Aku selalu
ingat tiap kisahmu.
Bahkan kisah
pertama yang kau ceritakan saat awal mula aku membuka mata. Kisah penciptaanku.
Segalanya
bermula dari deritamu. Kau bilang kau
begitu terluka. Seorang yang kau cintai
mengkhianatimu, meninggalkanmu terpuruk seorang diri, dengan lubang besar di
hatimu, tak memedulikanmu terkapar berkubang tangis. Lalu kau bilang kau akhirnya memilih untuk
menjauh dari segalanya. Semua wajah. Semua mata.
Semua suara. Kau sebut jika kau
tak mencintai, kau tak akan perlu merasa tersakiti. Kau sebut jika kau tak mengenal, maka kau tak
akan perlu jatuh cinta.
Bertahun-tahun
kau lalui hanya dengan dirimu saja.
Beberapa pernah berusaha membawamu keluar, menginginkan kecemerlangan
pikirmu. Tapi kau tak butuh segala
ketenaran, kau tak perlu pengakuan. Kau
hanya ingin terjauhkan dari segala luka.
Maka tetap kau biarkan pintumu tertutup untuk hari-hari yang tak lagi
terhitung.
Tapi kau
tetap manusia biasa. Kau beremosi. Kau berasa.
Sebagaimanapun kau pikir bisa mematikannya dengan kesendirianmu, sepi
tetap berhasil mencapaimu. Kau ingin
sesosok di sampingmu. Tangan untuk
merengkuhmu. Suara untuk mencipta bunyi
dalam sunyimu.
Maka kau
tenggelamkan segala perhatianmu di sudut ruang kerjamu, berbulan-bulan,
mengabaikan segala hal untuk menciptaku.
Bonekamu, begitu kau sebut.
Seperti bagaimana kau seringkali merangkai dedaunan dan batang untuk kau
jadikan figur mungil untuk kau ajak bicara ketika tak ada yang mendengarkanmu
saat kau kanak-kanak.
Tapi kali ini
berbeda. Kau ingin lebih dari sekedar
batang boneka tanpa nyawa, yang bergeming di telapak tanganmu seberapa pun kau
bicara padanya.
Kau ingin
mencipta sempurna. Kau dayakan segala
pikir dan tenagamu untuk mengukir rupaku.
Tiap ruas kulitku. Tiap lekuk
sendiku. Tiap pahat parasku. Kau buat aku bagai sosok tanpa cela. Yang terlalu rupawan untuk jadi nyata. Tapi dengan kemampuanmu, tak ada yang tak
mungkin bagimu.
Bahkan untuk
merajut jiwa bagiku.
Kau sebut
jantung adalah yang tak boleh terlupa dari struktur manusia. Tanpanya hidup manusia tak ada. Maka kau pun tak lalai untuk membubuhkan yang
sama untukku.
Kau
membuatnya begitu serupa dengan yang kau miliki di balik jajar rusukmu. Tapi hanya kau yang tahu bahwa jantung itu,
yang kau sebut Kantung Jiwa, sesungguhnya tak lebih dari kumparan kawat dan
sulaman besi, dililit kabel-kabel pengalir listrik, sebagaimana tubuhku juga
terkonstruksi. Seperti baterai, kau
jelaskan padaku dengan sederhana. Dengan
satu pembeda besar.
Bahwa Kantung
Jiwa menyerap sebagian diri dari tangan yang membubuhkannya, menghidupkan yang
seharusnya bukan makhluk, dengan kepemilikan pada si pemberi Jiwa. Maka ketika kau tanamkan Jiwa itu dengan
lembut di antara dadaku yang terbuka, kesetiaanku padamu tak terbantah.
Aku
milikmu. Dan tak ada yang bisa
mengubahnya.
Kau cipta aku
dengan ruang pikir hitam dan putih. Kau
sebut agar mudah bagimu mengajariku yang salah dan yang benar. Aku tak pernah lupa pemahaman pertama yang
kau berikan padaku. Bahwa senyum adalah
pertanda bahagia. Bahwa tangis adalah
perlambang nestapa.
Dan sepanjang
ingatanku sejak membuka mata, kau selalu tersenyum. Kau bahagia memilikiku. Tapi barangkali kau tak tahu kebahagianku
lebih besar dari yang kau rasa.
Aku menyukai
kurva itu di wajahmu. Di mataku kau
selalu tampak begitu cantik bahkan tanpa kau berusaha. Dan dengan adanya senyum itu, kau bersinar
begitu terang. Kau berkilau
menyilaukan. Tapi aku tak pernah mampu
melepaskan pandang darimu.
Kusadari aku
telah belajar satu hal baru, tanpa kau menjabarnya padaku.
“Aku
mencintaimu.”
Dan kuucapkan
itu tanpa ragu. Hanya untuk mendapat
gelengan darimu.
“Jangan
katakan itu. Kau tak memahaminya. Kau tak mengerti cinta. Dan tak akan pernah.”
Kenapa,
kutanya. Kenapa kau pikir aku tak
paham. Kenapa kau meragukanku. Menyalahiku.
“Karena aku
menciptakanmu begitu.”
Karena aku
sesungguhnya tak lebih dari onggokan besi?
Karena aku sebetulnya digerakkan oleh sekedar jiwa buatan? Lalu apa arti desir yang kurasakan dalam
dadaku tiap kali kau tersenyum padaku?
Apa makna golak di perutku tiap kali kau datang memelukku?
Tapi aku tak
ingin menjadikannya beban bagimu. Biar
kusimpan semuanya tanpa tersuarakan dalam tanya. Meski tak kutahan ketika lidahku ingin
mengucap dua kata itu.
Aku
mencintaimu. Dan akan terus begitu.
Kupeluk kau
ketika dingin menyergap. Kujaga kau
dalam dekap ketika kantuk menyapamu. Kutemani
kau pada malam-malam ketika kau tak sanggup terlelap. Tak pernah beranjak aku dari sisimu pada tiap
apa pun yang kau lakukan.
Lalu kukenali
satu emosi baru.
Seorang yang
kau sebut kawan lama mengunjungimu.
Seorang yang kau sebut dulu selalu menjadi tempatmu mencurahkan segala
yang kau pikir, segala yang kau rasa.
Segala senang dan sakitmu.
Kulihat kau
tersenyum begitu benderang ketika menyambutnya.
Kuperhatikan kau begitu riang ketika bercakap dengannya. Kuamati kau membawa dirimu masuk dalam
rengkuhnya ketika menyapa. Dan saat itu
kurasakan jengit yang tak menyenangkan dalam benakku.
Aku tak
menyukainya.
Tapi kau
tersenyum ketika bicara padanya. Bahkan
tertawa pada ucapannya. Kau
bahagia. Maka kubiarkan kau
dengannya. Kujaga kau dari jarak yang
tak mengganggu, namun dekat untuk menangkap gerak-gerikmu.
Hingga
kudengar kau menyebut satu nama. Milik
seorang yang dulu meninggalkanmu.
Menyakitimu. Tapi tak bisa
sepenuhnya kau musnahkan dari ingatanmu.
Kau tanya pada kawanmu perihal kabarnya.
Dan ketika ia ceritakan tentangnya, mendadak tak kulihat lagi
kerianganmu. Senyummu hilang, suaramu
disertai isak.
Kau menangis.
Detik
berikutnya, kawanmu rubuh, terkapar di bawah kakiku. Kuhantamkan buku-buku tanganku ke
wajahnya. Berkali-kali. Bahkan setelah ia tak lagi bergerak memberi
perlawanan. Kau menjerit, memintaku
berhenti, tapi aku terus menghajarnya.
Ia membuatmu
menangis. Ia membuatmu merasakan
nestapa. Dan aku tak akan memaafkannya.
Sekali lagi
kau memekik. Aku hendak mengabaikanmu
lagi, lalu kudengar kau tersedu.
Menyebut namaku. Memohon.
Gerakku
semerta-merta kuhentikan. Aku berbalik menghadapmu,
yang sembab oleh air mata. Kupeluk kau
erat, membisikkan penghiburan agar kau hentikan tangismu. Kau katakan kau tak apa-apa, dan kau minta
aku untuk pergi ke kamar, diam di sana. Kau
bilang kau perlu merawat kawanmu terlebih dulu.
Aku tak mau. Aku tak ingin kau
berada dekat dengannya lagi. Tapi sekali
lagi kau memohon, dan aku tak bisa menolakmu.
Sebelum
pergi, kuucapkan maaf.
“Aku
melakukannya karena aku mencintaimu.”
Kau
menjawabku dengan senyum lemah, dan angguk perlahan. Kau bilang tak apa, kau bilang kau memaafkanku.
Hari-hari
berlalu setelahnya. Kawanmu sembuh, tapi
tak pernah kulihat ia datang untuk kedua kali.
Aku senang karenanya. Tapi aku
tak menyukai perubahan pada dirimu sesudahnya.
Kini kau lebih banyak diam.
Senyummu tak semerbak dulu.
Kusadari sering kau alihkan pandang dariku. Dan kutahu pikiranmu sering tak berada di
tempat sama dengan kesadaranmu, bahkan ketika kau sedang berbincang denganku.
Hingga suatu
pagi, kau membawaku ke ruang itu. Tempat
kau membangkitkanku. Tempat segala
barang-barang ciptaanmu kau simpan. Ada
yang perlu kau perbaiki dariku, kau bilang.
Kuturuti kau, kuikuti kau ke sana.
Kau dudukkan aku di salah satu kursi itu, dan kau bergerak ke
belakangku. Tanganmu membuka tengkukku,
jemarimu lincah meraih sambungan kabel-kabel di dalamnya.
Aku menyukai
sentuhanmu. Membuatku merasa aku benar
sepenuhnya milikmu. Dan hanya kau saja
yang dapat memilikiku. Aku tersenyum,
memejamkan mataku, menikmati ujung-ujung jarimu pada pembuluh buatan di
belakang leherku.
Sampai kurasa
kebas janggal pada kakiku. Merambat naik
ke pinggangku. Punggungku. Kedua lenganku.
Apa yang kau
lakukan terhadapku?
Kudengar isak
itu lagi darimu. Aku ingin memelukmu,
tapi begitu berat bagiku bahkan untuk menggerakkan seruas jari. Wajahmu di hadapanku kini. Air mata membasahi kedua pipimu. Dan kau ucapkan maaf.
“Aku
melakukannya karena aku mencintaimu.”
Dengan satu
sentakan terakhir, seluruh sendiku mati.
Kau membunuh semua kemampuan gerakku.
Aku kini tak lebih dari boneka kosong tanpa nyawa. Sepotong besar besi tanpa penggerak.
Kau bilang
aku cacat. Kau bilang aku belajar dengan
cara salah. Kau bilang aku berbahaya
karenanya. Kau bilang lebih baik aku
begini.
Diam. Tak bergerak.
Bagimu aku mati.
Tapi kau
salah. Kau tak melumpuhkan Kantung
Jiwaku. Kau pikir cukup dengan memutus
suluran syarafku. Kau tak tahu pikiranku
masih terjaga. Kau tak tahu mataku masih
melihat. Kau tak tahu telingaku masih
mendengar.
Dan dari
celah tipis pintu yang tak pernah sepenuhnya kau tutup, aku tahu
segalanya. Hari-harimu kemudian tak
pernah luput dari perhatianku. Tiap hal
kecil darinya.
Aku melihat
ketika kau memutuskan untuk mencipta satu Boneka baru. Aku melihatmu bekerja begitu keras untuk
mewujudkannya. Aku melihatmu begitu
tekun mengukir tiap bagian dari sosoknya.
Yang kau sebut lebih elok dariku.
Aku melihatmu menghadiahinya Kantung Jiwa yang sama, menghadirkannya
untuk hidup di dunia. Aku melihatmu
tersenyum dan memeluk menyambutnya bangun.
Dan kudengar
kau sebut ia sempurna.
Aku tak
menyukainya. Aku tak menyukainya
memelukmu ketika dingin. Aku tak
menyukainya mendekapmu ketika terkantuk.
Aku tak menyukainya menemanimu ketika malam tanpa tidur tiba. Aku tak menyukainya di sisimu.
Aku tak
menyukai caranya menyentuhmu. Ia
menjamahmu sebagaimana tak pernah kulakukan.
Ia mengecupmu. Ia
mencumbumu. Dan kau membiarkannya. Kau bahkan membiarkannya mengatakan ia mencintaimu.
Sekali lagi
kau sebut ia sempurna. Ia berpikir
selayaknya dirimu. Dengan logika,
didampingi rasa. Ia tak mengernyit
ketika kawanmu datang untuk kesekian kali, berbincang hangat denganmu. Ia tak berjengit ketika kawanmu memelukmu
sebagai ganti sapa. Ia pengertian, kau
sebut. Ia tak bercela, kau ucap.
Kau tak
menyadari cacat yang dimilikinya.
Suatu ketika
kau mengajaknya duduk di sampingmu. Ada
yang perlu kau bicarakan, katamu. Ia
melingkarkan lengannya di bahumu. Kau
melepaskannya, ganti menggenggam tangannya, menatapnya lurus-lurus.
Kau katakan
kau mencintai kawanmu.
Ia
terdiam. Lalu menggeleng tak paham. Apa maksudmu, tanyanya. Bukankah kau hanya mencintainya saja, ia
tuntut. Kau kembali bicara,
bersungguh-sungguh pada tiap kata yang kau bentuk.
Kau mencintai
kawanmu. Begitu besar. Begitu kuat.
Begitu nyata. Yang tak bisa
dibandingkan dengan perasaanmu terhadapnya.
Bonekamu. Sekedar ciptaannmu
untuk mengisi kekosongan hari-harimu.
Ia paham
kini. Tapi bukan pengertian yang
menyertainya.
Ia
menamparmu. Begitu keras hingga kau
terpental dari dudukmu. Kau menatapnya
tak percaya. Terlalu terkejut untuk
berkata-kata. Dan aku terperanjat. Aku ingin bangkit dan melindungimu. Tapi sendiku kelu. Tak ada yang bisa kulakukan.
Ia menamparmu
lagi. Lebih keras kini. Ia berteriak marah. Ia tak menerima pernyataanmu. Ia tak menghendaki kau mencintai selain
dirinya.
Kau berusaha meredakan
amarahnya, berusaha memberinya pemahaman bahwa kalian tak lebih dari pencipta
dan ciptaan. Bahwa cinta di antara kalian adalah tak mungkin.
Ia
mengamuk. Ia menerjangmu yang telah
teringkuk di lantai. Ia mengangkatmu,
lalu menghempaskanmu kembali. Ia
menarikmu bangun lagi, lalu mendaratkan hantaman keras di wajahmu. Kau meringis dalam perih. Kau menangis dalam pilu. Tapi ia tak menghiraukanmu. Ia menusukkan pukulan ke tubuhmu. Berulang-ulang. Membuatmu menjerit. Yang tak berguna untuk menghentikannya.
“Lebih baik
kau lenyap dengan tanganku, daripada menghilang dari hadapanku oleh tangan
lain.”
Dengan satu
gerakan cepat tak tertangkap penglihatan, jemarinya membenam ke dalam
dadamu.
Kau memekik
keras. Darah mengalir darimu, menodai pakaianmu,
membanjiri lantai di bawahmu. Ia
berhenti sejenak, mengira kau tak lagi mampu berbuat apa pun. Dan dengan sisa kekuatan yang kau miliki, kau
merangkak menuju ruangku, tempatmu mematikanku.
Dengan limbung kau berdiri bertopang pada bahuku, membawa tanganmu pada
tengkukku, menekan satu tombol untuk menghidupkan gerakku.
Tapi aku
telah terlalu lama lumpuh. Tak bisa aku
seketika memerintah lengan dan tungkaiku untuk menamengimu. Dan dalam detik-detik perlahan ketika syarafku
berupaya bangun dari tidur panjangnya, ia telah menangkapmu lagi. Menarikmu menjauh dariku. Menjatuhkanmu. Menginjak-injakmu. Memukulimu tanpa ampun. Di hadapanku.
Dan masih belum juga aku mampu bergerak, syarafku begitu lambat
mengaliri ruas-ruas tubuhku.
Wajah dan
tubuhmu kuyup oleh kental merah. Kau
terengah-engah. Napasmu dihambat nyeri
tak terkira. Ia berhenti menghajarmu, merendahkan
tubuhnya untuk berlutut di atas tubuhmu yang telentang tanpa daya. Ia tersenyum, begitu lembut, mencium bibirmu yang
basah oleh darah.
“Aku
melakukannya karena aku mencintaimu.”
Dan tangannya
menembus tubuhmu. Satu percikan besar
memancar dari dadamu. Merah. Pekat.
Seolah terampas habis dari pembuluhmu.
Seolah hendak mencerabut nyawamu.
Aku meraung
murka. Kubawa tubuhku yang telah terjaga
sepenuhnya untuk bangkit. Kuterjang ia
dengan semua kekuatan yang kumiliki, membuatnya menghantam dinding. Kupojokkan ia, kucengkeram lehernya mengunci
geraknya. Ia melawan, meraup tanganku
menjauh darinya, menohokkan lututnya di perutku. Kulemparkan kepalan tanganku tepat di
wajahnya. Satu kali. Dua kali.
Tiga kali. Hingga kepalanya
sebagian terbenam pada dinding di belakangnya.
Tapi aku dan ia
bukan manusia. Meski sepotong besar noda
darah artifisial telah menghiasi tubuh kami, tak ada sakit yang kami rasa. Ia menangkap tanganku pada pukulan keempat,
memelintirnya. Tanganku tak lagi berada
di posisinya yang benar, dan derik-derik listrik muncul dari kulitku yang
robek. Syaraf lenganku rusak.
Ia
memanfaatkan lukaku untuk menyerangku. Aku jatuh menghantam lantai, dan ia mengamitku
dengan kedua tungkainya, hendak menghujaniku dengan pukulan. Aku menangkisnya, dan berusaha lepas dari
pegangannya. Kami bergumul. Suara besi beradu keras memenuhi ruangan,
memekakkan telinga. Aku dan ia sama
kuat. Kami saling serang dengan daya setara. Tapi ia mendapatkan keuntungan dengan satu
lenganku yang tak lagi berfungsi, dan ia mampu membuat lebih banyak luka
padaku. Dengan sebelah tanganku tak
berguna, aku tak mungkin menang darinya.
Tapi aku tahu
satu hal yang tak diketahuinya. Tempat
nyawa kami berada.
Bersamaan
dengan hantaman yang keras di peilipisku, kutancapkan tanganku di dadanya. Kurentangkan jemariku, mengoyaknya
terbuka. Ia mengerang, berusaha menarik
lepas tanganku, tapi telapakku telah mencapai Kantung Jiwanya, dan kucabut
lepas dari tubuhnya.
Gerakannya
terhenti seketika. Ia jatuh dengan tubuh
kaku, menghasilkan suara kelontang besar.
Matanya terbuka, tapi tak ada kesadaran di sana.
Aku terengah
memandang tubuhnya yang tak berkutik dalam kubangan darah, dengan jantungnya di
tanganku.
Ia telah
mati. Sepenuhnya.
“…maaf,”
Suara itu
menyadarkanku, dan aku berbalik. Kau di
sana, mengangkat tanganmu yang bergetar lemah, terarah padaku. Aku berlari ke sisimu, menunduk memandangmu. Kubelai wajahmu yang tak lagi bersemu,
dikalahkan pucat. Napasmu begitu
dangkal, terpotong-potong dalam jeda panjang.
Matamu seolah berat untuk membuka.
Tapi jemarimu meraih sisi mukaku, menelusurinya dengan lembut. Dan kau tersenyum.
“Maafkan
aku….”
Sepasang
kelopak matamu perlahan bergerak menutup.
Tanganmu yang mengulur terjatuh.
Denyutmu tak lagi kudengar.
Napasmu menguap hilang.
Mendadak
seluruh tubuhku seolah mati rasa. Gelap
memenuhi pikiranku. Lidahku diborgol
bisu. Engsel sendiku kaku. Di depan mataku, kau tak lagi bergerak.
Tidak.
Tidak.
Kau tak boleh
pergi. Kau tak boleh
meninggalkanku. Aku mencintaimu. Aku
mencintaimu. Aku tak bisa
kehilanganmu.
Kau harus
hidup. Bagaimana pun caranya.
Kurasakan ketuk
samar dalam telapakku. Ujung mataku
mengerlingnya, dan dari balik gumpalan darah yang menyelubunginya, kulihat bongkahan
itu berdetak. Kantung Jiwa itu masih
hidup. Nyawa itu ada di tanganku.
Aku
tersenyum.
Dan
kusurukkan genggamanku ke dalam dadamu yang terbuka.
Akhirnya, aku memilikimu selamanya.
Malang, 29
April 2012
23:44