamat datang!”

Dan kudapatkan kue mungilku, api-apinya padam dengan patuh ketika kutiup, dan tawa berkicauan dari senyum-senyum itu, tangan-tangan yang kucintai itu bertepuk, lalu kugenggam keduanya.  Umurku lima belas hari ini.  Dan tak akan ada yang lebih baik.  Rasa bahagia ini pasti akan tersimpan abadi. Tak akan kalah oleh apa pun.  Tidak juga oleh tirai malam yang turun perlahan menyentuh bumi, mengganti hari ulang tahun kelipatan limaku menjadi hari lain bernama esok.

Esok.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Aku mengerjap. Hari apa ini?  Kulihat senyum-senyum yang seperti memelukku itu ada di sana.  Matahari memberi sinar terhangatnya.  Langit dengan gaun terbaiknya.  Orkestra khusus untukku mengambang di udara. 

Ah ya, ini ulang tahun kelima belasku.  Ini akan jadi hari yang sempurna.

“Ini salahmu! Ini salahmu!”

Apa itu?  Ada sebuah retakan yang tak kutahu, memecah pandangku, seperti potret yang tak sengaja terjatuh.  Ah, tidak, ini ulang tahun kelima belasku.  Tak akan ada cacat apa pun hari ini.  Kulambaikan tanganku, berjalan bersama gemerincing angin.

“Hei, selamat ulang tahun!”

Kujawab alunan kata itu, senyum itu, pelukan itu, dengan ucap terima kasih berhias senyum.  Menit-menit menyenangkan di sekolahku.  Dan aku pulang hari itu dengan langkah-langkah ringan, aku tahu apa yang akan kutemui di rumah.

“Selamat datang!”

Kutiup api-api kerdil yang menari-nari itu.  Tepuk terdengar, senyum berderai.  Dan kuulurkan tanganku, hendak menggenggam tangan mereka.

“Salahmu!  Ini salahmu! Seandainya kau tak ada!”

Lagi.  Apa itu? Tak bisa kutemukan di mana retak itu.  Ia seolah muncul dari titik buta yang tak terjangkau iris mataku, sulur pikiranku.  Ah, tapi bukankah ini ulangtahun kelipatan limaku?  Tak akan ada yang cacat, segalanya sempurna.  Dan akan abadi, tak peduli cahaya bulan menghanyutkannya, melahirkan hari lain berparas esok.

Esok.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Aku mengerjap.  Lagi.  Hari apa ini?  Kutemukan senyum-senyum hangat itu, dan kutahu ini hari ulang tahun kelimabelasku.  Aku melambai, dan kulangkahkan kakiku ke sekolah, dan kutahu nyanyian selamat ulang tahun telah menantiku.

“Dasar anak sampah!  Kau dibuang ayah ibumu kan?”

Retakan lagi.  Kenapa ada titik-titik lisan yang mencemari alunan kata selamat untukku?  Ah, tidak, lupakan, bukankah ini hari ini ulangtahunku?  Tak ada cacat, segalanya sempurna.  Dan aku tahu kue mungilku sudah menunggu.  Kedua tangan itu akan di sana untuk kugenggam.

“Seandainya kau tak ada!”

Retakan itu lagi.  Menoreh lantunan tepuk dan tawa ketika aku meniup lilin-lilin itu.  Ah, lupakan.  Bukankah ini hari ulangtahun kelima belasku?

“Menghilang saja kau!  Menghilang!”

Dan aku tahu, bahkan ketika bintang menguasai lembar langit, ketika esok telah mengintip di bawah lengan malam, perasaan bahagia ini akan tetap abadi.

“Mati saja!  Mati!”

Hari ini.

“Sudahlah, tak perlu repot-repot memberinya makan.”

“Eh?  Kenapa?”

“Oh, kau tak tahu?”

“Tidak tahu apa?  Aku baru di sini.”

“Pantas saja.  Gadis itu sudah begitu sejak diantarkan ke sini dua tahun lalu.  Tidak bergerak, tidak bicara.”

“Kasihan.  Apa yang terjadi padanya?”

“Masalah keluarga.  Orangtuanya bercerai saat usianya sepuluh tahun, dan sejak saat itu ia tinggal dengan ibunya.  Setelah beberapa tahun, sepertinya ibunya mulai stres, dan berkali-kali melakukan kekerasan padanya.”

“Itu yang membuatnya jadi seperti ini?”

“Kurasa bukan.”

“Lalu apa?”

“Tepat pada ulang tahunnya yang kelima belas, ibunya mengamuk, berusaha melukainya.  Kurasa ibunya agak gila.”

“Lalu?”

“Lalu ibunya meninggal.  Polisi yang menemukannya melihat sebilah pisau tergeletak di dekat tangannya, dan ibunya berlumuran darah di depannya.  Mati.”

“Astaga.  Ia membunuh ibunya?  Itu yang membuatnya jadi begini?”

“Kurasa. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusnya.”

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Lihatlah...ia—”

“Ia apa?”



“—ia tersenyum.”



Malang, 24 Maret 2011
20:45

Dunia Bernama Dia


Aku benci dunia. 

Saat kusampaikan itu, apa yang akan kau katakan?  Mungkin kau akan berkata aku egois.  Mungkin kau akan berkata aku munafik.  Tapi itulah adanya.  Aku tidak mengada-ada.  Aku tidak mengarang-ngarang cerita.

Aku benci dunia.

Seandainya ada kata yang menggambarkan satu tingkat rasa di atas benci, aku akan menggunakannya. 

Definisikan dunia untukku.  Dan aku akan mendengar berbagai macam jawaban.  Sebagian besar akan menjawab dunia adalah anugerah bagi manusia sebagai tempatnya lahir, tumbuh, dan mengejar cita-cita.  Sebagian lagi dalam besar yang sama akan menjawab dunia adalah perjalanan, di mana di sepanjang jalan itu kita akan berpapasan dengan banyak orang; menyapa mereka, berbincang, dan saling membantu saat ada kerikil atau bahkan batu besar yang menghalangi langkah.

Dunia bagiku?  Tidak ada.  Tidak ada dunia bagiku.  Hanya sekedar kata yang kugunakan untuk mewakili suatu ruang dan masa di mana aku dipaksa ada, meskipun hari-hari selalu berlari meninggalkanku, bahwa keberadaanku tidak pernah dan tidak akan pernah penting baginya.  Dengan atau tanpaku, waktu akan terus berputar.  Begitu juga dengan dunia.

Seperti itulah hubungan yang selama ini kujalin dengan dunia.  Ia melahirkanku bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus.  Dan aku terus hidup bukan karena aku ingin, bahkan tidak juga harus.  Aku hanya seonggok manusia yang tidak merasakan tanah meski kakiku berpijak di atasnya.  Tidak merasakan udara meski dadaku bernapas.  Tidak merasakan cahaya meski aku tidak buta.  Tidak merasakan rasa meski tanganku menyentuh.

Lalu kenapa aku masih juga ada?

Karena aku terlalu pegecut untuk membebaskan diriku sendiri. 

Dan karena aku pandai berpura-pura.

Aku akan ikut tertawa saat mereka bahagia.  Aku akan ikut nelangsa saat mereka sedih.  Aku akan bersimpati saat mereka butuh dukungan. 

Aku teman yang sempurna.  Dengan topeng yang sempurna.  Aku telinga yang mendengarkan semua keluh kesah mereka.  Aku bahu yang menjadi tempat mereka bersandar saat lelah.  Aku lengan yang memeluk mereka saat merana dan tak kuasa menahan tangis.
Telah kuukir topengku dengan sempurna. Bahkan pemahat terbaik pun tak bisa menandingi lekuk senyum setulus yang kuciptakan, tidak juga mata sendu yang kulukis saat mereka mengutarakan betapa melelahkannya dunia.  Dunia mereka.

Aku aktor yang sempurna.  Dengan ekspresi tanpa cela.  Dengan kata-kata indah tanpa terdengar dusta. 

Dan kesempurnaan itulah yang membuatku membenci dunia.

Kenapa aku harus bersikap manis pada dunia jika dunia tidak bersikap manis padaku?

Orang-orang itu sudah terlalu lama menuntutku untuk memerankan kesempurnaan itu.  Orang-orang itu sudah menempaku sedemikian keras seperti pandai besi menempa pedang terbaiknya. Yang tanpa cacat, tanpa retak. 

Dan begitulah aku.  Seperti pedang itu, aku terlalu hanyut dalam kesempurnaanku, hingga aku lupa seperti apa hidup yang sebenarnya.  Seperti apa emosi yang sebenarnya.  Meski aku bisa tersenyum, tertawa, dan bersedih, aku tidak bisa mengerti alasan untuk semua itu. 

Seperti pedang itu, aku telah dibentuk lurus dalam garis yang sempurna, dan dibekukan dalam air yang dingin ketika panas masih menggerogoti kulitku, hingga aku menjadi sekaku dan sedingin besi. Kokoh bagi mereka yang memandangku.  Tapi pernahkah mereka benar-benar memandangku?

Dan seperti pedang itu, aku memberi batas bagi mereka untuk tidak berada terlalu dekat denganku.  Aku dapat melukai mereka kapan saja.  Hanya jika aku ingin.  Tapi selimut pedangku juga dirajut dengan sempurna.

Sudah kukatakan aku sempurna.  Ragaku terlalu pandai membungkus ketiadaan jiwa di dalamnya.  Tidak ada yang perlu dan akan tahu bahwa aku tidak memiliki diriku.  Seperti aku tidak memiliki dunia.

”Hei!”

Tepukan ringan hinggap di bahuku, menyalakan alarm dalam tubuhku untuk kembali mengenakan topeng terbaikku. 

”Terima kasih mau menemaniku!”

Aku tersenyum.  Senyumku yang sempurna.

”Tentu saja.  Itu gunanya teman.”

Ia tertawa senang, merangkul tubuhku dengan lengannya yang panjang dan ramping, membawaku duduk di bangku tepat di sampingnya.

Aku sudah pernah mengikuti kelas ini.  Secara informal. Bertahun-tahun yang lalu.  Dan aku cukup yakin sekarang pun, setelah sekian lama, aku masih memiliki apa yang kupelajari dulu. 

Tapi aku teman yang sempurna.  Kutemani dia dengan resiko bosan yang tinggi.  Apa bedanya?  Dunia toh tidak pernah berbaik hati padaku dengan cara apa pun.

Mereka di ruangan itu segera menyukaiku, meski baru pertama kali bertemu.  Seperti itulah mereka selalu memperlakukanku.  Sebagai seseorang yang manis laku dan ucapnya.

Hari ini akan berakhir sama seperti hari-hari sebelumnya.  Dalam sekejap yang tidak bisa kurasakan.  Dan akan segera berganti dengan hari baru yang masih juga akan selalu sama.

Tapi aku salah.  Ada cacat dalam hariku yang seharusnya kulalui dengan sempurna.

”Gantikan aku,”

Katanya dengan nada ketus yang jarang kudengar, menghujamku dengan serta merta, diiringi tatapan nyalang yang tak bisa kuelakkan.

”Aku tidak mau satu kelompok dengannya.  Gantikan aku.  Dengan siapa saja.”

Dan aku dapat membaca kata selanjutnya yang ingin diucapkannya, tertulis jelas di sepasang mata yang memandangku seperti noda yang seharusnya tak ada.

Selain dia.

Aku aktor yang sempurna.  Aku bersikap manis pada semua orang, dan semua orang bersikap manis denganku, terperdaya topeng yang membungkus erat selongsong kulit wajahku.  Tapi tidak dengannya.

Sekali itu sadarlah aku, aku telah dibenci.  Oleh orang yang baru saja kutemui.  Yang bahkan tak kuketahui namanya.

Aku bertanya-tanya apa yang salah pada topengku, hingga berhari-hari ke depan mata nanar itu masih juga terbakar merah oleh sesuatu yang tidak bisa kumengerti saat menatapku.  Bencikah itu?  Atau sesuatu di luar kemampuanku untuk menerjemahkan emosi?

Aku tak tahu.

Dan seharusnya aku tak peduli.

Tapi ia berbeda.  Ia umpama pengecualian dalam duniaku yang semu.  Ia seperti orang asing yang semestinya tak ada di sana.  Sepertiku.

Dan itulah jawabnya.

Setelah berminggu-minggu aku termangu dengan ia yang menganggapku seolah ancaman bagi hidupnya yang selama ini tenang dan tertata, meski aku tak pernah bertukar sepatah kata pun dengannya.  Ia akhirnya memberiku jawabnya.  Jawab yang memberitahuku mengapa ia berbeda.

“Hentikan,”

Katanya sore itu, saat aku sampai di muka pintu, bergegas ingin pergi dan tak ingin jadi orang terakhir yang bersamanya saat itu.  Lengannya terulur menghalangi jalanku.  Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar memandang matanya.  Coklat tua yang lebih dalam dari yang bisa kuperkirakan dan kutempuh.  Memancarkan warna merah seperti biasanya, yang masih juga belum kumengerti.

“Lepaskan itu,”

“Apa?”

“Lepaskan topengmu.”

“Apa maksudmu?”

“Kubilang, lepaskan topengmu.  Tanggalkan senyummu, buang semua kata-kata manismu.”

Aku hanya diam, memilih untuk berpura-pura, seperti biasa.  Mata coklat itu melembut, warna merahnya memudar.  Tapi kata-katanya mengiris-ngiris topeng sempurnaku, perlahan tapi pasti.

”Aku muak denganmu yang seperti itu.”

”Izinkan aku bertanya mengapa.”

Merah itu kembali menyala.  Tapi kali ini aku tidak menghindarinya, sekalipun aku tidak memahaminya.

”Aku melihatnya di matamu,”  bisiknya dengan tajam, meretakkan beberapa keping dari topengku, ”warna merah yang sama.”

Ternyata aku salah.  Dia bukannya berbeda.  Dia justru begitu serupa denganku, jauh lebih serupa dari yang bisa kuduga.

Tapi lelaki bermata coklat terbakar itu lebih kuat menghadapi dunia.  Tak sejengkal pun dari wajahnya yang terlapisi topeng, tak ada selapis baju besi pun yang digunakannya, seperti yang kulakukan.  Ia jujur pada dunia.

Ia tahu dirinya membenci dunia, dan ia ingin dunia tahu itu.  Ia tidak bersusah payah memahat topeng, tapi membiarkan dunia melihat warna merah di matanya itu.

”Tidakkah kau lelah?” tanyanya.

Warna merah itu melembut, dari api menjadi senja.

”Kau membiarkan dirimu kalah dengan sikap manismu.  Dunia menertawakanmu.”

Aku tahu itu.  Tapi tahukah engkau?  Telingaku sudah tuli akan tawanya.

”Biarkan aku jadi pengecut.”

Ia menyahutiku dengan diam.  Tatapan kami bertemu.  Dan untuk pertama kalinya, kulihat warna merah yang sama pada wajahku, di dalam matanya.  Ternyata ia benar.

Tangannya mengendur, memberiku jalan untuk lari.  Tapi kakiku sudah kelu. 

”Tetaplah hidup.”

Dan kupandangi punggung itu menjauh.

Hariku tak lagi sama.

Ia membawa cacat dalam kesempurnaan yang kubangun dengan penuh peluh.  Ia menyusup ke dalam duniaku melalui celah kecil yang tak kusadari.  Ia bersembunyi dalam titik buta yang luput dari inderaku.

Ia terus mengawasiku dengan mata merahnya.  Tapi kini aku tak lagi takut.  Warna merah yang seolah membakar kulit dan topengku itu bagai candu bagiku.  Aku sanggup hidup tanpa menghirup udara, tapi aku merasa akan mati tanpa rasa panas itu.
”Aku membencimu.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku membencimu, seperti aku membenci semua orang.  Dan aku jauh lebih membencimu setelah kutemukan warna itu di matamu.”

Kubiarkan diriku mati rasa.  Kunikmati setiap bara yang kulihat di matanya.  Dan sekalipun ia akan menghanguskanku menjadi abu, aku yakin aku tidak peduli.

”Tapi kau ada di sana.”

Bisikannya menyentuh telingaku yang tuli, menggelitik pendengaranku, membangunkan pikiranku yang tertidur.

“Kau penyusup dalam duniaku.  Langkahmu tak terdengar olehku.  Saat aku telah terbiasa dengan hitam, satu-satunya warna yang pernah kukenal, tiba-tiba kau hadir.  Kau menjadi satu-satunya warna merah yang tertangkap mataku.”

Sekali lagi kulihat senja di sana.

”Aku ingin menghalaumu.  Sudah kunyalakan api agar kau menjauh, lenyap menjadi warna hitam yang sama.  Tapi kau selalu ada di sana.  Aku ingin lari darimu, tapi tak selangkah pun aku sanggup berpaling.”

Jemarinya terulur ke wajahku, tapi dihentikannya sebelum sempat kurasakan sepanas apa kulitnya.  Ia tak pernah menyentuhku.

”Aku tak ingin kau lenyap.”

Dan kututup hariku dengan kembali memandang punggungnya menjauh.

Biarkan aku jadi pengecut.  Biarkan dunia menertawakanku.  Karena memang begitulah ia memperlakukanku.  Melahirkanku sebagai pedang, bukan sebagai burung. 

Aku sudah sempurna saat dibenamkan dalam air dingin, tapi mengapa sekarang aku merindukan panas itu?

Aku tak lagi sempurna.  Aku cacat.  Aku rusak.  Dan tak ada gunanya memperbaikiku.  Karena aku menikmati tiap toreh itu.

Aku tak lagi sempurna.  Aku terkoyak. Aku berdarah.  Dan tak ada gunanya mengobatiku.  Karena aku menikmati tiap tetes warna merah itu.

Warna yang sama dengan matanya.

”Aku lelah.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku lelah dengan hitam itu.  Aku lelah berusaha menutup mataku darimu.  Aku lelah dengan dunia.”

Aku tahu itu.  Tapi tahukah engkau?  Lelah itu bahkan telah lelah mengejarku.

Ia tak pernah menyentuhku.

Tapi tangannya terulur padaku, pada sore itu.

Dan senja ada di matanya.

“Raih tanganku.”

“Izinkah aku bertanya mengapa.”

“Karena aku melihat senja di matamu.  Dan tak akan kubiarkan hitam merusaknya.  Tidak.  Tidak akan ada aku.  Kau.  Dunia.  Aku tidak butuh semua itu.”

”Aku hanya butuh kita.”

”Dan kau tak perlu berpura-pura saat bersamaku.”

Kuraih tangannya.  Dan panas itu membakarku hingga ke tulangku, meleburku menjadi abu.  Dan ia membiarkan dirinya menjadi abu yang sama. 

Aku memang benci dunia. 

Aku memang tak memiliki dunia.

Tapi kini aku hidup dalam sepetak dunia itu untuk selamanya.

Karena aku ingin.  Karena aku harus.

Sepetak dunia bernama dia.




Malang, 19 Januari 2009
10:32

Untuk dia yang terlupa.