Tuesday, May 15, 2012

Soundless

Musik mereda.  Bunyi gerak berhenti.

Aku melangkah keluar dari tempatku dalam langkah hening, berjalan mendekati pintu ruang aula yang separuh tertutup itu  dengan sama perlahannya, berusaha tak membuat satu pun gemerisik pada jejakku.  Kuletakkan sekaleng jus buah persik itu di dekat sepasang sepatu di sana dengan hati-hati.  Mendadak, kurasakan wajahnya menoleh.  Aku terperanjat, dan cepat-cepat kutarik tanganku, segera berlari menjauh.  Aku berhasil menghilang dari pandangannya tepat sesaat sebelum ia mencapai tempatku semula berada. Hampir saja.

Aku mengintip dari balik dinding yang menyembunyikanku, melihatnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari, sebelum akhirnya berjongkok dan memungut kaleng itu.  Ia memandanginya sesaat, lalu tersenyum.  Rona kemerahan merekah di kedua pipiku, dan terus kuperhatikan ia hingga ia membuka kalengnya dan meneguknya, seraya memasang sepatunya, melangkah menjauh dari tempat itu, masih dengan peluh di wajahnya.

Lagi-lagi, hanya itulah yang bisa kulakukan.  Aku tak pernah punya keberanian untuk menyapanya secara langsung, terlebih bicara padanya.  Sudah begitu lama aku berhenti bergantung pada suara untuk berkata.  Sudah begitu lama aku lupa cara menganyam kalimat untuk menyampaikan maksud.  Aku terlalu takut akan penghakiman mereka jika aku membuat salah pada ucapku.  Sudah cukup segala hardik itu memecutku.  Sudah cukup segala lebam itu menandaiku.  Lebih aman bagiku bersembunyi di balik diam, karena cakap dan bincang hanya akan melukaiku.  Karena tiap vokalku hanya akan tersia-sia.

Tapi ia berbeda.  Ia mampu mengungkap bahkan tanpa kata.

Sore itu aku terburu-buru kembali ke sekolah, hendak mengambil partiturku yang tertinggal.  Hingga kusadari ada orang lain di sana, dan alun musik lain menyertainya.  Dan ketika kubawa pandanganku ke dalam, seketika aku terperangkap.  Terhisap pada keberadaannya. 

Tiap ayun tangannya seolah meniti nada, tiap langkahnya seolah berdansa dengan irama.  Tiap geraknya bercerita. 

Ia tak bicara.  Ia bahkan tak terlihat sadar akan sekelilingnya.  Ia bagai tenggelam dalam dunianya sendiri, yang hanya didiami musik dan geraknya.  Tapi di mataku, ia seolah berkisah.  Senang dan sedihnya kuketahui dari caranya menari menyahuti tiap denting nada yang melatarinya. 

Dan aku tak tahu bagaimana caraku mencapainya, maka kuletakkan sekaleng jus persik itu di sana sebagai pengganti semua yang tak mampu kuucapkan.  Awalnya kupikir ia akan mengacuhkannya, atau membuangnya, menganggap pemberian diam-diam adalah sesuatu yang memuakkan.  Tapi kemudian ia meraihnya, dan selalu tersenyum setelahnya.  Satu lagi hal yang membuatku tak bisa tak kembali tiap senja tiba.

Satu-satunya waktu kulihat ia menampilkan wajahnya yang seperti itu.  Begitu tenggelam dalam kesungguhannya ketika menari, dan begitu lembut ketika ia menyudahinya dengan meneguk sari manis itu untuk menghapus dahaganya.  Di lain waktu, ia hampir selalu terlihat bosan.  Ketika di kelas, ketika jam istirahat, terutama ketika segerombolan wajah itu berusaha mencari perhatiannya.  Mereka tak bisa disalahkan.  Ia memiliki aura keberadaan yang begitu kuat untuk dielakkan.  Sosoknya begitu kokoh menjulang.  Dan ia memiliki kepekaan pada bunyi—satu lagi kelebihannya yang kutahu dari bisik-bisik pengagumnya, yang membuatnya begitu leluasa menari, dan menjatuhkan lebih banyak sosok dalam pesonanya.

Tapi yang kupahami, ia tak peduli dengan segala perhatian itu.  Pandangannya hanya sepenuhnya terjaga ketika musik mulai berdetum dan ia mengangkat sendi-sendinya membentuk satu untai gerak untuk menyandinginya.  Terlebih beberapa waktu terakhir, ketika ia berlatih dengan lagu yang sama berulang-ulang.  Kudengar tak lama lagi ia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan cita-citanya, untuk menari di atas panggung yang lebih besar, di hadapan lebih banyak orang.  Dan sekali lagi, kuletakkan sekaleng jus persik itu untuk mewakili ucapan “selamat berjuang” yang terperangkap di dasar rongga pembunyiku.

Hingga kemudian kuketahui satu sisi lain darinya.

Langit sudah berlabur jingga, bel tanda akhir jam sekolah sudah lama berlalu.  Aku berjalan di antara batang-batang jangkung bunga matahari pada salah satu sudut di halaman belakang sekolah—tempat persembunyianku yang lain.  Aku sedang asik mengitari dan menyirami mereka seraya menikmati ketenangannya, ketika satu suara itu membuatku mendadak lupa cara bernapas.

“Wuah,”

Peganganku terlepas.  Air merembes keluar dari penyiram yang jatuh di depan kakiku.  Seluruh tubuhku kaku.  Pikiranku mati rasa.  Aku bahkan tak mampu memerintah kakiku untuk lari ketika suara itu mencapai sisiku, mengungkapkan kekaguman.  Ia membelai rekahan kekuningan itu dengan salah satu tangannya, dengan tangannya yang lain menenteng kaleng jus persik yang terbuka—yang kutinggalkan beberapa saat lalu.

“Kau yang merawatnya?”  tanyanya, menoleh padaku, masih dengan nada takjub.  “Keren.  Aku baru tahu bunga matahari bisa tumbuh sebesar ini.  Bahkan lebih tinggi darimu.  Aku sampai hampir tak melihatmu tadi.”

Ia menyuarakan tawa ringan.  Seandainya kepalaku tidak mendadak riuh dengan panik dan wajahku tak pias akan gugup, aku yakin aku bisa menikmati mendengar bunyi tawanya sepanjang hari tanpa bosan.  Ia berhenti ketika menyadari aku tak juga menyahut, bahkan tidak menatapnya, menundukkan wajahku dalam-dalam, mencengekeram ujung seragamku dengan tangan gemetar.  Sekali lagi ia tertawa, lebih lepas kini, dan tangannya tersodor di hadapanku.

“Park Jongin,” katanya, seraya tersenyum, “sekarang kau tak perlu takut karena mendadak diajak bicara oleh orang asing, kan?”

Aku masih saja tak tahu harus menjawab apa.  Aku bahkan tak dapat merasakan kedua tangan dan kakiku.  Pikiranku gaduh, saling berdebat bagaimana seharusnya aku menyahut, sementara mulutku bergerak terbata-bata tanpa suara.  Tangannya masih di depan mataku, menungguku menyambutnya.  Tapi aku tak bisa.  Kugigit bibirku, mengutuki diriku sendiri.  Ia pasti kesal.  Ia pasti menganggapkau aneh.  Kedua mataku mulai mengabur, dan sebulir air mata hampir menuruni pipiku, ketika kudengar ia terkekeh.

“Kau pemalu, ya,” ia mendaratkan tepukan halus di puncak kepalaku.  Ia membungkuk untuk mengambil penyiram yang kujatuhkan, dan mengembalikannya padaku. “Sebaiknya kau segera pulang, sudah hampir malam.”  Ia menyimpul satu senyum lagi, tanpa kernyit kesal di sana, seraya melambaikan tangannya, beranjak menjauh.  “Sampai ketemu lagi—“ Matanya mengerling sematan huruf di dadaku sebelum melanjutkan, “—Moon Sora-ssi,”

Rasa panas seketika menjalari kedua pipiku.  Golak yang tak pernah kukenal sebelumnya bergerak dalam perutku.  Sudah begitu lama aku tidak mendengar namaku disebut, dan kini suaranya yang dalam itulah yang melantunkannya.  Ketika akhirnya kudongakkan wajah, punggungnya sudah menjauh.  Penyesalan besar segera menderaku.  Kupukul-pukul sisi kepalaku, memarahi diriku sendiri dengan omelan tanpa suara.  Bodoh kau, Sora, bodoh.  Ia sudah berada begitu dekat, begitu dekat, dan tetap tak satu kata pun bisa kuucapkan. 

Tapi sekali lagi, ketidakmampuan dan ketakutanku lebih kuat membenamkan keinginanku, membuatku terus berteman dengan bungkam. 

Maka kubiarkan segalanya tetap tersimpan di balik kaleng-kaleng jus persik itu, esok sorenya, dan banyak sore setelahnya kemudian.  Beberapa kali aku sempat tanpa sengaja bertemu pandang dengannya di halaman sekolah, tapi aku segera menunduk dan memalingkan langkahku menjauh.  Tiap kali ia tampak mengenaliku, aku akan mengubah arahku bahkan sebelum ia sempat membuka mulut menyebut namaku. 

Rasanya menyakitkan.  Rasanya menyesakkan.  Hanya bisa bersembunyi dalam diam yang kugantikan dengan pemberian-pemberian tanpa nama itu.  Tiap kali aku hendak memberanikan lidahku mengukir kata, ketakutan itu kembali menghantuiku.  Kenangan akan sanggah dan hantam yang mengikuti ketika aku berusaha bicara mencengkeramku.

Aku mendesah berat.  Aku lelah.  Aku butuh sesuatu untuk meringankan gumpal kusut dalam kepalaku.  Maka ketika lonceng pertanda istirahat siang bergema, aku pun bergegas menuju aula, tempat piano besar itu berada.  Sebagaimana kutahu Jongin selalu melampiaskan segala yang dirasakannya tiap sore di ruangan itu, aku selalu melabuhkan diriku pada tuts-tuts itu ketika tak ada seorang pun di sana.

Mendengarkan dentingan yang mengalir keluar ketika kuayunkan jemariku membuat perasaanku kembali lapang.  Gemanya yang halus menenangkanku, dan aku memejamkan mata menikmati jernih yang dibawa irama itu ke dalam pikiranku.

“Oh, di sini kau rupanya,”

Aku tercekat.  Kedua mataku mendadak terbelalak membuka.  Sebelum aku sempat membuat satu pun gerak, tubuhku telah ditarik berdiri pada kerahku.  Punggungku terhempas pada sisi piano, dan aku tersedak ketika cengkeraman itu menyudutkanku.  Di hadapanku, wajah-wajah itu menyeringai mengelilingiku, memerangkapku. Tak ada belas kasihan di sana.  Tak pernah sekalipun.

“Sora-ya, mana uang yang kau janjikan?”

Suara itu keji, menusuk pendengaranku.  Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.  Aku tak memilikinya.  Dan aku mengernyit perih ketika tubuhku sekali lagi dibenturkan, diikuti bentak keras.  Aku tahu.  Aku terlalu tahu.  Bahkan sekalipun aku memilikinya, mereka akan tetap menyakitiku.  Sekalipun bukan uanglah yang mereka ingin rampas dariku, mereka akan tetap melukaiku. 

Jambakan keras kurasakan, wajahku dipaksa menengadah, menatap langsung nyalang di matanya.  Ia membentuk senyum ejek, mengernyit jijik memandangku.  Di mata mereka, aku tak lebih dari seorang yang janggal.  Aneh.  Karenanya boleh diperlakukan sesuka mereka.  Dan seperti yang sudah mereka pahami, aku tak pernah melawan.

“Kau memuakkan,”

Tangannya terangkat tinggi, terarah langsung ke wajahku.  Kedua tanganku ditambatkan oleh pegangan yang menyakitkan di sisi tubuhku.    Kupejamkan mataku, bersiap menghadapi rasa sakit itu mencapaiku.  Tak ada jalan bagiku untuk lari.  Dan tak ada suara bagiku untuk meminta mereka berhenti.

“Apa yang kalian lakukan?!”

Suara itu menggelegar memenuhi udara, membuat hening mendadak turun memenuhi ruangan, menghentikan segala gerak.  Pedih itu tak sampai padaku.  Kubuka kembali kedua mataku dengan takut-takut, dan kulihat ia di sana.

Jongin.

Seolah mendengarku memanggilnya dalam kepalaku, ia bergegas dalam langkah cepat menuju ke arahku.  Tangan-tangan yang semula memborgol dan mencekikku serta merta terlepas, dan mereka seketika mundur dariku.  Jongin menatapi mereka dengan pandangan marah, menuntut penjelasan, satu lengannya terentang menamengiku.  Sebagaimana mereka pandai memberiku alasan untuk membenarkan tiap maki dan dentam mereka di tubuhku, mereka pun segera merentet sanggahan—terbata-bata.  Jongin tak tampak senang dengan jawaban mereka, menghadiahi mereka dengan tatapan yang lebih garang dari sebelumnya.  Akhirnya, tanpa tahu apa lagi untuk dikatakan, mereka memutuskan lebih baik pergi dari sana, menjauh dari kilat mata Jongin yang seolah bisa melenyapkan mereka jika tak segera menyingkir.

Kurasakan kedua lututku lemas, dan aku jatuh terduduk.  Wajahku menunduk, napasku terengah.  Lega kurasakan, namun ada kegelisahan yang lebih besar menyusupinya.  Jongin merendahkan tubuhnya hingga berjongkok di hadapanku—dan aku refleks memalingkan wajahku.  Kudengar ia mendesah.  Ada sisa-sisa kemarahan menyertainya.  Tanpa mengindahkan tatapanku yang kubuang dengan gamblang darinya, ia meraih lenganku.

“Tanganmu terluka.”

Ia menyeka lecet itu dengan ujung lengan kemejanya, begitu perlahan.  Aku terus menunduk, membiarkannya membersihkan lukaku.  Aku tak seharusnya diperlakukan sebaik ini.  Tidak ketika aku selalu menunjukkan keengganan yang disengaja padanya, bahkan tanpa ia tahu alasan di baliknya.  Tapi, suara jujur dalam benakku mengungkap syukur atas kehadirannya kini di hadapanku. 

“Kau seharusnya melawan,”

Aku tersentak.  Suara itu dilumuri ketidaksenangan yang terlalu nyata untuk kuanggap khayalan.  Aku mendongak, dan kulihat pekat yang tak pernah kutahu sebelumnya dalam matanya.  Ia marah.  Kemarahan yang sama sekali tak sebanding dengan yang ditampakkannya pada mereka yang melukaiku.  Dan itu ditujukan lurus-lurus padaku.

“Kau seharusnya tidak mengalah begitu saja,” ia berkata lagi, nadanya dingin.  Tangannya masih mengusap lukaku, tapi tatapannya tajam, tak ada keramahan seperti yang ditunjukkannya sore itu, “kau tak akan mendapatkan apa pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”

Aku mengepalkan tanganku hingga jari-jariku memutih.  Kata-katanya menyakitiku jauh lebih perih ketimbang segala hantam yang pernah didaratkan padaku, menggoreskan luka lebih dalam daripada semua lebam yang pernah diukirkan padaku.  Sekalipun begitu, aku tetap tak mampu menyahutinya dengan apa pun.  Aku mendengarnya mendesah, dan menjauhkan pandangannya dariku.

“Kau masih juga tak mau bicara?”  ia memberi jeda, menungguku.  Dan ketika aku tak juga membuka suara, ia akhirnya kembali mengucap, dengan nada yang runcing menghujamku.  “Aku benci pengecut.”

Aku mendadak menepis pegangannya dari tanganku, menarik tubuhku menjauh darinya.  Aku mendongak, menatapnya dengan kedua mataku yang disaputi air mata.  Ia tampak terperanjat untuk sesaat, dan ketika ia hendak membuka mulutnya, aku bangkit berdiri.  Aku berlari.  Terus berlari.  Menjauh darinya.  Menjauh dari pegangannya.  Dari tatapannya.  Dari suaranya.  Dari segala hal tentangnya.

Jongin tak akan pernah paham.  Tak seorang pun akan pernah paham.  Mereka tak pernah tahu bagaimana suaraku telah dibunuh bahkan ketika aku masih begitu belia.  Bagaimana mereka mengatakan tak ada guna aku bicara.  Bagaimana mereka kemudian menganggapku tak ada, sebagaimana bagi mereka suaraku tak terdengar, seberapa pun aku menjerit meminta mereka berhenti saling maki, berhenti saling menyakiti, berhenti mengabaikanku…

Esok harinya, aku begitu enggan datang ke sekolah.  Langkahku gontai.  Mataku sembab.  Kepalaku berat.  Aku ingin terus berbaring di kamarku, berlindung di bawah selimutku, seolah dengan begitu aku terjauhkan dari segala yang hendak menyakitiku.  Tapi berada lebih lama di rumah tak berarti lebih aman bagiku, maka aku tak punya pilihan lain.  Aku hanya berharap tak perlu tanpa sengaja berpapasan dengan Jongin.  Aku tak akan tahu harus bersikap bagaimana.  Aku tak akan tahu cara membuat diriku bicara.  Dan luka besar itu masih terasa begitu segar dalam dadaku.

Namun ketika aku sampai di gerbang sekolah, ada sesuatu yang terasa berbeda.  Ada keriuhan yang tak biasa.  Banyak murid-murid berkeliaran di luar kelas, sebagian besar mengarah pada aula.  Kehebohan semacam itu hanya berarti satu hal: Pementasan.  Ketika beberapa murid menampilkan keahlian mereka di hadapan beberapa ahli di bidangnya, seringkali industri seni.  Jika beruntung, akan ada sebagian yang direkrut menjadi trainee, satu langkah awal menuju pementasan yang lebih besar.  Panggung di hadapan ribuan penonton, dengan lampu benderang yang menyorot, dengan tepuk dan puji digemuruhkan.

Dan Jongin adalah salah satu di antaranya.

Aku mendengar namanya dipanggil.  Ia tampak setenang biasa, meski selarik tipis kegugupan tampak pada matanya.  Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menunjukkan tekadnya yang tak tergoyahkan.  Aku tersenyum kecil.  Pedih masih kurasakan, tapi dalam diam aku mengucap semoga berhasil.  Kupalingkan wajahku dari panggung, hendak pergi dari ruang yang mulai sesak oleh penonton itu.  Aku sudah cukup banyak melihatnya menari.  Dan aku sudah lebih dari sekedar paham bagaimana kerasnya ia berlatih demi mencapainya.  Ia akan baik-baik saja.  Biar aku pergi untuk menenangkan diriku—

Ada yang tidak beres.  Langkahku dihentikan bisik-bisik resah, menyebar semakin luas menjadi gumam-guman gelisah.  Dan kenapa musiknya tidak segera dimainkan?  Aku kembali menoleh ke arah panggung.  Jongin berdiri di sana, berkali-kali menengok pada operator yang bertugas menjalankan lagu pengiringnya.  Tapi ia menjawab Jongin dengan gelengan lemah, pertanda menyerah.  Raut wajah Jongin mengeras, ia seolah kehilangan fokusnya.  Ia telah mengulangi geraknya bersama lagu itu berkali-kali, berulang-ulang, hingga tiap detiknya seolah terpatri pada tiap syaraf tubuhnya.  Tapi tanpa lagu, ia tak akan mampu bergerak.  Tanpa irama, ia kehilangan keseimbangannya. 

Dan tanpa tari, ia akan kehilangan impiannya.

“—kau tak akan mendapatkan apa pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”

Tanpa sepenuhnya kusadari, aku telah menerobos penonton yang bergerombol rapat di depanku.  Melewati deretan-deretan kursi yang penuh sesak dengan langkah-langkah cepatku, tanpa menoleh, tanpa mengucap maaf ketika tanpa sengaja menyandung, tanpa mengindahkan dengung-dengung bingung dan peringatan-peringatan yang diarahkan padaku.  Aku memanjat naik ke panggung, membawa diriku pada piano di sisi lain panggung, piano yang selalu kumainkan.  Kududukkan diriku di depannya, jemariku terentang, bersiap di atas tiap lajur hitam dan putih itu.

Aku sudah berkali-kali mendengar lagunya, sebanyak aku memperhatikan geraknya.  Nadanya terpeta dengan begitu jelas di kepalaku, bergaung dalam ingatanku.  Kutolehkan wajahku padanya, mengisyarat tanpa ucap.  Jongin tampak terperangah tak percaya, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, tapi kemudian ia mengangguk padaku—senyumnya kembali.

Dan kulantunkan lagu itu dengan tanganku.  Bersama dengannya mengisahkan cerita dengan geraknya.  Mataku terpejam, tenggelam dalam irama itu.  Dalam jarak yang begitu dekat, kudengar senandung ketuk kakinya menimpali tiap titi nada yang kumainkan.  Bersahutan, saling mengiringi, seolah tiap not dicipta untuk ditarikan olehnya, tiap hentak dibentuk untuk disuarakan oleh melodinya.

Hening menguasai ruangan.  Waktu seolah berhenti.  Hanya ada musikku dan geraknya, bagai bergandengan erat dalam dansa.  Mengitari masa itu tanpa usikan yang mampu mendekati.

Dan dalam menit-menit yang tak kurasa, tanganku berhenti mengayun, langkahnya berhenti berbunyi.  Kami sampai pada akhir lagu.  Mataku membuka perlahan, dan kesadaranku perlahan kembali.  Apa yang sudah kulakukan?  Aku menoleh cepat ke arah penonton, mendadak panik akan perbuatanku.  Tapi yang kulihat adalah wajah-wajah yang seolah menahan napas, kemudian, seolah dikomando, serentak mereka berdiri.  Satu tepuk, dua tepuk, hingga seluruh ruangan dipenuhi gemuruh tangan-tangan yang menepuk begitu keras.  Siulan, eluan, dan seruan kagum mengikuti di antaranya.  Aku kebingungan, terkejut dengan reaksi itu.  Kutengokkan wajahku pada Jongin, dan kulihat ia tersenyum lebar padaku.  Senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

Seluruh wajahku serta merta memerah seolah terbakar.  Aku bangkit berdiri, membungkuk terburu-buru pada penonton dengan kegugupan mencapai ubun-ubunku, dan segera melarikan diriku turun ke belakang panggung, melewati tangan Jongin yang hendak menghentikanku.

“Sora!”

Kucengkeram dadaku yang terasa begitu sesak dengan jantungku yang bagai siap melompat keluar melewati rusukku kapan saja, mempercepat langkahku.  Aku baru berhenti untuk memberi kesempatan bagi diriku bernapas ketika aku sampai di kebun bunga matahariku, berjongkok di antara batang-batang besarnya, terengah-engah di bawah naungannya. 

Dalam kepalaku, suara-suara itu saling beradu, mempertanyakan satu hal yang sama: bagaimana aku bisa melakukannya?  Aku tak pernah mampu mengutarakan keinginanku, terlebih menampilkan diriku secara gamblang.  Dan di depan banyak pasang mata seperti itu.  Bahkan hingga hari itu berakhir, aku masih tak dapat mempercayai tindakanku sendiri. 

Tapi di antara engah dan kebingungan itu, aku tersenyum. 

Aku terus diam di tempat itu untuk beberapa saat, merasa seluruh energiku telah terpakai untuk membentuk keberanianku sesaat lalu.  Ketika tanah di bawahku telah disepuhi labur jingga, barulah aku sadar aku telah terlalu lama berada di sana.  Aku menengadah, dan kulihat senja sudah kembali ke langit.  Pengingat akan satu hal yang tak pernah kulupa.  Kurogoh tasku, dan kuraih sekaleng jus persik dari dalamnya. 

Mungkin ia tak akan ada di sana.  Ia telah menampilkan segala hasil kerja kerasnya, dan aku yakin tak ada tolak yang didapatnya.  Mungkin ia merasa tak perlu kembali berlatih hari ini.  Dan jus persik ini akan sia-sia.  Tapi aku telah begitu lama melakukannya.  Meletakkannya di depan pintunya sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa kulepas, sebagaimana mataku tak bisa berhenti memperhatikannya, seberapa pun menyakitkannya itu bagiku.

Perlahan, kuangkat tubuhku berdiri.  Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, menenangkan pikiranku untuk terakhir kali.  Kutepuk-tepuk kedua pipiku untuk menyemangati diriku sendiri, lalu kulangkahkan kakiku ke tempat yang selalu kutuju tiap sore.  Aula itu sudah tak lagi dipadati.  Halaman depannya sepi tanpa satu pun sosok terlihat.  Dan benar saja, tak ada musik yang terdengar.  Tak ada sepasang sepatu itu di sana.  Tak ada Jongin.

Aku berjalan lebih dekat pada ruangan itu, yang pintunya terbuka lebar.  Kosong.  Hanya ada piano yang kumainkan beberapa waktu sebelumnya, yang mengantarkan suara menggantikanku.  Aku mendesah.  Sudah kuduga.  Kubawa diriku masuk, menghampiri piano itu.  Seraya menelusuri tuts-tutsnya dengan jemariku, pikiranku memutar ulang segalanya.  Hari pertama aku melihat Jongin menari, detik pertama aku terpikat padanya, kali pertama aku mendengarnya bicara, saat pertama ia menyebut namaku.  Mungkin, semua hal pertama itu harus segera diganti dengan terakhir kali—

Tanganku berhenti, bersamaan dengan pandangan mataku yang mendadak mengenali satu helai rekah di antara senar-senar piano itu.

Bunga matahari.

Siapa yang meletakkannya di sana?  Kujulurkan tanganku untuk meraihnya, dan ketika aku telah menggenggamnya, kurasakan dua lengan merengkuhku dari belakang.  Aku panik, berusaha menyembunyikan jus persik yang ada di tanganku, berusaha lari.  Tapi dekap itu lebih kuat, mengikatku rapat dalam pelukannya, menghalangiku untuk lepas darinya.  Wajahnya bergerak merendah ke sisi kepalaku, dan kurasakan napasnya yang panas di kulitku.  Suaranya yang dalam membelai pendengaranku.  Sekali lagi, kurasakan getar aneh menyebar menelusuri sendi-sendi tubuhku.

“Aku tahu itu kau,”

Aku terdiam, semakin erat kugenggam kaleng itu di tanganku, seolah hendak melenyapkannya, menyanggah dengan menghilangkan buktinya. 

Bagaimana ia bisa tahu?

“Aku mengenali suara langkahmu,” lanjutnya, bagai membaca pikiranku, “aku peka pada bunyi, kau tahu?”

Aku tahu.  Tapi…

Sekali lagi aku berusaha menggerakkan tubuhku yang terkunci rapat di antara kedua lengannya.  Aku ingin lepas.  Aku ingin lari.  Tapi ia justru semakin mempererat dekapannya, membawaku semakin dalam pada pelukannya.

“Jangan lari lagi dariku,”

Aku terkejut, tak memahami maksud perkataannya.

“Aku selalu mendengar langkahmu yang menjauh dariku,” suaranya begitu pelan kini, seolah berbisik.  Tapi tiap katanya diikuti kesungguhan yang tak berdusta, mengungkap harap yang seolah begitu lama tersembunyi.  Ia mendesah, dan seraya merapatkan lagi lengan dan sisi wajahnya menaungiku, getar suara itu kembali menyibak.

“Mulai sekarang, aku ingin mendengar langkahmu yang datang padaku.”

Pandanganku mengabur.  Kedua mataku diselimuti lapis tangis yang hampir pecah.  Satu perasaan yang begitu besar membuncah dalam dadaku, menggantikan beban yang selama ini menyesakinya.  Dan meskipun kali ini aku punya keberanian untuk bicara, aku tak bisa menemukan kata untuk mengungkapkannya. 

Dengan isak yang menggumpal di tenggorokanku, aku mengangguk.  Aku tak akan lari lagi.  Tidak untuk pergi darinya.  Tidak untuk menjauh darinya.

Kurasakan satu desah lagi disuarakannya, kali ini diselimuti kelegaan yang begitu kentara, dan ia menguatkan rengkuhannya padaku.  Tanpa perlu melihatnya, aku tahu ia tersenyum—menemani lengkung yang sama di wajahku.

“Oh, dan maafkan aku soal kata-kataku waktu itu,” suaranya mendadak dipenuhi rasa bersalah, dan ia bergerak salah tingkah.  “aku bermaksud memberimu sesuatu untuk menebusnya, tapi aku tak tahu di mana aku bisa membeli jus buah persik.  Aku juga tak tahu apa kesukaanmu.  Aku menebak kau suka bunga matahari, tapi kurasa tak ada jus bunga matahari.  Aku sudah menanyakannya ke banyak tempat dan mereka terus mengira aku bercanda bahkan mengira aku bodoh.  Jadi aku menyerah dan memutuskan memberimu bunga mataharinya langsung, tapi aku tak tahu apakah itu cukup untuk—astaga, aku sudah mengoceh panjang lebar, ya?”

Aku tertawa.  Begitu lepas.  Begitu mudah.  Kubalikkan badanku menghadapnya.  Mataku masih disisai tangis, dan kedua pipiku masih terbakar merah.  Wajahku pasti tampak begitu konyol sekarang, tapi kuberanikan diriku untuk menengadah, pertama kalinya menatap langsung ke dalam kedua matanya.  Ia balas menatapku, mengunci pandangan kami.  Dan bersama-sama, senyum itu pun terbit.

“Terima kasih.”

Kini, akhirnya aku bisa mencapaimu.


Malang, 5 Mei 2012
00:44

A/N: Originally written for Ufuk Romance Korean Wave Short Story Competition.  And my 2nd attempt to actually write love story -____- And by the way, Jongin dances like this :D

Monday, May 14, 2012

a piece of day and a slice of waffle


Sebelumnya, akan saya awali catatan ini dengan satu kisah.


Suatu hari, seorang profesor filosofi masuk ke kelas yang diajarnya dengan membawa beberapa barang bersamanya.  Tanpa membuka kuliah dengan kata-kata, beliau meletakkan satu toples kaca besar yang kosong  di atas mejanya, kemudian beliau memasukkan bola-bola golf ke dalamnya hingga toples itu penuh.  Beliau lalu bertanya pada para siswanya apakah toplesnya sudah penuh.  Mereka menjawab iya.

Kemudian beliau mengambil satu kotak kerikil dan memasukkannya ke dalam toples.  Beliau mengguncang toplesnya sedikit, dan kerikil-kerikil itu pun memenuhi ruang di antara bola-bola golf yang sudah ada.  Beliau kemudian bertanya lagi apakah toplesnya sudah penuh.  Mereka menjawab iya.

Kemudian beliau mengambil satu kota pasir dan memasukkannya ke dalam toples.  Dan tentu saja pasir-pasir tersebut memenuhi semua sisa ruang yang ada.  Beliau sekali lagi bertanya apakah toplesnya sudah penuh.  Serempak mereka menjawab iya.  

Kemudian beliau mengambil dua sendok kopi dan memasukkannya ke dalam toples, memenuhi secara tepat sela-sela di antara pasir-pasir.  Para siswa pun tertawa.

“Nah,” ujar sang professor, ketika tawa telah mereda, “saya ingin kalian memahami toples ini sebagai representasi hidup kalian.  Bola-bola golf itu adalah hal-hal yang terpenting—Tuhan-mu, keluargamu, anak-anakmu, sahabat-sahabatmu, kesehatanmu, passion-mu—segala hal yang meski segala hal lain tak ada dan hanya hal-hal itu saja yang ada, hidupmu akan tetap lengkap.  Kerikil adalah hal-hal lain yang juga penting setelahnya.  Pekerjaanmu, rumahmu, kendaraanmu.  Dan pasir adalah hal-hal kecil lainnya.”

“Jika kau memasukkan pasir terlebih dahulu,” lanjut beliau, “tidak akan ada tempat untuk kerikil dan bola golf.  Hal yang sama berlaku pada hidup kalian.  Jika kalian menghabiskan waktu dengan mengurusi hal-hal kecil saja, kalian tidak akan pernah punya waktu untuk hal-hal yang penting.  Jadi perhatikanlah hal-hal yang paling penting bagi kebahagiaan kalian.  Uruslah bola-bola golf itu terlebih dahulu, hal-hal yang benar-benar berarti.  Tetapkan prioritas kalian.  Yang lain hanyalah pasir.”

Salah seorang siswa mengangkat tangannya dan bertanya apa makna dari kopi.
Sang professor tersenyum, “Saya senang kamu menanyakannya.  Kopi itu menunjukkan bahwa seberapa pun sibuk dan padatnya hidupmu kelihatannya, selalu ada waktu untuk menikmati dua cangkir kopi bersama seorang kawan.”


Ada yang merasa tertohok setelah membaca cerita di atas?  High-five.  Saya terutama merasa demikian pada beberapa waktu terakhir.  Ketika saya lebih muda—dan tentunya lebih egois dan labil—saya punya hal-hal yang saya anggap prioritas di atas segalanya.  Sebutlah barangkali kuliah saya, nilai-nilai saya, atau kegemaran-kegemaran sepele saya.  Hal-hal itu memenuhi sebagian besar hari-hari saya saat itu.  Tak boleh diganggu gugat, no matter what.  Everything else comes second.  

Kemudian tiba satu waktu saya jatuh sakit, salah satu sakit paling parah seumur hidup saya—dan masih menjadi mimpi buruk hingga sekarang—dan membuat saya sejenak tersingkirkan dari semua rutinitas saya.  Rasanya aneh, memang, mendadak tidak berdaya dan cuma bisa berbaring tanpa melakukan apa pun sementara biasanya hari-hari saya sangat hectic dengan tugas ini-itu, diskusi kelompok ini-itu, et cetera, et cetera.  Tapi justru saat itulah, saya menyadari hal-hal yang terpenting bagi saya yang sempat saya lupakan ketika pikiran saya hanya dipenuhi hal-hal sepele itu.

Keluarga saya adalah segalanya.  Keluarga saya adalah yang selalu ada kapan pun saya membutuhkannya, bahkan tanpa saya meminta.  Ketika saya sakit, orang-orang lain datang menjenguk saya dan mendoakan saya agar lekas sembuh, tapi keluarga sayalah yang sepenuhnya ada bersama saya.  Bukan hanya dalam artian waktu, tapi sepenuhnya.  Membuat saya merasa saya akan baik-baik saja, seberapa pun sakitnya, karena saya memiliki mereka.

And yes, tentu saja saya juga jadi menyadari kesehatan adalah salah satu dari prioritas—prioritas yang tepat, coret daftar saya sebelumnya.

Then I know what’s my golf balls are, and the pebbles, and the sand that is need to be poured later.

Bagaimana dengan kopinya?

Disebutkan belakangan, bukan berarti berada di urutan paling bawah di antara semuanya.  Siapa yang bisa hidup tanpa teman?  Saya tidak bisa.  Well, saya tidak bisa disebut sebagai orang yang terlalu supel, juga tidak termasuk seorang yang sangat gemar berkumpul ramai-ramai dengan teman-teman.  Saya menikmati waktu sendirian saya, hanya berdua dengan musik menyumbat telinga saya, buku di tangan saya, coklat di sisi saya, atau berjam-jam berteman dengan tempat tidur saya yang empuk.  Dulu ketika masa kuliah sedang padat-padanya, terkadang saya lebih memilih untuk diam di rumah sendiri atau tidur daripada pergi bersama teman-teman ketika senggang.  Pikir saya saat itu, toh saya bisa bertemu teman-teman saya tiap hari.  

Just a note for younger readers: when you’re in college, you (almost) literally live with your friends 24/7.  Both in good way and bad way (most of it are good times, don’t worry ^__^).

Itu berubah ketika akhirnya kuliah berakhir.  Kami semua lulus, menyongsong tahap hidup yang berikutnya: karir.  Satu per satu kawan saya meninggalkan Malang untuk bekerja.  Mulai dari teman-teman satu kelas, hingga yang karib.  Rasa kehilangan itu mulai terasa ketika dua dari sahabat baik ketika masa kuliah—Ratih dan Tania—pindah ke Surabaya dan Jakarta karena pekerjaan mereka.  Rasanya sama sekali tidak menyenangkan mendadak tidak bisa bertemu dengan mereka padahal sebelumnya saya bertemu mereka tiap hari, hampir tiap jam, karena merekalah yang paling sering berada di kelompok yang sama dengan saya.  Heidi, sahabat saya yang lain, kemudian juga menyusul pergi dari Malang untuk bekerja di Surabaya.

Tidak lama setelahnya, sahabat-sahabat terdekat saya sejak SMA, yang selama hampir tujuh tahun penuh tidak terpisah karena juga kuliah di kampus yang sama, juga kembali ke kota asal kami—Samarinda—segera setelah lulus untuk bekerja di sana.  

Rasanya waktu berlalu begitu cepat, dan mendadak saya tak bisa lagi semudah itu bertemu dengan mereka.  Dan menyesallah saya tidak lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka sebelumnya.

Sekarang, setelah kami semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, kawan-kawan bekerja dan saya melanjutkan kuliah ke jenjang pascasarjana, saya—kami—jadi lebih menghargai waktu yang kami punya untuk dapat saling bertemu, seberapa pun singkatnya.  Bertemu tiap hari memang tidak mungkin.  Bahkan terkadang ada saja masanya saya merasa sama sekali tidak memiliki waktu untuk diluangkan untuk bertemu dengan teman-teman ketika deadline-deadline telah duduk manis mengancam saya tepat di depan mata.  Tapi sebetulnya, seperti dua sendok kopi yang bisa memenuhi bahkan sisa-sisa ruang terkecil di antara butir-butir pasir, selalu ada waktu yang bisa kita sisihkan untuk kawan-kawan kita.

Waktu temu kami tidak selalu diisi dengan hal-hal meriah atau luar biasa.  Terkadang kami bahkan hanya sekedar makan siang bersama sambil saling menceritakan kabar masing-masing.  It was short.  It was nothing big.  And yes, it was not that expensive either, hehe.  But we enjoy it anyway.  

Sekarang, saya justru jadi menunggu-nunggu saat saya bisa berkumpul dengan teman-teman lagi.  Dua sahabat baik saya sejak SMA, Ayu dan Hilga, masih di Samarinda dan saya hanya bisa menemui mereka satu tahun sekali ketika saya pulang saat Lebaran.  Ratih masih di Surabaya, begitu juga dengan Heidi.  Kawan terdekat yang masih bisa saya temui sekarang hanya Tania, yang kembali bekerja di Malang sejak tahun lalu.

Sepi?  Tentu saja.  Terutama karena biasanya kami berkumpul berempat.  Tapi bukan berarti saya tidak menikmatinya.  It makes me treasure it even more.  

Saya senang sekali tiap kali Tania mampir ke rumah saya setelah pulang bekerja, sekedar berbincang mulai dari hal-hal seperti kekonyolan di kantor dan kampus hingga hal-hal yang lebih membuat kening berkerut.  Dan saya terutama senang ketika tiap akhir minggu kami berdua sepakat untuk berjalan-jalan berdua, dalam waktu yang lebih leluasa.  

Kami bukan penggemar berat salon (we’re kinda boyish, yes) dan terlebih sangat cupu dengan dunia yang lebih gemerlap (and we’re kinda nerd, too, yes, lol), dan kami berdua terutama doyan makan, jadilah kami lebih sering menghabiskan waktu kami itu dengan menjelajahi tempat-tempat makan untuk ngemil.  Memang bukan kopi yang menemani kami berbincang (dan mengeluh, dan menggosip, dan ngakak ababil), tapi apa pun makanan atau minumannya, still, it will always be a great time.

And I feel like sharing the story of those foods, too, hehehe...  In case you’re interested ;)




Jadi inilah tempat yang kami tuju akhir minggu lalu.  de’Pans, tempatnya berada di Jl. Simpang Balapan, di kawasan Ijen.  Tempatnya tidak begitu besar, tapi sangat nyaman.  Terutama karena awalnya adalah rumah tinggal, dan taman-taman serta struktur ruangnya dipertahankan, jadi kesan homy dan cozy-nya sangat terasa.  Area duduknya terbagi antara indoor dan outdoor di teras, yang sangat menyenangkan karena berbatasan langsung dengan taman-tamannya yang mungil tapi cantik.  Meskipun berada di tengah kota, bising bukan sesuatu yang akan kita temui di sana.

Sesuai namanya, menu utama di tempat ini adalah pancake, juga waffle, dengan berbagai pilihan topping, fruitfilling, dan es krim.  Juga panganan lain seperti baked macaroni, french fries, hingga makanan berat seperti pasta dan nasi.  Tapi, seperti yang saya bilang sebelumnya, expensive stuffs is not really our thing, jadi tidak banyak biaya terkuras untuk satu-dua jam menikmati waktu di tempat itu.

And here goes our ‘coffees’ that day:

Tania&her pancakes with blueberry topping&vanilla ice cream

My waffle with chocolate topping&chocolate ice cream





 Along with these, too:

French Fries Bolognese
Apple&Lemon Soda Punch

Tidak terlihat mengenyangkan?  Well, that’s not true.  Kami kenyang, dan puas, terutama kenyang dengan saling bercerita satu sama lain.  That’s the thing that matters.  

Kami memang tidak punya waktu satu hari penuh, tapi beberapa jam yang kami miliki cukup untuk menggantikan satu minggu yang kami lalui dengan berkutat pada bola-bola golf dan kerikil-kerikil kami masing-masing.  It’s about the quality, not quantity.

So when things in your life seem almost too much to handle, when 24 hours in a day are not enough, remember the jar and two cups of coffee.


P.S.  And I might post more about our coffees again next time, hehehe… ;)


Malang, 14 Mei 2012
01:02