Thursday, August 09, 2012

Helai Nostalgi


Ingatkah kau? 

Dulu kau menyebutku penakut.  Dan aku tidak menyanggahnya.  Aku takut pada banyak hal.  Aku takut tenggelam, karenanya aku takut pada bentang-bentang air yang luas.  Aku takut jatuh, karenanya aku takut pada tempat-tempat yang tinggi.  Aku takut petir, karenanya aku takut pada rinai-rinai hujan yang deras.

Tapi, ketakutan terbesarku sesungguhnya adalah dirimu.

“Kau…siapa?”

Dan kau mewujudkannya menjadi nyata.


Ingatkah kau?  Ketika itu usia kita hanya dua jari melebihi satu rentang tangan.  Musim panas bersinar begitu terik di puncak langit.  Peluh memenuhi wajahmu, tapi kau terus berlari.  Terengah-engah, aku membawa langkah-langkah kecilku mengikutimu.  Kau lalu tertawa ketika melihat keterkejutanku ketika kita sampai.  Sungai Naerincheon.  Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang kutakuti.  Kau melangkah hingga airnya mencapai pinggangmu, berseru padaku untuk menyusulmu.

Kedua kakiku gemetar, kugelengkan kepalaku kuat-kuat.  Dan kau serta merta menarik tanganku, membuatku tercebur tepat di depanmu.  Sesaat aku panik.  Kutendang-tendangkan kakiku, kuayun-ayunkan tanganku, berusaha keluar.  Tapi lalu kurasakan bulir basah itu begitu sejuk di kulitku, pasir lembut di dasar sungai membelai telapak kakiku.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan terang matahari di atas sana.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada alir air.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi, kemudian kau memberiku ketakutan lain, yang tak pernah bisa terobati.


Hiasan terakhir telah kupasang.  Manisan-manisan kesukaanmu telah kususun, bersama minuman-minuman favoritmu.  Di tengah-tengahnya, sebuah kue besar telah kuletakkan.  Kita berjanji akan merayakannya bersama, hari yang telah begitu lama kau tunggu-tunggu.  Hari debutmu.  Akhirnya, kau akan menyanyi di depan banyak orang, mempesona mereka semua dengan indah denting suaramu.  Aku tak sabar ingin memberimu peluk dan selamat.

Tapi bukan kau yang muncul di depan pintuku.  Melainkan kabar yang disurukkan padaku dengan suara bergetar, membawa gelap menutupi sekelilingku.

“Jonghyun-ah, Hyorin kecelakaan.”

           
Ingatkah kau?  Ketika itu sembilan jari kita gunakan untuk menunjuk usia.  Udara musim gugur bergaung di langit.  Sekali lagi kau berlari, dengan aku kepayahan mengikutimu di belakang.  Kau berhenti di sana, di salah satu pohon tertinggi di bukit desa Hongcheon.  Lagi-lagi, kau membawaku ke tempat yang kutakuti.  Kau memanjatnya dengan lincah, tak mempedulikan ujung gaunmu terserempet dahan-dahan yang menyilang, dan melambai padaku untuk menyusulmu.  Aku menggeleng kuat-kuat.  Tapi kau tak pernah menyerah pada keengannanku.  Kau kembali turun, dan serta merta menarikku naik.  Sesaat aku panik.  Kupeluk erat-erat batang tubuh itu, berusaha seimbang.  Tapi lalu kau menunjuk pada vista di bawah sana, dan kulihat rimbunan dedaunan dalam gradasi kuning, jingga, dan merah yang indah memanjakan mataku, dibentuk kawanan pohon yang berjejer rapat.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan cemerlang kemuning musim gugur.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada ketinggian.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi ketakutan baruku semakin membesar kini, semakin tak terobati.


Tak bisa lagi kuhitung berapa lama aku menunggu di sisimu, berharap kau mau membuka kedua matamu.  Tak bisa lagi kuhitung berapa lama aku lupa cara tersenyum.  Tak bisa kuhitung lagi berapa lama aku merasa hidup terampas dariku.  Tanpamu, bagiku esok tak pernah tiba.  Matahari tak pernah terbit.

Setelah berminggu-minggu yang bagai selamanya untukku, akhirnya waktu jenuh mempermainkanku.  Atau barangkali tak lebih dari sekedar mengasihaniku.  Akhirnya, ia kembalikan kau padaku. 

“Kau…siapa?”

Namun rupanya, waktu masih ingin menyiksaku.


Ingatkah kau?  Ketika itu dua tangan tak lagi cukup untuk mengukur usia kita.  Angin musim semi berhembus di udara.  Kali itu kau tidak berlari.  Dan tak ada aku yang mengikutimu, melainkan aku yang meringkuk di sudut kamarku, melengkungkan tubuhku, menekankan kedua tanganku rapat-rapat pada telingaku.  Deras hujan menghantam daratan, mencipta detam-detam yang memekakkan, memecut gelegar-gelegar halilintar yang menghardik.  Kau membujukku untuk keluar.  Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.  Tapi kau tak pernah mengalah pada sanggahku.  Kau meraih tanganku, membuka telapaknya menghadapmu.  Dan kau bentuk segambar katak di sana.

Aku tak paham.  Lalu kau ceritakan alasan mengapa katak selalu bersuara ketika hujan turun.  Mereka menghibur langit yang bersedih, berusaha menentramkan mereka agar terhapus air mata yang mereka rupakan dalam hujan, dan isak yang mereka suarakan dalam petir-petir.  Karenanya, kau sebut aku akan baik-baik saja selama ada goresan katak itu di tanganku.  Ia akan menjagaku selama hujan, sebagaimana kau akan menemaniku melewatinya.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan sejuk aroma rerumputan ketika hujan mereda.

“Dengan begini, tak ada lagi yang perlu kau takutkan!”

Sejak saat itu, aku tak lagi takut pada guruh hujan.  Kau menyembuhkan ketakutanku.  Tapi ketakutan baruku semakin memadat kini, semakin tak mungkin terobati.


Aku kembali menunggu di sisimu.  Dokter tak sanggup menghiburku dengan memberi waktu pasti kapan segala ingatanmu akan kembali.  Dan mereka melarangku terlalu banyak menyodorkan bukti-bukti kenanganmu, agar kau tak terbebani, agar tak bertambah luka yang tak perlu selain yang telah bersarang di kedua tungkaimu.  Biarkan kau perlahan mengingatnya sendiri, ia sebut.

Tapi, bagaimana aku bisa bertahan tanpa kau bahkan mengenaliku?  Tanpa kau ingat semua waktu yang kita lalui bersama?  Tanpa kau ingat semua hari yang kita hidupi bersisian?

Dan tak banyak perbaikan yang terlihat pada kodisimu.  Tak banyak jawab kau beri pada perkataan yang diarahkan padamu.  Tak sepenuhnya tampak terjaga kedua matamu.  Kau hanya berbaring diam, menatap ke kejauhan di luar bingkai jendela.  Pandanganmu kosong, tak ada pengenalan dan pemahaman apa pun di dalamnya.  Barangkali kau bahkan tak menyadari keberadaanku di sana. 

Dan aku lelah.  Lelah dengan waktu yang masih bermain-main denganku.  Mengembalikan ragamu tapi tidak dirimu sepenuhnya.  Aku bangkit dari dudukku, dan kau tak menoleh.  Kurogoh saku untuk mengeluarkan sebungkus kecil manisan kesukaanmu, meletakkannya di sisi bantalmu meski aku tahu itu sia-sia.  Hanya bagian dari secercah harapanku agar kau ingat meski sejumput akan masa lalumu.

Tak kuharapkan kau mencegahku pergi.  Maka aku terperanjat ketika kau mencengkeram ujung kemejaku ketika berbalik, menghentikan langkahku.  Kau menatapku lurus-lurus ke dalam kedua mataku.  Manisan itu dalam genggaman tanganmu yang lain.  Untuk pertama kali setelah berhari-hari, kau akhirnya bersuara.

“Aku ingat,”

Mataku terbelalak.  Aku kembali duduk di sisimu, merengkuh jemari mungilmu dalam tangkupan kedua tanganku, seolah menguatkanmu untuk mengingat lebih jauh.

“Aku ingat,” ulangmu, matamu berkilat dalam kesadaran baru.  “aku ingat berenang di sungai Naerincheon saat musim panas, ketika itu usiaku tujuh tahun.” 

Kau menungguku bereaksi, dan aku mengangguk-angguk membenarkan, tak bisa kutahan senyum untuk terpampang di wajahku.  Kau menyimpul lengkung serupa kemudian.

“Aku ingat,” lanjutmu, “aku ingat memanjat pohon di bukit Hongcheon saat musim gugur, ketika itu usiaku sembilan tahun.”

Kau kembali menunggu reaksiku, dan sekali lagi aku mengangguk-angguk membenarkan.  Simpul di wajahmu merekah dalam senyum yang lebih lebar kini. 

“Akhirnya, aku ingat—“


Kuharap kau juga tak lupa satu masa ini.  Ketika itu kita membutuhkan tiga tangan untuk menjabarkan usia kita.  Musim dingin menyelimuti hamparan di luar sana.  Kau dan aku tak lagi berlari.  Kita berlindung dari dingin di balik dinding, mengamati butir salju yang turun perlahan menitiki pemandangan.  Kau menyandarkan dagumu di tepi kisi jendela, dan aku memetik senar gitarku, mencipta lagu untuk latar waktu damai itu. 

“Aku akan menjadi penyanyi,”

Kau mengucap tiba-tiba, mendongak dari lamunanmu.  Kau telah berkali-kali mengatakannya.  Sejak kau dengar Dongwoo-sunbae mengalunkan serenade itu saat festival sekolah.  Kau segera takluk dalam karisma suaranya, sebagaimana kau segera jatuh pada pesona dirinya.  Kau bergabung dengan klub musik tak lama setelahnya.  Awalnya kuanggap kau hanya sekedar didera kekaguman sesaat, meski tak kusangkal kau memiliki kemerduan alami sedari mula. 

Tapi lihatlah binar matamu kini.  Kesungguhan itu tak terbantahkan.  Selantang tegas suaramu ketika mengucapkannya.  Maka tahulah aku kau tak mengada-ngada.  Sudah kau temukan impian untuk jadi destinasi hidupmu.

Dan seperti aku yang tak pernah lengah mengikutimu, saat itu juga kuputuskan untuk menyusulmu.  Karena meski tak ada lagi ketakutanku yang tersisa setelah kau sembuhkan kesemuanya, kau menumbuhkan ketakutan baru itu padaku.  Ketakutan yang lebih besar dari apa pun yang pernah kurasakan.

Ketakutan akan dirimu.  Ketakutan akan dirimu menghilang dariku.

Kita habiskan bertahun-tahun berlatih setelahnya, bersama-sama.  Keberuntungan membawa kita pada satu agensi besar yang menjanjikan karir kita, satu tempat yang sama di mana Dongwoo-sunbae melewatkan tahunan masa remajanya sebagai trainee, sebelum pada akhirnya ia mencapai debutnya.  Sukses menghampirinya tak lama setelahnya, memecut kita untuk berjuang sama keras untuk dapat menyamainya.  Tapi yang kutahu, bukan sekedar menyamainya yang kau inginkan.

Dan kusadari bertambah satu yang memandang suaramu seindah sebagaimana aku selalu menganggapnya.  Ia memulai dengan satu puji kecil pada sepotong bait yang kau nyanyikan, diikuti perlakuan yang melebihi sekedar perhatian senior pada juniornya.  Sepotong besar waktu yang biasanya selalu jadi milik kita terbagi dengan kehadirannya kemudian.  Dan aku tak lagi tampak bagai satu-satunya bagimu.  Tapi kutahan rasa itu, tak ingin merusak senyummu yang cerah tiap kali kau sebut namanya.

Hingga satu malam itu, kau beri kabar yang tak akan pernah kulupakan.  Kabar yang menggembungkan hatiku dalam gempita dan menghancurkannya menjadi kepingan segera setelahnya.  Suaramu terdengar bergemrincing begitu riang di telepon saat itu.  Kau sebut kau punya dua berita gembira untukku. 

Satu yang pertama, kau katakan akhirnya esok adalah hari debutmu.  Kita segera bersorak bersamaan, tak terungkap betapa besar kebahagiaan itu, mengetahui tahun-tahun penuh peluh dan engah itu akhirnya akan segera terbayar, segala pengorbanan tak terkira itu tak akan berakhir sia-sia.  Dengan nada yang lebih bahagia, lalu kau ucap yang kedua—Dongwoo-sunbae membalas perasaanmu padanya.

Seketika tawaku menguap, senyumku lenyap.  Rasa sakit yang tak bisa kugambarkan menancapkan kukunya dalam-dalam di ulu hatiku.  Tapi di ujung sana, masih kudengar kau mengulas nada riangmu.  Mengisahkan pengakuannya padamu.  Menyebut namanya membentuk kata “kami”. 

Kami.  Bukan lagi kita.

Tapi aku tak pernah sanggup merusak senyummu.  Aku terlalu mengasihimu untuk tega melakukannya.  Maka kupaksakan tawa.  Bahkan mengusulkan perayaan untukmu.  Untuk dua kabar gembiramu.  Kudengar kau memekik senang, mengucap terima kasih tak terhingga.  Menyebutku sahabat terbaik di dunia.  Sekali lagi kuku-kuku pedih itu menghujamku dari dalam—dan kupalsu senyum untuk menutupinya.

Setidaknya, aku masih memiliki arti bagimu.


“—aku ingat segala hal yang kulakukan bersama Dongwoo-oppa itu.”

Kurasakan detak jantungku seolah berhenti.  Kukerjapkan mataku, berharap pendengaranku telah menipuku.  Tapi tidak.  Kedua matamu menjawabnya.  Binar sungguh-sungguh itu ada di sana.  Tak terbersit dusta.

Kau mewujudkan ketakutanku menjadi nyata.  Kau menggantikan bayang sosokku dalam potret-potret kenanganmu dengan siluet lain.  Dengan seorang yang satu-satunya pernah kau beri definisi cinta. 

Kau akhirnya benar-benar menghilang dariku.

Aku tak lagi menunggu.  Minggu-minggu yang hadir setelahnya tak memberi banyak ubah pada ingat dan anggapmu.  Hanya Dongwoo-sunbae yang kau ingat.  Hanya ia saja.  Bersandingan dengan memori-memori kita, dengan ia sebagai lakon mendampingimu di setiapnya—bukan aku.

Kuputuskan saatnya aku berhenti mengikutimu.  Saatnya aku melepasmu.  Kau tak sepenuhnya pulih, seperti yang disebut doktermu.  Tapi di mataku, kau telah lebih dari sekedar bahagia, hanya dengan memiliki Dongwoo-sunbae di sisimu.  Dan aku masih juga tak sanggup merusak senyummu.  Kubiarkan kau dengan ingatanmu kini.  Kuminta Dongwoo-sunbae untuk tak menyibak yang sesungguhnya. 

Tak apa.  Tak apa ia berdiri di atas tiap jejakku dalam kenanganmu.  Tak apa ia melangkah dalam tiap nostlagi yang kau ungkap.  Tak apa.  Selama itu membuatmu bahagia.

Hujan merintik di luar sana, mengembang dalam deras tak lama setelahnya.  Melatari perasaanku dengan mendung yang begitu serupa.  Tapi sudah kukuatkan tekadku.  Jika tak kulepaskan kau kini, tak akan pernah bisa aku untuk selamanya. 

Kurendahkan wajahku padamu yang terduduk di kursi roda, masih lemah oleh sisa-sisa lukamu.  Kuucapkan sampai jumpa, dan harap semoga lekas sembuh.  Kau tersenyum, menghadiahiku satu peluk hangat.

“Terima kasih, Jonghyun-ah.”

Kau menyebut namaku.  Tapi tak ada nada karib yang dulu selalu menyertai di dalamnya.  Kuangkat satu lagi senyum pura-pura di wajahku, melepaskan lingkar lenganmu dariku sebelum perih itu meledak di dadaku.  Dan dengan satu lambaian singkat, aku berbalik, melangkah menjauh.  Bersiap menyambut hujan di luar sana, mengiringi tetes yang tak akan sanggup kutahan lebih lama tetap berdiam di sudut-sudut mataku.

Lalu kurasakan cengkeraman itu di punggungku.  Aku menoleh, dan kulihat kau di sana.  Kau meraih tanganku, membuka telapakku menghadapmu, menggoreskan satu bentuk di sana.  Lalu kau tertawa lebar.  Mengalahkan segala indah yang pernah kutahu.

“Dengan begini, tak ada yang perlu kau takutkan!”

Kau memutar kursi rodamu, kembali pada Dongwoo-sunbae yang tersenyum membuka lengannya menyambutmu.  Kurekahkan jemariku, dan kulihat goresan yang kau tinggalkan—

—katak penjagaku. 
           
Bolehkah?  Bolehkah kuharap masih ada meski seserpih diriku dalam ingatanmu?


Malang, 12 Mei 2012
00:27

A/N: Just another draft for a Korean Romance writing contest.  And my, romance is definitely my weakness -___-