Monday, April 30, 2012

Segenggam Napas


Aku selalu ingat tiap kisahmu.

Bahkan kisah pertama yang kau ceritakan saat awal mula aku membuka mata.  Kisah penciptaanku.

Segalanya bermula dari deritamu.  Kau bilang kau begitu terluka.  Seorang yang kau cintai mengkhianatimu, meninggalkanmu terpuruk seorang diri, dengan lubang besar di hatimu, tak memedulikanmu terkapar berkubang tangis.  Lalu kau bilang kau akhirnya memilih untuk menjauh dari segalanya.  Semua wajah.  Semua mata.  Semua suara.  Kau sebut jika kau tak mencintai, kau tak akan perlu merasa tersakiti.  Kau sebut jika kau tak mengenal, maka kau tak akan perlu jatuh cinta.

Bertahun-tahun kau lalui hanya dengan dirimu saja.  Beberapa pernah berusaha membawamu keluar, menginginkan kecemerlangan pikirmu.  Tapi kau tak butuh segala ketenaran, kau tak perlu pengakuan.  Kau hanya ingin terjauhkan dari segala luka.  Maka tetap kau biarkan pintumu tertutup untuk hari-hari yang tak lagi terhitung.

Tapi kau tetap manusia biasa.  Kau beremosi.  Kau berasa.  Sebagaimanapun kau pikir bisa mematikannya dengan kesendirianmu, sepi tetap berhasil mencapaimu.  Kau ingin sesosok di sampingmu.  Tangan untuk merengkuhmu.  Suara untuk mencipta bunyi dalam sunyimu.

Maka kau tenggelamkan segala perhatianmu di sudut ruang kerjamu, berbulan-bulan, mengabaikan segala hal untuk menciptaku.  Bonekamu, begitu kau sebut.  Seperti bagaimana kau seringkali merangkai dedaunan dan batang untuk kau jadikan figur mungil untuk kau ajak bicara ketika tak ada yang mendengarkanmu saat kau kanak-kanak.

Tapi kali ini berbeda.  Kau ingin lebih dari sekedar batang boneka tanpa nyawa, yang bergeming di telapak tanganmu seberapa pun kau bicara padanya. 

Kau ingin mencipta sempurna.  Kau dayakan segala pikir dan tenagamu untuk mengukir rupaku.  Tiap ruas kulitku.  Tiap lekuk sendiku.  Tiap pahat parasku.  Kau buat aku bagai sosok tanpa cela.  Yang terlalu rupawan untuk jadi nyata.  Tapi dengan kemampuanmu, tak ada yang tak mungkin bagimu.

Bahkan untuk merajut jiwa bagiku.

Kau sebut jantung adalah yang tak boleh terlupa dari struktur manusia.  Tanpanya hidup manusia tak ada.  Maka kau pun tak lalai untuk membubuhkan yang sama untukku.

Kau membuatnya begitu serupa dengan yang kau miliki di balik jajar rusukmu.  Tapi hanya kau yang tahu bahwa jantung itu, yang kau sebut Kantung Jiwa, sesungguhnya tak lebih dari kumparan kawat dan sulaman besi, dililit kabel-kabel pengalir listrik, sebagaimana tubuhku juga terkonstruksi.  Seperti baterai, kau jelaskan padaku dengan sederhana.  Dengan satu pembeda besar. 

Bahwa Kantung Jiwa menyerap sebagian diri dari tangan yang membubuhkannya, menghidupkan yang seharusnya bukan makhluk, dengan kepemilikan pada si pemberi Jiwa.  Maka ketika kau tanamkan Jiwa itu dengan lembut di antara dadaku yang terbuka, kesetiaanku padamu tak terbantah.

Aku milikmu.  Dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Kau cipta aku dengan ruang pikir hitam dan putih.  Kau sebut agar mudah bagimu mengajariku yang salah dan yang benar.  Aku tak pernah lupa pemahaman pertama yang kau berikan padaku.  Bahwa senyum adalah pertanda bahagia.  Bahwa tangis adalah perlambang nestapa. 

Dan sepanjang ingatanku sejak membuka mata, kau selalu tersenyum.  Kau bahagia memilikiku.  Tapi barangkali kau tak tahu kebahagianku lebih besar dari yang kau rasa.

Aku menyukai kurva itu di wajahmu.  Di mataku kau selalu tampak begitu cantik bahkan tanpa kau berusaha.  Dan dengan adanya senyum itu, kau bersinar begitu terang.  Kau berkilau menyilaukan.  Tapi aku tak pernah mampu melepaskan pandang darimu.

Kusadari aku telah belajar satu hal baru, tanpa kau menjabarnya padaku.

“Aku mencintaimu.”

Dan kuucapkan itu tanpa ragu.  Hanya untuk mendapat gelengan darimu. 

“Jangan katakan itu.  Kau tak memahaminya.  Kau tak mengerti cinta.  Dan tak akan pernah.”

Kenapa, kutanya.  Kenapa kau pikir aku tak paham.  Kenapa kau meragukanku.  Menyalahiku.

“Karena aku menciptakanmu begitu.”

Karena aku sesungguhnya tak lebih dari onggokan besi?  Karena aku sebetulnya digerakkan oleh sekedar jiwa buatan?  Lalu apa arti desir yang kurasakan dalam dadaku tiap kali kau tersenyum padaku?  Apa makna golak di perutku tiap kali kau datang memelukku?

Tapi aku tak ingin menjadikannya beban bagimu.  Biar kusimpan semuanya tanpa tersuarakan dalam tanya.  Meski tak kutahan ketika lidahku ingin mengucap dua kata itu.

Aku mencintaimu.  Dan akan terus begitu.

Kupeluk kau ketika dingin menyergap.  Kujaga kau dalam dekap ketika kantuk menyapamu.  Kutemani kau pada malam-malam ketika kau tak sanggup terlelap.  Tak pernah beranjak aku dari sisimu pada tiap apa pun yang kau lakukan. 

Lalu kukenali satu emosi baru.

Seorang yang kau sebut kawan lama mengunjungimu.  Seorang yang kau sebut dulu selalu menjadi tempatmu mencurahkan segala yang kau pikir, segala yang kau rasa.  Segala senang dan sakitmu. 

Kulihat kau tersenyum begitu benderang ketika menyambutnya.  Kuperhatikan kau begitu riang ketika bercakap dengannya.  Kuamati kau membawa dirimu masuk dalam rengkuhnya ketika menyapa.  Dan saat itu kurasakan jengit yang tak menyenangkan dalam benakku.

Aku tak menyukainya.

Tapi kau tersenyum ketika bicara padanya.  Bahkan tertawa pada ucapannya.  Kau bahagia.  Maka kubiarkan kau dengannya.  Kujaga kau dari jarak yang tak mengganggu, namun dekat untuk menangkap gerak-gerikmu. 

Hingga kudengar kau menyebut satu nama.  Milik seorang yang dulu meninggalkanmu.  Menyakitimu.  Tapi tak bisa sepenuhnya kau musnahkan dari ingatanmu.  Kau tanya pada kawanmu perihal kabarnya.  Dan ketika ia ceritakan tentangnya, mendadak tak kulihat lagi kerianganmu.  Senyummu hilang, suaramu disertai isak.

Kau menangis.

Detik berikutnya, kawanmu rubuh, terkapar di bawah kakiku.  Kuhantamkan buku-buku tanganku ke wajahnya.  Berkali-kali.  Bahkan setelah ia tak lagi bergerak memberi perlawanan.  Kau menjerit, memintaku berhenti, tapi aku terus menghajarnya.

Ia membuatmu menangis.  Ia membuatmu merasakan nestapa.  Dan aku tak akan memaafkannya.

Sekali lagi kau memekik.  Aku hendak mengabaikanmu lagi, lalu kudengar kau tersedu.  Menyebut namaku.  Memohon.

Gerakku semerta-merta kuhentikan.  Aku berbalik menghadapmu, yang sembab oleh air mata.  Kupeluk kau erat, membisikkan penghiburan agar kau hentikan tangismu.  Kau katakan kau tak apa-apa, dan kau minta aku untuk pergi ke kamar, diam di sana.  Kau bilang kau perlu merawat kawanmu terlebih dulu.  Aku tak mau.  Aku tak ingin kau berada dekat dengannya lagi.  Tapi sekali lagi kau memohon, dan aku tak bisa menolakmu.

Sebelum pergi, kuucapkan maaf.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Kau menjawabku dengan senyum lemah, dan angguk perlahan.  Kau bilang tak apa, kau bilang kau memaafkanku.

Hari-hari berlalu setelahnya.  Kawanmu sembuh, tapi tak pernah kulihat ia datang untuk kedua kali.  Aku senang karenanya.  Tapi aku tak menyukai perubahan pada dirimu sesudahnya.  Kini kau lebih banyak diam.  Senyummu tak semerbak dulu.  Kusadari sering kau alihkan pandang dariku.  Dan kutahu pikiranmu sering tak berada di tempat sama dengan kesadaranmu, bahkan ketika kau sedang berbincang denganku.

Hingga suatu pagi, kau membawaku ke ruang itu.  Tempat kau membangkitkanku.  Tempat segala barang-barang ciptaanmu kau simpan.  Ada yang perlu kau perbaiki dariku, kau bilang.  Kuturuti kau, kuikuti kau ke sana.  Kau dudukkan aku di salah satu kursi itu, dan kau bergerak ke belakangku.  Tanganmu membuka tengkukku, jemarimu lincah meraih sambungan kabel-kabel di dalamnya.

Aku menyukai sentuhanmu.  Membuatku merasa aku benar sepenuhnya milikmu.  Dan hanya kau saja yang dapat memilikiku.  Aku tersenyum, memejamkan mataku, menikmati ujung-ujung jarimu pada pembuluh buatan di belakang leherku.

Sampai kurasa kebas janggal pada kakiku.  Merambat naik ke pinggangku.  Punggungku.  Kedua lenganku. 

Apa yang kau lakukan terhadapku?

Kudengar isak itu lagi darimu.  Aku ingin memelukmu, tapi begitu berat bagiku bahkan untuk menggerakkan seruas jari.  Wajahmu di hadapanku kini.  Air mata membasahi kedua pipimu.  Dan kau ucapkan maaf.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Dengan satu sentakan terakhir, seluruh sendiku mati.  Kau membunuh semua kemampuan gerakku.  Aku kini tak lebih dari boneka kosong tanpa nyawa.  Sepotong besar besi tanpa penggerak. 

Kau bilang aku cacat.  Kau bilang aku belajar dengan cara salah.  Kau bilang aku berbahaya karenanya.  Kau bilang lebih baik aku begini. 

Diam.  Tak bergerak.  Bagimu aku mati.

Tapi kau salah.  Kau tak melumpuhkan Kantung Jiwaku.  Kau pikir cukup dengan memutus suluran syarafku.  Kau tak tahu pikiranku masih terjaga.  Kau tak tahu mataku masih melihat.  Kau tak tahu telingaku masih mendengar.

Dan dari celah tipis pintu yang tak pernah sepenuhnya kau tutup, aku tahu segalanya.  Hari-harimu kemudian tak pernah luput dari perhatianku.  Tiap hal kecil darinya.

Aku melihat ketika kau memutuskan untuk mencipta satu Boneka baru.  Aku melihatmu bekerja begitu keras untuk mewujudkannya.  Aku melihatmu begitu tekun mengukir tiap bagian dari sosoknya.  Yang kau sebut lebih elok dariku.  Aku melihatmu menghadiahinya Kantung Jiwa yang sama, menghadirkannya untuk hidup di dunia.  Aku melihatmu tersenyum dan memeluk menyambutnya bangun.

Dan kudengar kau sebut ia sempurna.

Aku tak menyukainya.  Aku tak menyukainya memelukmu ketika dingin.  Aku tak menyukainya mendekapmu ketika terkantuk.  Aku tak menyukainya menemanimu ketika malam tanpa tidur tiba.  Aku tak menyukainya di sisimu.

Aku tak menyukai caranya menyentuhmu.  Ia menjamahmu sebagaimana tak pernah kulakukan.  Ia mengecupmu.  Ia mencumbumu.  Dan kau membiarkannya.  Kau bahkan membiarkannya mengatakan ia mencintaimu.

Sekali lagi kau sebut ia sempurna.  Ia berpikir selayaknya dirimu.  Dengan logika, didampingi rasa.  Ia tak mengernyit ketika kawanmu datang untuk kesekian kali, berbincang hangat denganmu.  Ia tak berjengit ketika kawanmu memelukmu sebagai ganti sapa.  Ia pengertian, kau sebut.  Ia tak bercela, kau ucap.

Kau tak menyadari cacat yang dimilikinya. 

Suatu ketika kau mengajaknya duduk di sampingmu.  Ada yang perlu kau bicarakan, katamu.  Ia melingkarkan lengannya di bahumu.  Kau melepaskannya, ganti menggenggam tangannya, menatapnya lurus-lurus. 

Kau katakan kau mencintai kawanmu.

Ia terdiam.  Lalu menggeleng tak paham.  Apa maksudmu, tanyanya.  Bukankah kau hanya mencintainya saja, ia tuntut.  Kau kembali bicara, bersungguh-sungguh pada tiap kata yang kau bentuk.

Kau mencintai kawanmu.  Begitu besar.  Begitu kuat.  Begitu nyata.  Yang tak bisa dibandingkan dengan perasaanmu terhadapnya.  Bonekamu.  Sekedar ciptaannmu untuk mengisi kekosongan hari-harimu.

Ia paham kini.  Tapi bukan pengertian yang menyertainya. 

Ia menamparmu.  Begitu keras hingga kau terpental dari dudukmu.  Kau menatapnya tak percaya.  Terlalu terkejut untuk berkata-kata.  Dan aku terperanjat.  Aku ingin bangkit dan melindungimu.  Tapi sendiku kelu.  Tak ada yang bisa kulakukan.

Ia menamparmu lagi.  Lebih keras kini.  Ia berteriak marah.  Ia tak menerima pernyataanmu.  Ia tak menghendaki kau mencintai selain dirinya.

Kau berusaha meredakan amarahnya, berusaha memberinya pemahaman bahwa kalian tak lebih dari pencipta dan ciptaan.  Bahwa cinta di antara kalian adalah tak mungkin. 

Ia mengamuk.  Ia menerjangmu yang telah teringkuk di lantai.  Ia mengangkatmu, lalu menghempaskanmu kembali.  Ia menarikmu bangun lagi, lalu mendaratkan hantaman keras di wajahmu.  Kau meringis dalam perih.  Kau menangis dalam pilu.  Tapi ia tak menghiraukanmu.  Ia menusukkan pukulan ke tubuhmu.  Berulang-ulang.  Membuatmu menjerit.  Yang tak berguna untuk menghentikannya.

“Lebih baik kau lenyap dengan tanganku, daripada menghilang dari hadapanku oleh tangan lain.”

Dengan satu gerakan cepat tak tertangkap penglihatan, jemarinya membenam ke dalam dadamu. 

Kau memekik keras.  Darah mengalir darimu, menodai pakaianmu, membanjiri lantai di bawahmu.  Ia berhenti sejenak, mengira kau tak lagi mampu berbuat apa pun.  Dan dengan sisa kekuatan yang kau miliki, kau merangkak menuju ruangku, tempatmu mematikanku.  Dengan limbung kau berdiri bertopang pada bahuku, membawa tanganmu pada tengkukku, menekan satu tombol untuk menghidupkan gerakku.

Tapi aku telah terlalu lama lumpuh.  Tak bisa aku seketika memerintah lengan dan tungkaiku untuk menamengimu.  Dan dalam detik-detik perlahan ketika syarafku berupaya bangun dari tidur panjangnya, ia telah menangkapmu lagi.  Menarikmu menjauh dariku.  Menjatuhkanmu.  Menginjak-injakmu.  Memukulimu tanpa ampun.  Di hadapanku.  Dan masih belum juga aku mampu bergerak, syarafku begitu lambat mengaliri ruas-ruas tubuhku.

Wajah dan tubuhmu kuyup oleh kental merah.  Kau terengah-engah.  Napasmu dihambat nyeri tak terkira.  Ia berhenti menghajarmu, merendahkan tubuhnya untuk berlutut di atas tubuhmu yang telentang tanpa daya.  Ia tersenyum, begitu lembut, mencium bibirmu yang basah oleh darah.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Dan tangannya menembus tubuhmu.  Satu percikan besar memancar dari dadamu.  Merah.  Pekat.  Seolah terampas habis dari pembuluhmu.  Seolah hendak mencerabut nyawamu.

Aku meraung murka.  Kubawa tubuhku yang telah terjaga sepenuhnya untuk bangkit.  Kuterjang ia dengan semua kekuatan yang kumiliki, membuatnya menghantam dinding.  Kupojokkan ia, kucengkeram lehernya mengunci geraknya.  Ia melawan, meraup tanganku menjauh darinya, menohokkan lututnya di perutku.  Kulemparkan kepalan tanganku tepat di wajahnya.  Satu kali.  Dua kali.  Tiga kali.  Hingga kepalanya sebagian terbenam pada dinding di belakangnya.

Tapi aku dan ia bukan manusia.  Meski sepotong besar noda darah artifisial telah menghiasi tubuh kami, tak ada sakit yang kami rasa.  Ia menangkap tanganku pada pukulan keempat, memelintirnya.  Tanganku tak lagi berada di posisinya yang benar, dan derik-derik listrik muncul dari kulitku yang robek.  Syaraf lenganku rusak.

Ia memanfaatkan lukaku untuk menyerangku.  Aku jatuh menghantam lantai, dan ia mengamitku dengan kedua tungkainya, hendak menghujaniku dengan pukulan.  Aku menangkisnya, dan berusaha lepas dari pegangannya.  Kami bergumul.  Suara besi beradu keras memenuhi ruangan, memekakkan telinga.  Aku dan ia sama kuat.  Kami saling serang dengan daya setara.  Tapi ia mendapatkan keuntungan dengan satu lenganku yang tak lagi berfungsi, dan ia mampu membuat lebih banyak luka padaku.  Dengan sebelah tanganku tak berguna, aku tak mungkin menang darinya.

Tapi aku tahu satu hal yang tak diketahuinya.  Tempat nyawa kami berada.

Bersamaan dengan hantaman yang keras di peilipisku, kutancapkan tanganku di dadanya.  Kurentangkan jemariku, mengoyaknya terbuka.  Ia mengerang, berusaha menarik lepas tanganku, tapi telapakku telah mencapai Kantung Jiwanya, dan kucabut lepas dari tubuhnya.

Gerakannya terhenti seketika.  Ia jatuh dengan tubuh kaku, menghasilkan suara kelontang besar.  Matanya terbuka, tapi tak ada kesadaran di sana. 

Aku terengah memandang tubuhnya yang tak berkutik dalam kubangan darah, dengan jantungnya di tanganku.

Ia telah mati.  Sepenuhnya.

“…maaf,”

Suara itu menyadarkanku, dan aku berbalik.  Kau di sana, mengangkat tanganmu yang bergetar lemah, terarah padaku.  Aku berlari ke sisimu, menunduk memandangmu.  Kubelai wajahmu yang tak lagi bersemu, dikalahkan pucat.  Napasmu begitu dangkal, terpotong-potong dalam jeda panjang.  Matamu seolah berat untuk membuka.  Tapi jemarimu meraih sisi mukaku, menelusurinya dengan lembut.  Dan kau tersenyum.

“Maafkan aku….”

Sepasang kelopak matamu perlahan bergerak menutup.  Tanganmu yang mengulur terjatuh.  Denyutmu tak lagi kudengar.  Napasmu menguap hilang.

Mendadak seluruh tubuhku seolah mati rasa.  Gelap memenuhi pikiranku.  Lidahku diborgol bisu.  Engsel sendiku kaku.  Di depan mataku, kau tak lagi bergerak.

Tidak.

Tidak.

Kau tak boleh pergi.  Kau tak boleh meninggalkanku.  Aku mencintaimu.  Aku mencintaimu.  Aku tak bisa kehilanganmu.

Kau harus hidup.  Bagaimana pun caranya.

Kurasakan ketuk samar dalam telapakku.  Ujung mataku mengerlingnya, dan dari balik gumpalan darah yang menyelubunginya, kulihat bongkahan itu berdetak.  Kantung Jiwa itu masih hidup.  Nyawa itu ada di tanganku. 

Aku tersenyum.

Dan kusurukkan genggamanku ke dalam dadamu yang terbuka.



Akhirnya, aku memilikimu selamanya.


Malang, 29 April 2012
23:44

Sunday, April 22, 2012

Mirror, mirror


Mereka bilang aku cantik.

Mereka bilang aku sempurna. 

Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki mata seindah yang kupunya, yang begitu cemerlang seolah memerangkap kerlip bintang dari malam.  Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki bibir serupawan yang kupunya, yang begitu serasi dengan senyum seolah menyerap pesona bunga-bunga.  Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki suara semerdu seperti yang kupunya, yang begitu membuai bagai menandingi lantunan burung-burung pagi.

Mereka bilang aku cantik.  Dan karenanya mereka berkata akan memberiku segalanya.

Mereka memanjakanku.  Menyiramiku dengan pujian tanpa jeda.  Menghadiahiku berbagai macam sebelum aku memintanya.  Bahkan sebelum aku bisa membedakan mana yang kubutuhkan dan mana yang sekedar kuinginkan.

Mereka menimangku dengan sayang.  Mengelilingiku dengan senyum.  Memeluk dan menciumku dengan kasih.  Menyebut iri tak memilikiku sebagaimana kedua orangtuaku.  Mengucap betapa berharganya diriku.  Betapa aku bahkan memiliki nilai lebih dibanding yang lain, yang mereka sebut tak secantik diriku.

Mereka bilang aku istimewa.  Dan seperti itulah aku diperlakukan sedari belia.  Aku tak pernah kekurangan apa pun.  Aku tak pernah perlu memohon.  Segalanya telah disodorkan padaku sebelum kubuka suara.

Mereka baik padaku.  Tak pernah ada cerca hinggap di pendengaranku.  Tak pernah ada hardik singgah di hadapanku.  Karena mereka menyayangiku. 

Karena aku cantikkah?  Pernah kupikir begitu.  Barangkali jawabannya iya.  Karena satu kata itu tak pernah lupa diselipkan di antara kalimat mereka ketika bertukar cakap denganku.  Bolehkah aku dicintai karenanya?  Pernah pula kupikir begitu.  Barangkali jawabannya iya.  Karena ibu bilang tiap orang lahir dengan binarnya masing-masing yang tak terbenamkan oleh yang lain.  Barangkali, cantik adalah binar terbaikku.

Maka begitulah aku memutuskan menghidupi hari-hariku.  Menerima segala kebaikan yang mereka julurkan dengan lapang hati, membalas dengan senyum dan ucap terima kasih.  Dan sebagaimana mereka menyayangiku, aku pun menyayangi mereka.  Dengan kemampuan terbaikku, aku berusaha mengembalikan semua kemurahhatian itu.  Dengan sepenuh tekad, aku berusaha memandang mereka dengan tiap binar dalam diri mereka.

Tak ada yang berubah ketika aku mulai masuk sekolah.  Teman-teman menyukaiku.  Guru-guru memfavoritkanku.  Aku tak pernah sendiri tanpa kawan-kawan mengajakku bermain, bergabung dalam tiap kegiatan mereka. 

Sebagian di antaranya menjadi karib, tak terpisahkan dariku.  Kami selalu bersama.  Membagi segalanya bersama.  Haru dan nestapa kami lalui bersama.  Lengan kami selalu saling merangkul satu sama lain.  Tak membiarkan seorang pun merasa ditinggalkan.  Tak menghendaki separas pun dilukis kesedihan.

Kami bahkan memakai selingkar gelang serupa di tangan kami.  Diiringi janji akan bersahabat selamanya, tak peduli hambat dan halang apa pun yang mungkin menyandung, kami simbolkan ikatan tak terputus di antara kami dengan helai manik-manik di pergelangan tangan kami.

Dengan ayah dan ibuku di rumah, dan dengan mereka di sekolah, hidupku sempurna.  Aku tersenyum bagai bernapas, begitu alami dan mudah.  Tawa bukanlah hal langka.  Bahagia bukanlah sesuatu yang asing. 

Tapi, ibu tidak pernah mengajarkanku bahwa hal-hal baik tidak selalu bertahan selamanya.

Remaja aku kini, beberapa langkah menjelang dewasa.  Aku masih memiliki sahabat-sahabatku, rapat selalu di sisiku.  Tapi ada orang-orang lain yang juga mendekat.  Berlainan jenis denganku, dengan kami.  Pemuda-pemuda itu mengistimewakanku dengan cara-cara yang tidak pernah dilakukan kedua orangtuaku.  Mereka terlihat berusaha terlalu keras untuk sekedar mendapat sejumput waktu berbincang denganku.  Mereka terdengar terlalu bersusah payah untuk sekedar mendapat sepetak ruang dalam jangkau keberadaanku. 

Bagiku itu aneh.  Mereka meletakkanku terlalu tinggi di atas mereka.  Seolah aku begitu mulia.  Terlalu tak terjangkau.  Dan bahwa aku tak boleh semudah itu diraih.  Sementara aku lebih suka dipandang sejajar.  Berkawan setara sebagaimana yang lain.  Bukankah semua orang memiliki binar masing-masing, yang tak tergantikan oleh yang lain?

Mereka tampaknya tak memahami itu.

Dan lebih banyak lagi ketidakpahaman muncul setelahnya.

Satu-dua dari sahabatku mulai berubah.  Polah dan ucap mereka mulai tak kukenali.  Kusadari mereka lebih mudah begitu tiap kali pemuda-pemuda itu berusaha mendekatiku. Kernyit tak suka dan desah enggan mereka perdengarkan.  Barangkali mereka terganggu.  Barangkali mereka, sama sepertiku, tak begitu nyaman dengan segala sikap mereka terhadapku.

Maka kujauhi kesemuanya.  Tak masalah dengan bisik-bisik yang menyertai kemudian.  Bahwa aku pongah.  Bahwa aku congkak.  Tak apa.  Aku masih memiliki sahabat-sahabatku.  Dengan begitu, aku tak kekurangan apa pun.  Tak kehilangan apa pun.  Keberadaan mereka berarti dunia bagiku, sebagaimana ibu dan ayah berarti semesta untukku.

Senyum mereka kembali padaku.  Begitu singkat.  Untuk kemudian digantikan murka yang tak terbayangkan.  Mereka menarikku dengan gerak yang menyakitiku.  Mereka menyudutkanku dengan tatap yang menakutkanku.  Mereka membentakku dengan lantang yang melumpuhkanku.

Apa salahku?  Kutanya mereka. 

Amarah dijeritkan di telingaku, diikuti tuding yang tak kupikir akan pernah ada.  Sahabatku sebut aku pengkhianat.  Sahabatku sebut aku merenggut apa yang diinginkannya.

Aku tak paham.  Kusahut mereka.

Tamparan didaratkan di pipiku, dilanjutkan penyalahan yang tak kupikir pernah kubuat.  Mereka mengutuk kecantikanku.  Menyebutku culas karena menggunakan binarku itu untuk mendapatkan segalanya.  Dengan terlalu mudah.  Yang tak bisa mereka dapatkan bahkan dengan segenap tenaga. 

Terutama satu nama itu, ia katakan.  Satu pemuda dari sekian yang lain yang mendekatiku.  Satu paras yang dikagumi sahabatku sejak lama.  Satu sosok yang diingini sahabatku untuk berada di dekatnya. Yang justru memalingkan wajahnya padaku, menatapku dengan pandang yang bahkan tak bisa kuartikan cinta. 

Aku tidak sengaja.  Kuyakinkan mereka.  Aku tidak memaksudkannya.  Bagaimana bisa?  Aku menyayangi sahabatku lebih dari diriku sendiri.  Bagaimana bisa mereka berpikir aku akan melakukannya?

Sahabatku tak percaya.  Dan satu kata itu ia tancapkan dalam-dalam menembus rusukku.  Melubangi tempat di mana sebelumnya hatiku berada.  Bersamaan butir-butir manik yang dihempaskan tepat pada wajahku.

Ia sebut aku pengkhianat.  Ia sebut aku tak termaafkan.

Dan seluruh dunia kemudian seolah mengiyakan.  Satu persatu kawan meninggalkanku.  Menyetujui tiap tuduh yang dikatakan sahabatku.  Bahwa aku pengkhianat.  Bahwa aku sengaja membuat semua orang menurutiku.  Bahwa aku sebetulnya merendahkan mereka yang tak sama binar denganku.

Tak hanya lisan dan prasangka, mereka juga melempariku dengan benda-benda yang menyakiti dengan pedih yang kentara di kulitku.  Tak ada tempat tersisa untukku di sana tanpa diterjang umpat.

Mereka bohong.  Bukankah mereka bilang tak akan pernah meninggalkanku?  Bukankah mereka bilang kami adalah abadi, apa pun yang terjadi?

Aku berlari ke rumah.  Tempat teramanku.  Aku akan baik-baik saja.  Ada ayah dan ibu.  Mereka akan memeluk dan melindungiku dari segala kebencian itu.  Karena mereka menyayangiku.  Karena mereka bilang aku berharga.

Tapi yang menyambutku bukan senyum hangat ibu dan rengkuh hangat ayah.

Mereka ada di sana.  Tapi aku tidak mengenali mereka, sebagaimana aku tak lagi mengenali sahabat-sahabatku.  Mereka saling melempar maki.  Ayah menyebut ibu pembohong, menduakannya.  Membohongi sejak lama tentangnya.  Ibu balas meneriakinya.  Menyebut ayah tak lebih baik.  Menyisihkannya untuk seorang yang lain dalam peluknya.  Mendusta sejak lama tentangnya.

Lalu mereka menyanggahku.  Ayah menyebutku bukan anaknya, melainkan seorang yang jadi rahasia bagi ibuku.  Aku tak mirip dengannya, ia sebut.  Tak pernah mirip.  Terlalu cantik, ia sebut.  Membuatnya jijik.

Aku berlari ke kamarku, mengunci pintu dan memejamkan mata rapat-rapat.  Berharap segalanya hanyalah mimpi.  Dan ketika aku membuka mata, ayah dan ibu sudah kembali.  Begitu pula dengan sahabat-sahabatku..

Tapi yang kutahu, dalam mimpi seharusnya aku tak bisa merasakan sakit.

Teriakan mereka menggelegar.  Lagi.  Hari ini.  Lalu esok.  Lalu lusa.  Lalu hari-hari yang tak bisa kuhitung lagi.

Mereka bohong.  Bukankah mereka bilang aku istimewa?  Bukankah mereka bilang aku tak terganti?  Bukankah mereka bilang mereka menyayangiku?

Lalu kenapa kemudian ibu pergi, melesat dari hadapanku, pecah dalam tangis?  Berkata tak akan pernah kembali lagi?  Menepis ketika kubujuk?  Menyentak genggamanku lepas ketika kumohon jangan meninggalkanku?

Lalu kenapa kemudian ayah murka, dan memukuliku dengan kata-katanya yang bagai pecut?  Berteriak untuk pergi dari hadapannya?  Berkata tak ingin melihatku karena terlalu mirip ibuku, yang kini dibencinya? 

Kenapa?

Bunyi pecah berserak di sisiku, tak jauh dari tempatku berdiri.  Ayah melempariku.  Menggertakku untuk benar-benar lenyap dari pandangannya.

Aku menunduk dalam ketakutan, hanya untuk mendapati wajahku balas menatapku dari tiap pecahan kaca di bawah kakiku.  Mata cemerlang.  Bibir rupawan.  Suara merdu. 

Ternyata, aku tak pernah istimewa.

Mereka bilang aku cantik.

Dan karenanya kini mereka membenciku.

Kuulurkan jemari.  Kupungut satu keping.  Kugenggam erat di tanganku.  Tepi-tepinya tajam, mengiris telapakku.  Tapi sisi teruncingnya kubiarkan di puncak.

Dan kubenamkan tepat di antara kedua mataku.


Dengan begini, akankah kau lebih menyayangiku?



Malang, 21 April 2012
23:36

Saturday, April 21, 2012

Warna Kedelapan


Menurutmu bagaimana rasanya ketika setelah hampir sepuluh tahun merelakan dan melakukan apa pun demi cita-citamu, lalu selanjutnya kau justru dibuang?

Perkenalkan.   Aku adalah pemuda yang berbakat besar di bidang fotografi.  Aku mampu menangkap sudut-sudut terbaik dari segala objek.  Inderaku sangat awas menemukan pesona-pesona tersembunyi dan memunculkannya.  Dan ngomong-ngomong, itu semua bukan kata-kataku, tapi orang-orang di sekitarku.

Yah, dan harus kuakui aku memang hebat.  Jadi tidak heran juga kalau kemudian aku menjadi salah satu lulusan terbaik dari jurusan fotografi tempat kuliahku dan diterima bekerja tanpa hambatan berarti di majalah favoritku.

Tapi kalau kau pikir lalu cita-citaku langsung tercapai, kau salah besar.  Sebagai orang baru, aku harus rela menjadi semacam budak bagi fotografer-fotografer senior di sana.  Tidak ada kesempatan bagiku untuk menampilkan hasil karyaku sendiri.

Akhirnya setelah empat tahun, aku benar-benar diberi tugas untuk menjelajahi satu wilayah dan mengabadikannya dengan foto.  Di kepalaku sudah terbayang kota-kota yang akan kudatangi.  New York, mungkin?  Atau Tokyo?  Paris?  Yang terakhir itu terdengar cocok sekali untukku.  Sophisticated.

Tapi apa yang selanjutnya kudapatkan?  Kota antah berantah yang bahkan belum pernah kudengar namanya.  Bergen.  Yakin itu nama kota?  Bukan semacam tempat pembuangan orang-orang jenius yang tidak diapresiasi?

Aku curiga pemimpin redaksiku sengaja memilih kota ini untukku.  Lihat saja.  Aku sudah hampir tiga hari di kota ini dan tidak satu haripun disinari matahari.  Kota ini seperti magnet bagi mendung.  Segalanya terasa dan terlihat kelabu.  Cocok sekali sebagai latar episode paling tidak beruntung dalam hidupku.  Apa yang mereka harapkan bisa kuabadikan dari kota sekelam ini, hah?

Aku baru saja mulai memikirkan cara-cara untuk membalas dendam pada pemimpin redaksiku ketika satu tubrukan keras menghantam punggungku dari belakang.

“Oi!  Pakai mata kalau jalan!”

Hardikanku ternyata dihadapkan pada sebuah wajah kerdil dari seorang anak lelaki cebol, yang kini melongo memandangiku.  Aku hendak kembali meneriakinya saat ia mendadak tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

“Paman, kenapa diam saja di sini?” tangan kecilnya mendadak mencengkeram lengan bajuku, menarik-nariknya.  “Tidak lihat ya hujan akan datang?  Ayo pergi!”

Dan tahu-tahu ia sudah menyeretku berlari bersamanya, entah ke mana.  Berteduh dari hujan?  Yang benar saja, bahkan setitik gerimis pun tidak tampak.  Lagipula, kenapa aku harus ikut segala?

“Oi, bocah, berhenti!  Lihat baik-baik, tidak ada hujan.”

“Ada kok, Paman!” Ia menjawab seraya tertawa.  “Sebentar lagi hujannya datang, percayalah padaku!”

Aku mendengus mengejek.  “Bagaimana kau bisa tahu hujan akan turun?  Dan jangan panggil aku paman, aku belum setua it—“

“Lihat, lihat!  Lihat, Paman!  Hujan datang!”

Bocah itu berhenti mendadak, menunjuk langit seraya melonjak-lonjak.  Aku mendongak, dan kurasakan setetes air membasahi wajahku.  Perlahan, tetesan itu berubah menjadi gerimis, lalu menjelma menjadi hujan masif.  Cih.  Baju baruku jadi basah, sialan.  Anehnya, bocah itu justru tertawa riang, begitu senang, dan kembali menarik lenganku.  Kali ini lebih bersikeras.

“Ayo, ayo, cepat, Paman!  Nanti pelanginya keburu pergi!”

“Sudah kubilang jangan panggil aku Paman!” Jawabku ketus, mulai kesal.  “Lagipula, belum tentu akan ada pelangi setelah hujan ini red—“

“Lihat, lihat!  Lihat, Paman!  Pelangi datang!”

Bocah ini peramal atau bagaimana?  Jauh di depan sana, sebuah pelangi besar melengkung—hujan mereda.  Sudah lama aku tidak melihat pelangi sebesar dan sejelas itu, dan aku sudah hendak merogoh tas kameraku ketika aku sadar tindakanku itu akan terlihat kelewat kekanakan.  Terpesona pada pelangi?  Bah.

“Nah, kau sudah dapat pelangimu kan, bocah?  Kalau begitu biarkan aku perg—“

Sayang sekali aku tidak seanarki itu untuk menghajar bocah yang sepertinya hanya beberapa tahun di atas balita itu untuk mau melepaskanku.  Ia kembali menyeretku berlari bersama langkah-langkahnya yang kecil.  Apa lagi selanjutnya?  Aurora?  Bintang jatuh?

Dan ada yang janggal dari bocah ini.  Ya, ya, aku tahu anak-anak cenderung menyukai hujan.  Tapi yang satu ini tampak lebih dari sekedar suka.  Seolah ia menganggap hujan sama dengan Sinterklas, dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda.  Terkubur di dekat pelangi atau semacamnya.  Caranya menyebut hujan dan pelangi bahkan terdengar seolah mereka adalah kawannya, yang biasa singgah dan kemudian pulang.  Kota yang kelabu rupanya berefek menjadikan penduduknya aneh.

“Kita sampai, Paman!”  

Bocah itu sekali lagi berhenti, kali ini mendatangi sebuah pohon besar.  Ia berjongkok di antara dua akar besarnya yang menonjol, dan mulai menggali dengan tangan kosong.  Kelewat bersemangat.

“Kau sedang apa?”

Ia tersenyum semakin lebar,  menarikku untuk ikut berjongkok, lalu mengarahkan pandanganku pada pelangi besar itu dengan telunjuknya.

“Paman tidak tahu, ya?  Ujung pelangi kan tempat yang ajaib!”

Pantas saja.  Jika dilihat dari jauh, ujung pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini.  Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya benar—meski sedikit melenceng.

“Kalau kita menulis surat dan memasukkannya ke dalam botol kaca lalu menguburnya di ujung pelangi, pelangi akan menguraikan kata-katanya menjadi warna-warna mereka dan mengantarkannya pada malaikat di langit!”  Ia melanjutkan, masih asik menggali, sesekali memamerkan senyum selebar wajahnya padaku.  “Lalu para malaikat akan mengabulkan permintaan yang kita tulis di surat!”

Sekali lagi, aku mendengus diiringi senyum mengejek.  Aku bukan pecinta mitos.  “Dan bagaimana kau tahu permintaanmu dikabulkan?”

Senyumnya benar-benar lebar kini, wajahnya jadi terlihat seolah terbelah.  “Kalau permintaan kita dikabulkan, malaikat akan memberi tanda dengan memunculkan satu warna baru pada pelangi!”

Astaga.  Orangtua bocah ini terlalu berlebihan mengarang dongeng bagi anaknya.  Malang sekali kau, nak, dibodohi sejak usia sedini ini.  Tanganku bergerak menepuk-nepuk kepalanya bersimpati, ketidakpercayaan tampak jelas pada ekspresiku, dan bocah itu segera merengut.

“Paman tidak percaya padaku, ya?  Ya kan?”

Well,” sahutku seraya mengangkat bahu, “pelangi itu hanya biasan dari cahaya dan tetes air, kiddo, bukan kurir pengantar surat atau semacamnya, jadi—“

“Tidak, Paman salah!”  Bocah ini harus belajar untuk tidak memotong perkataanku setiap lima menit sekali.  “Paman bodoh!”  Apa-apaan.  “Paman payah!”

Okay, that’s it.

“Berisik!” Aku bangkit berdiri, habis kesabaran.  “Terserah!  Suatu saat kau akan paham bahwa yang bodoh itu kau, bukan aku!”  Aku berbalik dan bersiap pergi, menoleh untuk terakhir kali untuk menambahkan, “Dan jangan panggil aku Paman!”

Lihat siapa yang bersikap kekanakan sekarang.  Tapi aku tak peduli.  Suasana hatiku sedang buruk dan aku tidak mau memperparahnya dengan meladeni bocah aneh pecinta hujan dan pelangi.  Sial, aku bahkan belum menghasilkan satu foto pun hari ini.  Umpatan kulontarkan, dan aku bergegas pulang menuju rumah kecil yang disewakan untukku, berpikir sebaiknya aku beristirahat dan mencoba lagi besok.  Dan semoga aku tak perlu bertemu orang aneh lainnya.

Tapi sepertinya ketidakberuntunganku belum berakhir.  Gedoran gaduh terdengar dari jendela kamarku, memaksaku bangun.  Terlalu pagi.  Sialan.  Aku mati-matian menyeret kaki dan mataku yang masih diselimuti kantuk untuk membuka jendela, hanya untuk menemukan wajah kerdil itu lagi—tersenyum tanpa rasa bersalah.

“Mau apa ka—“

“Paman, kalau tidak cepat-cepat, nanti terlambat lho!”

Lagi-lagi aku tidak bisa melepaskan diri ketika tangan kecil itu menarikku keluar dari kamarku melalui jendela.  Aku merasa jadi korban penculikan.  Kupikir kali ini pun bocah itu akan membawaku melihat hujan, atau pelangi, atau semacamnyalah, tapi akhirnya kami duduk di salah satu meja pada teras sebuah kafe kecil, yang disebutnya memiliki menu sarapan paling enak sejagad raya.  Hah, kepercayaan konyol lainnya.

Aroma yang kemudian tercium dari hadapanku seketika menutup mulut sinisku.  Aku bukan orang yang menganggap sarapan itu penting, tapi potongan roti dan secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul itu entah bagaimana mampu membuat pengecualian.  Segera, kulahap keduanya seperti orang kelaparan.  Crap.  Bocah itu benar.

Dua tawa lepas terdengar.  Si bocah dan wanita setengah baya yang mengantarkan makanan itu tersenyum lebar menatapku menyantap dengan rakus, seolah sejak awal tahu akan reaksiku.

“Kalau ingin tambah, akan kuberi bonus gratis, nak.”

Wanita itu menepuk bahuku, mengiringinya dengan senyum hangat, yang tidak bisa tidak kubalas.  Seraya menghabiskan sarapan pertamaku setelah bertahun-tahun itu, aku mengamati sekelilingku.  Bocah di hadapanku, wanita pemilik kafe itu, dan wajah-wajah lainnya.  Kusadari satu hal.  Seberapapun seringnya mendung memayungi kota ini, penduduknya tidak pernah tampak muram.  Sebaliknya, mereka memiliki wajah-wajah sesejuk pagi, dan senyum-senyum secerah matahari.

Damn.  Aku mulai berubah menjadi melankolis.

“Bocah, apa tadi yang kau bilang tentang terlambat?” tanyaku, mengalihkan pandang kembali ke mejaku sendiri.  Bocah itu mendongak, menghadiahiku senyum lebarnya yang mulai familiar di mataku.

“Hujan akan turun sebentar lagi!”

Bocah ini bisa membuat bangkrut badan meteorologi.  Tidak lama setelah kami menghabiskan sarapan kami masing-masing, gerimis turun, pelangi muncul kemudian, dan tidak jauh berbeda dengan kemarin, langkah cepat kami berakhir di bawah sebuah pohon besar.  Perut kenyang sepertinya memang berpengaruh pada suasana hati, jadi kali ini aku tidak banyak omel, meski aku tetap tidak sudi turut mengotori tanganku untuk membantu bocah itu menggali.  Aku hanya berjongkok di sampingnya, sementara ia sibuk dengan agendanya sendiri.

“Kenapa kau harus mencari pelangi lagi hari ini?”  tanyaku sambil lalu, “Memangnya permintaanmu yang kemarin tidak dikabulkan?”

“Aku tidak melihat ada warna baru.  Pasti ada permintaan lain yang lebih penting dariku untuk dikabulkan kemarin.” Jawabnya, tanpa nada sedih ataupun kecewa, seraya menguburkan botol kacanya kembali dengan tanah.  “Tapi kali ini mungkin saja giliranku!”

Senyum simpul muncul di wajahku.  Kuangkat tanganku untuk mengusap puncak kepalanya.  Dasar keras kepala.  Malaikat itu tidak ada.  Hanya manifestasi dari harapan-harapan tidak nyata manusia.  Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya segamblang itu.  Tidak ketika yang kuhadapi adalah sesosok yang bahkan tidak menyimpan dendam karena mengetahui permintaannya tidak dikabulkan demi orang lain yang ia pikir lebih membutuhkannya.

Jadi biar kuikuti saja permainannya.

Esok harinya, dan esok hari setelahnya, dan esok harinya kemudian, bocah itu selalu membangunkanku dengan gedoran di jendelaku, menyeretku berlari keluar bahkan sebelum kedua mataku benar-benar terbuka.  Aku jadi tidak perlu punya alarm.  

Dan tiap hari pula aku melihatnya mengejar pelangi, melumuri kedua tangannya dengan bulir-bulir tanah hitam demi mengubur permintaannya.  Dan jawabannya selalu sama.  Barangkali ada permintaan orang lain yang lebih penting untuk dikabulkan.  Barangkali hari ini adalah gilirannya.  Tapi bahkan setelah lebih dari satu minggu, ia tidak juga menemukan warna baru untuknya.  

Hari kesepuluh sejak pertama kali jendelaku digedor, aku telah lebih dulu bangun.  Aku bahkan telah berpakaian lengkap.  Kedua mata dan pikiranku sepenuhnya terjaga.  Senyum lebar kubuat di wajahku, siap menyombong bahwa aku bisa bangun sebelum ia tiba.

“Ha!  Hari ini aku bangun lebih dulu daripada—“

Bocah itu tidak ada.

Aneh.  Langit mendung seperti biasa, aku tidak akan kaget jika tak lama lagi hujan turun.  Tapi ke mana perginya pecinta hujan itu?  Ke mana perginya pengejar pelangi itu?

Berbekal secarik alamat dari pemilik kafe, kubawa langkahku pada sebuah rumah mungil di tepi kota.  Kuketuk pintunya tanpa ragu, dan sesosok wanita muda menyambutku.

“Permisi, madam, apakah aku bisa bertemu dengan…ngg…”

Aku baru sadar aku tidak mengetahui nama bocah itu.  Wanita itu tersenyum padaku, tampak letih, namun membukakan pintu lebih lebar untukku, mempersilakanku masuk, seolah tahu siapa yang kumaksud.  Ia mengantarku ke depan pintu kamar anaknya di lantai dua.  Kuputar kenopnya, mengayunkan daun pintunya terbuka.  Bocah itu ada di sana, berbaring di tempat tidurnya, memunggungiku.  Selimut menutupi hingga lehernya.

“Hei,” aku berjongkok di sisi tempat tidurnya, “kau tidak membangunkanku pagi ini.”

Terlalu gengsi untuk bertanya apakah ia baik-baik saja.

“Karena hujan tidak akan datang.”

“Hah?”

“Hujan tidak akan datang.”

“Kau bercanda.”  Aku terbahak, menepuk-nepuk kepalanya.  “Hujan selalu datang.  Tiap hari.  Bukankah kau sendiri yang bilang—“

“Hujan tidak akan datang!”

Ia mendadak bangkit duduk, menyibakkan selimutnya dan berbalik menghadapiku.  Wajahnya memerah.  Bukan karena marah.  Lebih karena gusar—atau takut.  Aku tidak tahu.

“Hujan tidak akan datang!  Dan tidak akan ada pelangi!  Dan tidak akan ada warna baru!”  Ia menjerit, berteriak keras tepat di wajahku.  Ia seolah menggunakan seluruh udara yang ada di paru-parunya dan mengiris pita suaranya sendiri dengan kalimatnya yang berikutnya.  “Dan permintaanku tidak akan pernah dikabulkan!”

Aku membeku.  Terlalu kaget untuk merespon.  Kedua mata bocah itu mulai disaputi air mata, dan detik berikutnya ia sudah membenamkan wajahnya kembali ke bantalnya, memunggungiku lagi.  Kurasakan tepukan di pundakku—ibunya.  Ia memberi isyarat untuk mengikutinya keluar dari kamar.  Kami berdua duduk di meja makan kemudian, saling berhadapan.  Dengan secangkir teh hangat disertai ucapan maaf atas sikap anaknya padaku.  

“Tidak apa-apa.”  Sahutku tidak enak hati, meski aku sebetulnya merasa perlu penjelasan.  Selama lebih dari seminggu bocah itu memaksaku bangun dan menyeret-nyeretku mengejar pelangi, sekarang mendadak ia berkata hujan tidak akan datang?  Konyol.

“Saya harap Anda bisa memakluminya.”  Wanita itu mulai bicara lagi, keletihan tampak lebih kentara di balik senyumnya kini.  “Ia begitu percaya pada kisah itu, dan ia begitu ingin sembuh, karenanya...”

“Maaf—apa?”  ada yang terdengar janggal di sini.  “Sembuh?  Sembuh dari apa?”

Wanita itu sejenak tampak tersentak, menyadari sesuatu, hingga ia melepaskan sebuah desah berat.  Ia tampak jauh lebih lelah dari sebelumnya.

“Ia tidak pernah menceritakannya, saya kira.”  Ia menyesap tehnya dengan tangan gemetar, sebelum melanjutkan kata-katanya.  “Ia menderita kanker.  Dokter berkata ia hanya punya waktu beberapa minggu, atau bulan, jika beruntung.  Sejak saat itu, ia selalu berusaha mengejar pelangi.”

Aku merasakan hantaman asing di perutku.  Tenggorokanku tercekat.  Napasku seolah tertahan.  Tiap kata itu terlalu mengejutkan untuk kucerna.  Terlalu tidak masuk akal.  Bocah itu sekarat—itu tidak mungkin.  Bocah yang selalu tersenyum itu, yang tidak mengenal sedih itu.

“…Permisi.”

Aku melangkahkan kaki keluar.  Benang kusut menyesaki kepalaku.  Sialan.  Sialan.  Seharusnya aku tahu lebih cepat.  Seharusnya aku tidak membiarkannya kehujanan.  Seharusnya aku membantunya menggali agar ia tidak perlu berlama-lama di udara sedingin itu.  Seharusnya aku menanyakan apa permintaannya.

Dan, hujan benar-benar tidak datang.  

Tidak hari ini.  Tidak juga esoknya.  Tidak juga esoknya kemudian.  Dan aku mulai kehabisan kesabaranku—juga umpatan untuk kumuntahkan pada langit atau dewa atau malaikat apa pun yang bertugas mengatur hujan di atas sana.  Aku selalu berusaha menemui bocah itu, membujuknya untuk keluar, berkata kemungkinan hujan akan datang hari ini.  Tapi ia bergeming, kembali meneriakiku bahwa hujan tidak akan datang.  Dan ia benar, seperti biasanya.

Tapi ketiadaan hujan tidak membuatu segusar ketika kulihat betapa cepat perubahan fisik bocah itu.  Aku nyaris tidak mengenalinya lagi.  Wajahnya semakin tirus, tubuhnya tampak menciut hingga aku merasa bisa melihat garis-garis rusuk di bawah piyamanya.  Dan meski ia masih mampu menjerit padaku, bisa kurasakan tiap gerak dan suara yang dibuatnya menghabiskan banyak energi dari yang seharusnya, membuatnya kesakitan.  

Maka aku berhenti mendatanginya.  Menghabiskan sisa hariku dengan mengutuki langit, dan Tuhan, yang sebetulnya tidak kupercayai keberadaannya.  Tapi aku butuh seseorang—sesuatu—untuk kusalahkan, untuk kujadikan pelampiasan amarahku.  

Satu minggu lagi berlalu, dan tidak juga ada tanda-tanda hujan akan turun, segelap apa pun langit tampaknya.  Perlahan namun pasti, ketakutan itu merayapiku.  Ketakutan untuk mendengar yang terburuk.  Aku terlonjak tiap kali teleponku berdering, berharap itu bukanlah suara yang memberitahukan ketakutanku berubah nyata.
  
Ketika aku mulai merasa tidak sanggup menahan ketakutan itu tanpa kehilangan kewarasanku—hujan pun turun.

Aku ternganga, perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari tetes-tetes yang membasahi jendela di depan meja kerjaku bukanlah sekedar khayalanku, sebelum aku bangkit berdiri.  Kursiku terjatuh karena gerakku yang terlalu tiba-tiba, begitu juga dengan berkas-berkas kerja di atas mejaku, tapi aku tidak peduli.  Aku berlari, melawan hujan. 

Akhirnya.  Akhirnya.

Aku bahkan tidak mengucap salam ketika ibunya membukakan pintu, dan tergesa-gesa menaiki tangga.  Kubuka pintu kamarnya hingga menjeblak dengan keras.  Masa bodoh dengan tata krama.

“Bocah!  Ayo keluar, kalau tidak kau akan terlambat—“

Tidak ada.  Bocah itu tidak ada.  Tidak, jangan bilang bocah itu sudah…

“Ia sudah pergi,”

Aku berbalik, kedua tanganku mencengkeram bahu wanita itu, terlalu keras hingga ia mengernyit.  Ia menyadari kesalahannya, dan bergegas menyelesaikan kalimatnya.

“Ia sudah pergi mengejar pelanginya, sebelum Anda datang.”

Sialan.  Aku nyaris saja menangis.  Kuucapkan maaf dengan cepat, sebelum kembali berlari melewatinya, mempercepat lajuku.  Hujan telah reda, dan sebuah pelangi besar tampak di langit.  Begitu dekat.  Dan ia ada di sana.  Bocah itu ada di sana.  Di ujung pelangi itu.

“Bocah!”

Ia mendongak, terbelalak melihatku, tapi kemudian ia tersenyum.  Aku membalas senyumnya, begitu lega, sebelum kulihat tubuhnya mendadak limbung.  Kuulurkan lenganku untuk menangkapnya sebelum menghantam tanah.  Ia tampak begitu pucat.  Wajahnya dipenuhi peluh.  Lututnya terluka dan berdarah.  Kedua tangan dan kakinya kotor.  Ia terlihat sulit bernapas.  Tapi ia tersenyum.  Senyum lebarnya yang biasa.

“Bocah bodoh.” 

Ia terkekeh, “Paman, akhirnya permintaanku terkabul.”

Tangannya terangkat dengan susah payah, mengarah pada pelangi yang masih bertengger dengan kokoh di langit.  Mataku seketika terbelalak.  Samar, di bawah lengkung ungu, kulihat satu warna yang tidak pernah kutahu ada pada pelangi mana pun sebelumnya.  Warna yang tidak mampu kudefinisi.  Tak terkatakan.  Sebagaimana tak tersangkal.

“Kau benar,” pandanganku kembali pada wajah lugu bocah itu, tersenyum.  Senyum yang tidak pernah kupikir bisa kubuat.  “Permintaanmu terkabul.  Akhirnya.”

Ia membalas senyumku, dengan senyumnya yang paling lebar.  Sebelum terlelap, tanpa kehilangan kurva itu di parasnya.

Dan sejak itu, ia tidak pernah lagi membuka matanya.

Permintaannya tidak terkabul.  Tidak ada malaikat.  Tidak ada yang membaurkan kata-katanya dan membawanya ke langit.  Barangkali warna yang kulihat kali itupun hanyalah ilusi.  Itu semua hanya karangan.  Kebohongan.  Dan dengan bodohnya aku berharap hal itu bukanlah sekedar dongeng, untuk satu kali itu saja.

Masa tinggalku di kota itu sudah berakhir.  Dan tak satu pun foto berhasil kubuat.  Pemimpin redaksi akan mencecarku, paling buruk memecatku.  Tapi aku sudah mati rasa.  Aku mengosongkan lemari dan kamarku, dibantu wanita pemilik kafe yang membawakanku sarapan.  Ia selalu mengunjungiku tiap pagi sejak kepergiannya, tidak satu kalipun percaya pada perkataan bahwa aku baik-baik saja.  Akhirnya aku menyerah, membiarkannya.  Aku sudah malas berdebat.  Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk menghibur diriku sendiri.

Desah berat kusuarakan, mengakibatkan satu lagi tanya “Kau baik-baik saja?” dilontarkan padaku.  Aku menggeleng tidak meyakinkan, dan aku memutuskan untuk pergi ke luar, beralasan ingin memotret sesuatu sebelum pergi, hanya agar aku tidak perlu berhadapan dengan wajah cemasnya.  

Langit cerah.  Biru.  Terang.  Tanpa satu pun helai awan.  Tidak ada ancaman mendung.  Aku tersenyum, menertawai ironi itu, mengejek diriku.  

Tanpa sadar, langkahku terhenti di bawah satu pohon besar.  Satu tempat yang selalu kuhindari setelah hari itu.  Aku bukan orang hebat.  Aku hanya manusia kecil yang tidak berdaya melawan kuasa yang sudah diguratkan atas setiap insan.  Aku bahkan tidak berdaya melawan kesedihan yang menyeretku tenggelam terlalu dalam. 

Tapi kurasa, pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal.

Aku berjongkok, menyentuh gundukan tanah yang masih baru itu.  Perlahan, tanganku mulai menggali.  Semakin dalam.  Kuacuhkan tanah yang melaburi telapak tanganku, menyusupi kuku-kukuku.  Aku dikuasai dorongan kuat untuk menemukan botol kaca itu.  Yang menyimpan permintaan terakhir bocah itu.  Satu-satunya yang kuanggap tersisa untuk mewakili keberadaannya.  

Ujung jariku menyentuh sesuatu yang keras, dan aku tahu aku berhasil menemukannya.  Kutarik botol kaca itu dari benamannya, mencabut penutupnya.  Aku sudah tahu.  Aku sudah tahu apa permintaan bocah itu.  Yang tersia-sia.  Tak mampu bahkan sekedar menangguhkan kepergiannya barang sehari.  Tapi biarkan aku membacanya sendiri.  Biarkan aku merasakan hantaman sakitnya sekaligus sebelum benar-benar merelakannya.  Kubuka gulungan kertas kecil di dalamnya, membaca coretan yang tertera di atasnya:


“Malaikat yang baik, aku tahu ini bukan permintaanku yang pertama dan barangkali kau sudah bosan membaca tulisanku.  Aku juga tahu ada permintaan lain yang penting, tapi kumohon, kumohon, kumohon, kumohon, kumohon, tolong kabulkan permintaanku kali ini. 
Aku ingin melihat Paman tersenyum.  Ia agak bodoh dan payah, tapi ia baik hati.  Ia cuma tidak tahu cara tersenyum.  Jadi bisakah kau beri ia lebih banyak alasan untuk tersenyum?
Please?  Aku berjanji tidak akan pernah meminta apa pun lagi setelah ini.  Toh, sebentar lagi aku akan bertemu langsung denganmu, kan?  Tolong ya, malaikat.
Salam sayang,
Frey.

PS.  Oh ya, dan tolong buat ia bangun lebih pagi, ya.  Pastikan Paman sarapan, ia gampang marah kalau belum makan.”


Tanganku bergetar, dan kurasakan tetes-tetes mengaliri pipiku.  Aku menengadah.  Hujan turun.  Langit berlabur kelabunya yang biasa.  Tulisan dalam genggamanku sebagian pudar ditelan rinainya, tapi tidak terhapus dari pikiranku.  Aku mengingatnya.  Aku akan mengingatnya.

Kubiarkan wajahku diterpa, kubiarkan seluruh tubuhku basah, menghanyutkan gumpalan besar yang sudah berhari-hari mencekikku dari dalam, melumpuhkanku.  Bersamaan dengan tetesnya yang terakhir, dan langit kembali membuka, aku dapat merasakan kedua kakiku lagi.

Dan pelangi itu ada di sana.  Lebih besar dan lebih indah dari yang pernah kulihat sebelumnya.  Warna-warnanya merekah terang, tapi tidak ada yang semempesona warna barunya.  Warna kedelapan itu.

Kupandangi warna itu.  Tersenyum.


Bocah, permintaanmu terkabul.


Dan warnamu telah kubingkai abadi, dalam potret dan dinding kenanganku.



Malang, 21 April 2012
00:41

A/N: Published in Antologi Cerpen Kota Cerita.

Friday, April 06, 2012

Orion


Dulu, aku kesulitan memberi jawaban ketika seseorang menanyakan apa arti ‘rumah’ bagiku.

Ketika itu aku hanya seorang yang terlalu belia dan dibuai segala naïf dan keegoisan.  Tak penting bagaimana sesuatu bermakna.  Seperti juga ‘rumah’, yang kala itu hanya sebatas sebuah objek penunjuk tempat tinggal.  Kata umum yang familiar didengar.  Tak harus ada arti terlebih filosofi lebih dalam tentangnya—pikirku saat itu.

Namun aku baru benar-benar memahami maksud dari pertanyaan itu, dan bagaimana menjawabnya, ketika aku mengangkat langkah meninggalkan ‘rumah’, menuju satu tempat yang jauh untuk kutinggali demi pendidikan dan selanjutnya karir, dua hal yang saat itu kuanggap sebagai alasan yang tak terbantahkan untuk dijadikan prioritas di atas apa pun.  Termasuk ‘rumah’ku.  Kota kelahiranku.

Tempatku mengistirahatkan raga yang lelah, menjernihkan pikir yang keruh, melabuhkan keluh.  Bahkan tanpa rentet kata penghiburan panjang, segera kudapat kesembuhan atas segala kontaminasi dunia luar begitu kakiku melintasi ambang masuknya.  Tempatku pertama kali belajar cara melukis senyum, mencipta tawa, bahkan menggurat sedih.  Tempatku membentuk apa yang kemudian menjadi identitasku, lebih dari sekedar pemuda yang hanya tahu dunia dari balik kacamata lugunya.  Tempatku menoreh kuasan-kuasan awal kenangan yang lalu tersimpan kokoh dalam dinding ingatanku, menjadi dasar dari segala diri yang kubawa dalam petualangan lebih panjang bernama hidup.

Jawaban-jawaban itulah yang membuatku tak mampu menahan antusiasmeku sedari awal aku membawa diriku naik ke dalam burung besi yang akan menerbangkanku kembali dari perantauanku di negara yang disebut adikuasa itu, kembali pada tempat yang memiliki asalku.

Satu kota kecil bernama Malang.  Tak senada dengan nama yang disandangnya, kota kelahiranku ini dianugerahi sejuta pesona.  Sulit kusebut celanya, dan sekedar indah tak cukup untuk menggambarkannya.  Jika ada satu kata dalam ranah berpuluh tingkat di atas indah, maka itulah yang akan kugunakan untuk menjabarkannya. 

Aku lahir dan besar di salah satu sudutnya, pada satu petak wilayah kecil di kaki gunung.  Pagi hariku biasa diawali dengan sinar matahari menyelinap membentuk garis-garis cahaya di lantai kamarku.  Siang tak pernah ternodai terik, awan dan angin senantiasa bersahabat dan menghadiahi sejuk sepanjang hari ketika kami beraktivitas.  Kawanan pepohonan, rendah dan tinggi, begitu ramai meneduhi.  Juga semak dan perdu, penghasil buah dan bunga, begitu dekat dan akrab seolah menjadi bagian dari penduduk kota.  Pada puncak-puncak palem yang menjejeri koridor jalan besar, sering kutemui burung-burung bersarang dan mengepakkan sayap berputar-putar di atasnya, bagai pertunjukan alam di mataku.

Senja memanjakan mata dengan hampar awan tipis disepuh jingga, ketika matahari yang berangkat ke peristirahatannya perlahan hilang disembunyikan gumpal-gumpal bagai kapas itu, menyusup di antara pertemuan gunung-gunung yang menyibak bagai tirai. 

Dan malam adalah waktu favoritku.  Sebagian besarnya kuhabiskan dengan membawa kaki-kakiku mendaki, berlari, dengan napas terengah tersembunyi desah riang, menuju apa yang aku—kami—sebut dengan Bukit Bintang. 

Dari landaian dekat puncak beralas rerumputan rendah yang menggelitik lembut kaki-kakiku yang telanjang, hanya butuh satu tengadah kecil hingga pemandangan itu tertangkap penglihatan.  Kerlip tak terhitung menitiki pekat langit, cemerlang menyinari gelap malam.  Memencar, terkadang bergerombol, seolah di atas sana terdapat helai dunia lain dengan bintang-bintang itu sebagai penghuninya, berlomba-lomba mempercantik malam.  Aku biasa mencipta nama bagi tiap koloni bintang baru yang mampu kukenali.  Aku bahkan membuat peta langitku sendiri, dengan konstelasi-konstelasi itu sebagai pulau dan labur langit sebagai samuderanya.

Aku tidak sendiri—biasanya.  Seorang gadis kecil seringkali ada di sana bersamaku, mendatangiku dengan langkah kekanakannya yang limbung, menanyaiku tanpa lelah tentang tiap keredap yang dilihatnya dengan celotehnya yang belum sempurna, ikut tertawa meski tidak paham pada kisah lelucon yang kukarang dengan kelap-kelip itu sebagai lakonnya.  Ia tinggal dengan seorang nenek dalam satu rumah mungil tak jauh dari sana, tempatku biasa singgah untuk sekedar secangkir teh hangat sembari menikmati sudut lain pemandangan itu dari beranda mereka, ditemani keramahan keduanya.

Ya, keramahan.  Barangkali itulah yang kurindukan akan kotaku melebihi segala vistanya.  Satu hal yang tidak sepenuhnya dapat kutemui di negara yang berikutnya kusebut tempat tinggal. 

Bukan berarti wajah-wajah yang kudapati di sana semerta-merta dingin dan enggan membuka lengan menyambut.  Mereka toleran, mereka berhati lapang, mereka tahu cara menghormati seseorang sekalipun yang bukan berasal dari golongan sama.  Kudapatkan kawan di sana, kurasakan pula senang dan nyaman di sana—namun tak mampu kubuat setara dengan kotaku.  Rumahku.

Maka jangan heran jika melihatku begitu bersemangat untuk segera melihatnya kembali.  Tenang adalah perangaiku yang biasa, tapi hari ini aku merasa bagai bocah yang melonjak tak sabar untuk melihat mainan yang sudah lama diinginkannya.  Bandara telah kucapai, dan kupanggil taksi untuk mengantarku melintasi Kota Pahlawan, menuju kotaku.  Perjalanan pulangku melewati langit menghabiskan waktu panjang dan melelahkan, maka aku pun segera terlelap tak lama setelah kututup pintu dan kusebut destinasi pada pengemudi. 

Biarlah.  Biar kujadikan ini bagai hadiah kejutan bagi diriku sendiri.  Agar ketika kuizinkan lagi mataku membuka, yang pertama kulihat adalah keelokan yang kurindui.  Kubebaskan kesadaranku pada alam mimpi, senyum tersampir di wajahku.  Hanya beberapa putaran jam hingga aku akhirnya sampai.  Pulang.

Tapi seperti yang telah lama kupelajari sejak lama, kejutan tak selalu menyenangkan.

Aku terperengah dengan apa yang kulihat melalui bingkai jendela.  Kilasan-kilasan yang kutangkap sembari bergerak bersama kendaraan yang kutumpangi tak seperti yang kujanjikan pada diriku sendiri sebagai hadiah—kejutan.  Kata asing dengan huruf-huruf besar terpeta dalam pikiranku. 

Kawanan pepohonan dan perdu yang dulu begitu mudah kutemui tak ada lagi, digantikan batang-batang beton dalam rangka bangunan.  Hanya sekelompok kecil pohon yang bisa kulihat tersisip di antara rimba dinding buatan tangan-tangan manusia, seolah artifisial adalah yang utama di atas yang alami.  Burung-burung yang dulu menghias langit di antara pepohonan hilang sudah, entah tak lagi betah atau terusir.  Meski aku berada dalam perlindungan tubuh mobil, bisa kulihat terik menerpa dataran di luar sana, sesuatu yang dulu tak perlu kutemui dengan segala sejuk nyaris menggigilkan. 

Tak jauh berbeda dengan kota lain yang kutinggali.  Perkembangan zaman dan inovasi yang dihasilkannya merubah wajah kota, perlahan-lahan mengikis paras yang menganyam identitasnya.  Seharusnya aku tidak seterkejut itu.  Modernisasi jelas menyebarkan jejaknya begitu luas, membawa segala yang disebut kemudahan-kemdahan yang meningkatkan kesejateraan penghuninya—bukankah itu berarti kotaku telah maju dan berkembang?

Meski dengan pikiran positif itu, tak sepenuhnya aku mampu membujuk diriku untuk menghilangkan kecewa. 

Perlahan, kuajari benakku untuk mengobati diri dengan memfokuskan pada sisa-sisa keindahan yang masih kuingat.  Aku lega beberapa bangunan peninggalan masa lampau masih berdiri tegak di tempatnya, di antara palem-palem tinggi yang juga bertahan.  Semakin jauh menjauhi pusat kota, semakin mudah bagiku menyembuhkan kecewaku.  Bulir hijau makin banyak kutemui, dingin udara sayup-sayup bisa kusentuh kembali.

Muka pintu hanya tinggal hitungan langkah dariku.  Kuucap salam dan menghampiri pagar, hingga kusadari aku tak dapat membukanya.  Terkunci.  Dan tak ada jawab untuk salamku.  Barangkali seharusnya aku menghubungi keluargaku terlebih dahulu.  Kejutan kedua yang gagal hari ini.

Kutekan angka-angka dan kutinggalkan pesan, sebelum kuangkat kembali ransel ke salah satu bahuku, menyeret langkahku menjauh, mendaki.  Aku tak lagi berlari.  Tak juga riang.  Pun berharap apa-apa.  Bersiap menerima seberapapun perubahan yang akan kutemui berikutnya.

Tidak.  Bukit Bintangku tak lenyap.  Rerumputan masih menjadi permadani yang menutupi tanah lembutnya.  Angin yang kusukai masih setia berhembus, meski tak banyak lagi bisik di antara dedaunan yang bisa kudengar.  Kujatuhkan beban di bahuku, menghempaskan tubuhku, berbaring telentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala, menatapi biru yang menaungiku.  Memandanginya berubah warna seiring waktu yang berlalu.  Perlahan pudar dalam jingga, memerah hingga menelan segala pemandangan bersamanya, sampai semburat malam menyeka sisa hari. 

Tak ada yang berubah, kecuali dongak bukanlah gerak yang benar jika ingin mencari kumpulan kerlip itu.  Lirik ke bawah, di sanalah noktah-noktah yang lebih terang berada.  Dari bohlam-bohlam yang menghiasi bidang-bidang dinding kaku dan menerobos ke luar kisi-kisi jendela kacanya.  Beragam warna, dari remang kekuningan hingga putih terang.  Cantik, harus kuakui.  Gemerlap yang paling mendekati bintang di antara hiruk pikuk kota.  Tapi kalau boleh memilih, dan jika bisa kuwujudkan semudah menjentikkan jari, aku lebih suka melihat lautan bintang di atas sana.

Aku mendesah, berat, dan kuangkat tubuhku untuk duduk.  Barangkali aku harus berhenti mengeluh.  Berhenti membiarkan diriku diselubungi kecewa yan berlarut-larut.  Toh kotaku bukannya lenyap sama sekali, bukannya secara keseluruhan melepas wajahnya dan menyerahkannya pada peradaban untuk merombaknya.  Nuansa damainya masih terjaga, kesan seolah waktu berjalan lambat masih tersisa, ketenangan yang menyambangi udara masih kentara.  Hijau, coklat, dan warna-warni bunga masih memiliki tempatnya.  Kotak masih indah—kucoba meyakinkan diriku.  Tapi…

“Oh,”

Satu suara dalam nada terkejut terdengar dari balik punggungku.  Dengan satu tolehan, kulihat pemilik suara itu—yang kemudian juga membuatku terkejut. 

“Mas Lintang?  Mas Lintang, kan?”
 
Aku memang tidak mengenali suaranya.  Tapi aku mengenali senyumnya, yang kini melengkung dalam, ditujukan untukku.  Tak terhitung kali sudah kulihat senyum itu, menemaniku menelusuri sudut-sudut langit untuk menemukan bintang baru.  Kini hadir lagi di hadapanku, tanpa langkah tertatih dan irama kekanakan, meski dengan rasa penasaran yang sama.

Segera aku diberondong pertanyaan-pertanyaan, mulai dari ke mana saja aku pergi selama ini, apa yang kukerjakan selama itu, hingga kapan tiba.  Tiap kalimatnya diucapkan dengan gembira, disertai nada rindu—kalau aku boleh sedikit tinggi hati.  Dengan mudah aku menuruti ajakannya dan mengikuti langkah-langkahnya menuju rumah mungilnya, yang masih dengan anggun menghiasi landai bukit itu.

Diceritakannya segala kisah yang terjadi dalam rentang kepergianku, sembari sibuk menyiapkan minuman di dapur kecilnya, meninggakanku duduk menungguinya di kursi ruang makan.  Nenek telah tiada.  Kabar yang sudah kuketahui, yang dulu menusuk ulu hatiku dengan kesedihan tak terkira ketika mendengarnya.  Namun ketika aku berada di sini, di antara dinding-dinding kayu berhias foto-foto berpigura dan lukisan sulam beraneka bentuk itu, entah bagaimana aku merasakan sesungguhnya ia tak benar-benar meninggalkan kami semua.  Seolah kehangatan kedua lengannya yang biasa memeluk menyambutku dapat dengan nyata kurasakan.

Kubawa pandanganku mengitari bagian lain ruangan, dan kulihat jejak-jejakku.  Gores pengukur tinggi badanku di salah satu kusen pintu, noda menghitam tempatku tanpa sengaja menjatuhkan batang kembang api yang kubawa untuk menyenangkan nenek dan gadis kecil itu, hingga larik-larik pensil warna hasil pekerjaan rumah menggambarku pada salah satu sudut dinding.  Mereka membiarkannya seperti itu.  Bahkan setelah aku pergi.

Seolah mempertahankan rona keberadaanku di sini.

“Silakan,”

Secangkir teh yang mengepulkan asap halus disodorkan padaku.  Gadis yang dulu hanya kusebut ‘dik’ itu kini duduk di hadapanku, menyesap kehangatan teh dari cangkirnya sendiri.  Seraya melanjutkan ceritanya, tak henti-hentinya ia tersenyum, mengulas senyum yang sama—barangkali lebih lebar—di wajahku.  Hingga setelah beberapa lama, ia beranjak bangkit dan kembali dengan membawa sebuah gulungan.  Lusuh, menguning, dan tepi-tepinya digerogoti usia.  Ketika dihamparkannya lembar itu di depanku, mataku pun terbelalak—kehilangan kata-kata.

Peta bintangku.  Peta bintang kami.  Coretan-coretannya sebagian telah mengabur oleh masa, tapi aku tahu carik kertas itu disimpan dengan baik.  Tak ada kusut, tak ada noda.  Titik-titik yang kutoreh mewakili tiap bintang terlihat jelas, sejelas kenangan yang tersimpan bersamanya.  Mataku lekat memandanginya, jariku bergerak menelesuri garis-garisnya.  Satu rasa membuncah dalam dadaku.  Yang tak bisa kuungkapkan dengan aksara.

“Mas Lintang, selamat datang kembali,”

Aku mendongak.  Dan senyum itu menyadarkanku. 

Wajah kotaku bisa saja berubah.  Pepohonan bisa saja tumbang digantikan dinding-dinding tinggi.  Bunga-bunga bisa saja redup digilas semak buatan.  Teduh bisa saja ditaklukkan panas akibat kerakusan akan teknologi. Bintang-bintang bisa saja layu dikalahkan benderang lampu kota. 

Tapi jiwa yang menghidupkannya tak pernah tergantikan.

Kehangatannya kuat menyelimuti, kemurahhatiannya lembut memayungi, keramahannya setia menjaga.  Kurasakan berat yang menggelayuti kepalaku terangkat begitu saja.  Penat yang menyesaki terburai lenyap.  Kecewa yang menggumpal menguap sirna.  Segala prasangka dan tuduh tersisih, digantikan kesadaran baru.

Bahwa bagaimanapun juga, kotaku tetaplah indah.  Tetap terlalu indah untuk dilukiskan dengan lisan.

Kutatap kedua bola mata itu, membiarkan diriku tenggelam dalam kelembutannya.  Kubalas senyumnya, dengan senyum paling lebar yang pernah kubuat setelah bertahun-tahun.

Akhirnya, aku pulang.


Malang, 4 April 2012
18:05

 A/N: Published in Antologi Cerpen Kota Cerita.