Friday, June 22, 2012

Putih dalam Jelaga


“Kau benar-benar tidak berguna!”

Aku menguap dengan lagak bosan, bersiap mendengarkan omelan harian.  Sekali lagi aku gagal membekukan sampel benih.  Langka, katanya.  Kemungkinan bisa memperbaiki musim, katanya.  Tapi sampel itu mencair dan membusuk sebelum mereka bahkan sempat memindai sel-selnya di bawah mikroskop.

“Sekedar membekukannya untuk beberapa hari pun kau tak sanggup?”

Kata-kata itu lagi.  Membosankan. 

“Kenapa tidak cari orang lain saja untuk melakukannya, kalau begitu?” sahutku, sengaja menanggalkan nada sopan yang seharusnya kugunakan pada seniorku.

Ia berjengit tak senang mendengar jawabanku, dan mendesis dalam nada dingin.

“Aku tak paham kenapa Pemantik Beku masih tersisa.”

BRAK!

Kuhantamkan telapakku pada meja di hadapanku, menatap nyalang.  Aku bangkit dari tempat dudukku, tak memedulikan kursi yang terbanting dengan keras akibat gerak tiba-tibaku, dan melangkahkan kakiku dengan marah meninggalkan ruangan itu.  Tanganku terkepal erat.  Gigi-gigiku bergeretak.  Aku sudah begitu sering mendengarnya, tapi tetap saja kata-kata itu mengiris toreh yang tak menyenangkan di benakku.

Aku sampai di pintu depan gedung, dan mendesah berat.  Aku sengaja keluar untuk mendinginkan kepalaku, tapi sesungguhnya di luar sana tidak lebih baik.  Kutengadahkan wajah, menerawang jauh pada batas semu langit, memandangi apa yang tersisa.

Negeri kami tak pernah sama lagi. Sejak Ledakan Panas itu menerjang bertahun-tahun lalu.  Panas Inti dari Bumi meluap terlalu besar, nyaris menghanguskan kami semua menjadi jelaga.  Beruntung Tetua mampu membentuk dinding tak kasat mata di sekeliling kami, melindungi dataran kami dengan selubung bagai kubah transparan raksasa.  Panas Inti tak lagi dapat menjamah kami, namun percikannya telanjur meresap pada tanah-tanah di bawah kaki kami, mengubah segala yang dulu kami tahu.

Musim telah punah.  Sisa-sisa Panas Inti dalam wujud Sulur yang terperangkap di dalam Selubung membunuhnya, menyisakan kering yang tak berujung bagi kami.  Tapi kami tak tahan menghadapi kenyataan bahwa negeri kami telah kerontang.  Maka para Penggenggam Energi berusaha membuat seolah tak ada yang berubah, seolah Bumi masih memiliki wajah-wajah rupawannya meski waktu tak lagi akan berganti bagi tiap musim.

Para Pemetik Matahari akan mengubah suhu, mencipta hangat bagi musim semi.  Para Pengembala Angin akan membantu bunga-bunga menyebar serbuk mereka untuk merekahkan kuncup.  Para Pembenih Warna akan melaburkan kuning dan jingga pada dedaunan demi musim gugur.  Dan Pemantik Beku sepertiku?  Sebagaimana sering dikatakan padaku, kami tidak berguna.  Kami tak dapat mencipta musim dingin.  Panas Inti menelan habis sumber-sumber air kami.  Untuk bertahan hidup, kami bersusah payah  memeras batang-batang pohon penyimpan air.  Siapa yang mau merelakan tetes-tetes air yang begitu langka untuk kami ubah menjadi bulir-bulir salju sementara ancaman mati kehausan menghantui kami?

Mungkin memang sebaiknya Pemantik Beku turut punah.  Toh jenis kami yang tersisa bisa dihitung dengan jari.  Dan tak banyak yang dapat kami lakukan bagi pemulihan negeri.  Terutama aku.  Pori-pori Energiku begitu sempit, tak mampu menyalurkan titik-titik beku terlalu jauh dari permukaan kulitku.  Karenanya apa pun yang kubekukan tak pernah bertahan lama.  Karenanya pagi hariku selalu dimulai dengan omelan.

“Kai!”

Aku terbangun dari lamunanku, menoleh ke arah sumber suara, dan seketika senyum lebar melengkung di wajahku.  Kurentangkan lenganku, menyambut langkah-langkah kecilnya yang berlari padaku.  Ia tertawa senang ketika sampai di pelukanku, dan kudekap ia erat, mengalirkan desir dingin pada tiap jengkal kulitku yang merengkuhnya. 

“Ah, sejuk sekali,” ia mendesah nyaman, memejamkan matanya, “terima kasih.”

Aku tersenyum.  Seharusnya akulah yang berterima kasih.  Lulu, pemilik mata secemerlang bintang dan senyum seindah matahari terbenam itu adalah satu-satunya yang membuatku berpikir aku masih memiliki arti.  Ia ringkih, kulitnya lebih rentan suar panas dibandingkan kebanyakan dari kami.  Sebisa mungkin aku berupaya menemuinya di sela-sela tugasku sebagai Penggenggam Energi.  Aku selalu berusaha untuk menjaganya rapat dalam pelukanku yang kusepuhi dingin.  Ia bilang ia beruntung memilikiku untuk menyejukkannya.  Tapi sebetulnya, akulah yang merasa disejukkan olehnya, bahkan tanpa ia melakukan apa pun.  Hanya dengan ada di dekatku.

Aku terus menggenggam tangannya, mempertahankan dingin pada jemariku yang bertautan dengan miliknya sepanjang perjalanan.  Ia mengisahkan padaku tentang pohon maple yang berada di depan jendela kamarnya, tentang daun-daunnya yang merona dalam musim gugur, yang melayang jatuh dari dahan-dahannya ketika ditiup sepoi angin, menghujani pemandangan sepanjang harinya dengan rinai lembayung yang indah.

Aku tersenyum, dan kupandangi Lulu dengan rasa sayang tak terkira.  Ia bukan Penggenggam Energi.  Dan matanya tak mampu mengenali warna.  Segalanya berada dalam jangkau kelabu hingga nyaris hitam di penglihatannya.  Tapi ia mampu melihat segala tentang hidup lebih berwarna dari semua orang yang pernah kukenal.

“Tapi, aku juga merindukan salju.”

Aku tersentak mendengar perkataannya yang tiba-tiba, dan kutatap ia dengan bingung. 

“Selama ini aku selalu melihat putih yang dilaburi kelabu dari warna-warna musim,” ia melanjutkan, suaranya diiringi harap, “tapi aku tak pernah melihat putih yang sesungguhnya.  Aku tak pernah kenal musim dingin.  Aku tak pernah tahu warna salju.”

Rasa sedih menggumpali rongga lisanku.  Aku tak bisa mengabulkan keinginannya.  Jangankan membuat salju, membekukan benih pun aku tak mampu. 

“Oh, Kai, jangan sedih!” Lulu memeluk lenganku, menengadah memandangku, yang memalingkan wajah darinya.  “Aku hanya bergurau!  Itu cuma khayalanku saja!”

Tetap saja.  Aku tak bisa memenuhi harapannya—yang kutahu bukan sekedar canda.

Lulu mempererat dekapannya di lenganku, kudengar suaranya menyendu, “Bagiku tak apa salju tak ada, asalkan Kai selalu ada di sisiku.”

Aku masih diam.

“Aku hanya butuh Kai.”  Isak mulai menjejak masuk dalam kata-katanya.  “Hanya Kai saja.”

Aku tak tahan.  Akhirnya kukembalikan pandanganku padanya, menariknya ke dalam pelukanku sekali lagi, membenamkan wajahku pada ceruk bahunya.

“Kai tidak akan pernah meninggalkanku, kan?”

Tanpa perlu pikir panjang, aku mengangguk, “Aku janji.”

Karena aku membutuhkannya lebih daripada ia membutuhkanku.

Senyumnya terbit, membawa ketenangan kembali dalam dadaku, dan sisa hari itu kami jalani dengan senyum satu sama lain di sisi.


Pagi esok hariku tidak dimulai dengan omelan.  Gumam-gumam risau merayapi ruang.  Bisik-bisik cemas terasa di udara.  Ada yang tak beres.  Dan benar saja.  Tak lama, Tetua mengumpulkan kami semua.  Beliau menyebut Badai Panas akan tiba tak lama lagi, membuat kami semua tercekat.  Ini memang bukan yang pertama kali.  Selalu ada saat-saat ketika Panas Inti menggelegar lebih kuat dari biasa dan sebagian menembus melewati celah-celah tipis pada Selubung.  Dan meski kami selalu selamat melewatinya, ketakutan tak pernah lepas dari kami.  Trauma kami akan Ledakan Panas terlalu besar membekas dalam ingatan kami.

Tanpa menyiakan lebih banyak waktu, kami semua segera berpencar, terutama para Pembisik, mereka mengirimkan bulir-bulir suara untuk menyampaikan pesan itu bagi seluruh penduduk negeri, memberitahu mereka untuk berlindung.  Aku melajukan kakiku keluar.  Pikiranku dipenuhi wajah Lulu.  Ini hari Sabtu, dan ia selalu pergi memetik buah-buah berry yang hanya tumbuh hari itu di Hutan Tepi yang berbatasan langsung dengan Selubung.  Aku harus sampai di rumahnya sebelum ia berangkat.

Atap rumahnya yang berwarna merah bata menyala terlihat.  Aku mempercepat lariku, berhenti tepat di bawah jendela kamarnya, dan berteriak memanggilnya.

“Lulu!” 

Tak ada jawaban.  Tak ada tangan mungilnya bergerak membuka daun jendela.  Tak ada wajahnya melongok keluar.  Tak ada senyumnya menyambutku. 

Rasa panik menyergapku, menyebar dalam tubuhku seperti racun.  Kembali aku berlari, menghalau panas yang mulai menguapi udara di sekelilingku, mengabaikan teriakan-teriakan para Pembisik yang menyuruhku untuk kembali.  Sulur Panas semakin kuat kurasakan mencengkeram kulitku.  Sudah dekat waktunya.  Tapi aku tak peduli.

Aku harus menemukannya.  Harus.

“Lulu!”

Aku sampai di Hutan Tepi, dan apa yang kulihat membuat dadaku seolah dihantam batu besar.  Ia ada di sana.  Terbaring di antara semak-semak berry, tampak tak sadarkan diri.  Aku berlari ke sisinya, mengangkatnya ke pelukanku.  Kurasakan tubuhnya melemah di lenganku.  Kulitnya kemerahan, nyaris melepuh.  Wajahnya pias.  Napasnya dangkal.  Nyeri tak terkira kurasakan.  Melihatnya terluka adalah salah satu hal yang paling tak kuinginkan.  Kuangkat ia lebih dekat padaku, kubisikkan namanya perlahan dengan gemetar, memohonnya untuk bangun.

“Kai…?”

Matanya terbuka dalam garis tipis, dan aku melenguh lega karenanya, mendekapnya erat, seolah melepaskannya akan membuatku kehilangannya selamanya.

“Shh, sudah tidak apa-apa,” kataku dengan nada lembut untuk menenangkannya, hendak mengangkatnya dari tanah.  “Aku ada di sini.  Kita pulang sekarang.”

Ia tersenyum lemah, mengangguk.  Kugendong ia di dadaku, memastikan tiap permukaan kulitku terlapisi dingin untuk melindunginya.  Aku menggerakkan kakiku untuk meninggalkan tempat itu—sebelum jatuh terjerembab.

Aku menoleh, dan kulihat Sulur Panas mengelilingi kakiku.  Sulur itu lebih tebal dan nyalang dari yang pernah kutahu, membara dalam merah yang berpendar mengancam, memerangkap pergelangan kakiku bagai jemari-jemari besar yang kuat.  Aku meraung ketika kurasakan panasnya begitu tajam menembus kulitku, seolah mencapai tulangku.

Ini aneh.  Meski tidak dapat sepenuhnya disebut tak terlihat, Sulur Panas tak pernah tampak sepadat ini.  Selama ini Sulur hanya tersadari daam bentuk percik-percik panas di sela udara di sekeliling kami, merambat dalam uap tak terlihat di antara kaki-kaki kami.  Tapi tidak pernah senyata ini. 

Sulur Panas seharusnya tak berwujud.

Kubawa pandanganku menelusuri sepanjang Sulur, berusaha mencari sumbernya, dan mataku membelalak tak percaya.  Sulur itu berpangkal pada celah di Selubung.  Tidak, bukan sekedar celah yang ada di sana, tapi retak.  Retak besar hingga membentuk lubang yang kasat mata.  Kulihat Sulur itu berusaha mengikis tepi-tepi retak itu sedikt demi sedikit, memperbesar diri menjadi kobaran.

“Lulu, lari!”

Ia ketakutan, namun tak beranjak dari tempatnya.  Ia mencengkeram punggungku, menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Aku tidak mau meninggalkan Kai!”

Aku terperanjat.  Aku akan senang mendengarnya seandainya kami tidak sedang dihadapkan pada Sulur yang siap melalap habis kami tanpa pandang bulu.  Tapi keselamatannya adalah prioritas satu-satunya bagiku.  Aku sudah membuka mulut untuk menyuruhnya pergi lagi, ketika salah satu jemari Sulur mengarah pada kami.  Kutarik Lulu ke belakang punggungku untuk melindunginya, dan kurasakan bara memecut wajahku.  Lulu memekik.  Robek besar muncul di pipiku, mengucurkan darah segar.  Belum juga aku terbiasa dengan rasa sakit itu, dan satu lecutan kembali menghajarku, kali ini mengoyak lenganku.

Lecutan-lecutan itu terus datang, dan aku mati-matian berusaha menghalaunya dengan melemparkan keping-keping beku ke arahnya, mengerahkan segenap Energiku.  Tapi Sulur itu lebih kuat.  Keping-keping bekuku dengan mudah dihancurkannya, kembali melecutku.  Membentuk luka-luka besar pada lenganku, tungkaiku, sisi tubuhku, melemahkanku dengan seketika.  Merah pekat menghiasi tubuhku, tapi aku berusaha tetap berdiri di atas dua kakiku, menamengi Lulu, menolak untuk membiarkan terluka lebih jauh.  Kusadari Sulur itu semakin menebal, bergulung bagai ombak api.  Retak itu telah membesar. Tepi-tepinya bergetar rapuh, menghantarkannya lebih jauh ke permukaan Selubung, seolah hendak meruntuhkannya.

Kalau begini terus, seluruh negeri akan terbakar.  Seisi negeri akan musnah.  Dan aku akan kehilangan Lulu.

Kupalingkan pandanganku, dan kudapati Lulu menatapku.  Ketakutan jelas terpeta di garis parasnya, matanya disaputi air mata, bibirnya bergetar dalam cemas yang tak terucap, dan kedua tangannya masih tak melepaskan pegangannya dariku.  Aku tak suka melihat sedih terlukis di wajahnya.  Aku tak suka perih merusak teduh matanya.

Aku ingin senyum itu selalu ada di sana.

Perlahan, kubuka kaitan jemarinya dari punggungku dengan lembut.  Ia menyadari apa yang hendak kulakukan, dan dicengkeramnya tanganku kuat-kuat, menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terisak.  Kugenggam sepasang tangan mungilnya, menyentuhkannya perlahan pada bibirku.  Dan dengan satu senyum lebar, kulepaskan ia.

Aku melangkah menghadang Sulur Panas itu, berjalan lurus padanya.  Lulu memanggil-manggil namaku, memohonku kembali.  Mendengarnya tersedu mengiris-irisku dari dalam.  Kupejamkan mata, menguatkan tekadku, berusaha agar tak goyah.  Seraya melangkah semakin merapat pada kumparan Sulur itu, kunyalakan beku dari dalam tubuhku. 

Pori-pori Energiku memang terlalu sempit.  Aku tak pernah bisa memancarkan titik-titik beku jauh dari permukaan kulitku.  Tapi sangat mudah bagiku untuk menyalurkannya pada tubuhku sendiri.  Ke bawah lapisan kulitku, menembus otot-ototku, melewati ikatan-ikatan tulangku, menyusupi pembuluh darahku, hingga menangkap jantungku.

Kubekukan seluruh tubuhku dengan meraup semua Energi yang kupunya, mengeraskannya dalam dingin yang tak pernah kucipta sebelumnya.  Kusisakan sedikit kesadaranku untuk mengangkat tungkaiku terus bergerak.  Sulur-sulur kembali menghajarnya, semakin garang seolah mengejekku, tapi tak lagi mampu menggoresku.  Tubuhku seolah kebal dengan perisai es yang melekat langsung di kulitku. 

Dan sampailah aku pada sumber retak itu.  Muntahan apinya berusaha mendorongku menjauh, tapi aku bergeming.  Aku tak akan mundur.  Tak akan.  Kutolehkan wajahku untuk terakhir kali.  Lulu berurai air mata, tangannya terjulur, memohon agar aku menyambutnya.  Sekali lagi aku tersenyum, dan kulambaikan tanganku padanya.

“Aku akan segera kembali.”

Dan dengan satu langkah terakhir, kusongsong retak itu.  Lulu menjerit, dan satu ledakan besar memenuhi langit.


Kai tak pernah kembali.  Kai berbohong padaku. 

Aku tak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.  Retak pada Selubung tertutup dengan lapis kristal di tempat Kai pergi, memadamkan semua Panas.  Negeri kami selamat.  Semua orang selamat.  Tapi aku tak akan pernah bisa bertemu dengan Kai lagi.

Tak bisa kutahan satu lagi butir basah menuruni pipiku. 

Kau bohong, Kai.  Kau bohong.  Kau bilang tidak akan pernah meninggalkanku.  Kau bilang kau akan selalu ada di sisiku.  Kau bilang—

Isakku mendadak terhenti.  Mataku terbelalak lebar.  Tidak, ini pasti cuma khayalanku.  Kugosok kedua mataku, berharap dengan begitu ilusi itu mereda.  Tapi tidak.

Salju itu ada di sana.

Aku membuka jendela kamarku dengan cepat, memanjat tepinya, menengadahkan wajahku.  Butir-butir salju turun dengan gerak pelan tanpa suara, menitiki gelap langit malam.  Putih.  Tanpa bayang.  Tanpa kelabu.  Tanpa cela.

Warna putih yang sesungguhnya.  Warna milik Kai.

Kuulurkan tanganku, membiarkan sebutir mendarat perlahan di telapakku.  Dingin, sebagaimana yang diceritakan padaku tentang salju.  Tapi ketika aku menggenggamnya, kurasakan kehangatan menjalari ujung-ujung jemariku, menyelubungiku.  Menenangkanku, seperti yang selalu kurasakan ketika Kai mendekapku.  Dan, tahulah aku.

“Senang bertemu lagi denganmu, Kai.”


Malang, 29 April 2012
05:42

A/N: Written for Fantasy Fiction Competition 2012. And yes, dear Exotics, it's that 'Kai' and 'Lulu' #pentingbanget #plak =))

6 comments:

Sebut Saja Kacang said...

Mukyaaaa ceritanya cantik XD Dan seperti biasa ya, Unnie spesialisasinya sad ending =)) #heh
Anyway karena aku bukan Exotic, Lulu itu siapa tah? *nyengir polos*
Seneng baca cerita yang cantik kayak gini lagi. Awal, isi, dan akhir yang saling mengisi. Aku suka cerpen-cerpen bikinan Unnie.
Can't wait for your next and next, Unnie XD Saranghae~ XD

Sebut Saja Kacang said...

Coba-coba cari tahu, Lulu itu Luhan-kah? :D

キアリ said...

Omo, ada jagiya XD *hug&squish* XD Euh, saya ga bisa bikin happy ending, kakak #plak =)) Gomawo, jagi. Aku semacam lagi hiatus dari nulis, but I'll try writing again soon. Makasih banyak udah baca&komen, really made my day ;A; *nangis terharu*

P.S. Yep, Lulu itu kuambil dari nickname-nya Luhan. Aku paling ga bisa mikir nama buat karakter ceritaku, dan pas nulis ini pas lagi dengerin salah satu lagu EXO yang cantik, jadi yah... begitulah =)) Tapi terserah yang baca sih nganggap Lulu di sini cewe atau cowo #eh =))

pratiwi407 said...

wahhhhhh ceritanya bagussss>< apa lagi main char nya kai oemji. tapi aku sedikit gimanaaaaaa gitu yah sama kai-lulu. hahaha jujur aja aku bukan penyuka yaoi. eh tapi ini termasuk yaoi gak yah?^^v tapj keseluruhan ceritanya bagus kok.

キアリ said...

@pratiwi:

Hi there (^_^)/ Well, it's not actually yaoi kok. Pada dasarnya waktu bikin kerangka cerita, Lulu itu kurancang jadi cewe, tentu aja. Kalo Kai sih emang kubayangin sebagai Jongin selama aku nulis. As in Lulu, I just think the name's sweet dan cocok sama tokoh ceritanya, hehe. Makasih ya udah baca&kasih komen *hugs* XD

Unknown said...

oh my god
such a beautiful story kak..

"Perlahan, kubuka kaitan jemarinya dari punggungku dengan lembut. Ia menyadari apa yang hendak kulakukan, dan dicengkeramnya tanganku kuat-kuat, menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terisak. Kugenggam sepasang tangan mungilnya, menyentuhkannya perlahan pada bibirku. Dan dengan satu senyum lebar, kulepaskan ia."
ASDFGHJKL
yaampun kak lulunya kak gak kuat kasian ih duh nyesek masa huhuhuhuhu...yang dia gelengin kepala ituloh....

"Lulu berurai air mata, tangannya terjulur, memohon agar aku menyambutnya. Sekali lagi aku tersenyum, dan kulambaikan tanganku padanya."
makin nyesek lagi...tangannya terjulur aduh kak T^T

dan di endingnya gatau kenapa mendadak nangis.
“Senang bertemu lagi denganmu, Kai.”

intinya keseluruhan dari cerita ini indah kak..iya bener indah banget duh suer aku jarang banget bilang fanfic itu indah..tp serius bagian mereka bareng itu indah banget kak aku bayanginnya....terutama karakternya lulu..dan kai yg ngelindungin dia bgt duh lopelope mereka berdua haha

KAK KIA THANK YOU SO MUCH FOR THIS BEAUTIFUL STORY..ESPECIALLY KAIHAN HEHEHEU I LOVE YOU KAK..I KNOW YOU'RE SUCH AN AMAZING WRITER <333333

ps: bikin kaihan lagi dong kak lol