Musik mereda. Bunyi gerak berhenti.
Aku melangkah keluar dari tempatku
dalam langkah hening, berjalan mendekati pintu ruang aula yang separuh tertutup
itu dengan sama perlahannya, berusaha
tak membuat satu pun gemerisik pada jejakku.
Kuletakkan sekaleng jus buah persik itu di dekat sepasang sepatu di sana
dengan hati-hati. Mendadak, kurasakan
wajahnya menoleh. Aku terperanjat, dan
cepat-cepat kutarik tanganku, segera berlari menjauh. Aku berhasil menghilang dari pandangannya
tepat sesaat sebelum ia mencapai tempatku semula berada. Hampir saja.
Aku mengintip dari balik dinding yang
menyembunyikanku, melihatnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari,
sebelum akhirnya berjongkok dan memungut kaleng itu. Ia memandanginya sesaat, lalu tersenyum. Rona kemerahan merekah di kedua pipiku, dan
terus kuperhatikan ia hingga ia membuka kalengnya dan meneguknya, seraya
memasang sepatunya, melangkah menjauh dari tempat itu, masih dengan peluh di
wajahnya.
Lagi-lagi, hanya itulah yang bisa
kulakukan. Aku tak pernah punya
keberanian untuk menyapanya secara langsung, terlebih bicara padanya. Sudah begitu lama aku berhenti bergantung
pada suara untuk berkata. Sudah begitu lama
aku lupa cara menganyam kalimat untuk menyampaikan maksud. Aku terlalu takut akan penghakiman mereka
jika aku membuat salah pada ucapku.
Sudah cukup segala hardik itu memecutku.
Sudah cukup segala lebam itu menandaiku.
Lebih aman bagiku bersembunyi di balik diam, karena cakap dan bincang
hanya akan melukaiku. Karena tiap vokalku
hanya akan tersia-sia.
Tapi ia berbeda. Ia mampu mengungkap bahkan tanpa kata.
Sore itu aku terburu-buru kembali ke
sekolah, hendak mengambil partiturku yang tertinggal. Hingga kusadari ada orang lain di sana, dan
alun musik lain menyertainya. Dan ketika
kubawa pandanganku ke dalam, seketika aku terperangkap. Terhisap pada keberadaannya.
Tiap ayun tangannya seolah meniti
nada, tiap langkahnya seolah berdansa dengan irama. Tiap geraknya bercerita.
Ia tak bicara. Ia bahkan tak terlihat sadar akan
sekelilingnya. Ia bagai tenggelam dalam
dunianya sendiri, yang hanya didiami musik dan geraknya. Tapi di mataku, ia seolah berkisah. Senang dan sedihnya kuketahui dari caranya
menari menyahuti tiap denting nada yang melatarinya.
Dan aku tak tahu bagaimana caraku
mencapainya, maka kuletakkan sekaleng jus persik itu di sana sebagai pengganti
semua yang tak mampu kuucapkan. Awalnya
kupikir ia akan mengacuhkannya, atau membuangnya, menganggap pemberian
diam-diam adalah sesuatu yang memuakkan.
Tapi kemudian ia meraihnya, dan selalu tersenyum setelahnya. Satu lagi hal yang membuatku tak bisa tak
kembali tiap senja tiba.
Satu-satunya waktu kulihat ia
menampilkan wajahnya yang seperti itu.
Begitu tenggelam dalam kesungguhannya ketika menari, dan begitu lembut
ketika ia menyudahinya dengan meneguk sari manis itu untuk menghapus
dahaganya. Di lain waktu, ia hampir
selalu terlihat bosan. Ketika di kelas,
ketika jam istirahat, terutama ketika segerombolan wajah itu berusaha mencari
perhatiannya. Mereka tak bisa
disalahkan. Ia memiliki aura keberadaan
yang begitu kuat untuk dielakkan.
Sosoknya begitu kokoh menjulang.
Dan ia memiliki kepekaan pada bunyi—satu lagi kelebihannya yang kutahu
dari bisik-bisik pengagumnya, yang membuatnya begitu leluasa menari, dan
menjatuhkan lebih banyak sosok dalam pesonanya.
Tapi yang kupahami, ia tak peduli
dengan segala perhatian itu.
Pandangannya hanya sepenuhnya terjaga ketika musik mulai berdetum dan ia
mengangkat sendi-sendinya membentuk satu untai gerak untuk menyandinginya. Terlebih beberapa waktu terakhir, ketika ia
berlatih dengan lagu yang sama berulang-ulang.
Kudengar tak lama lagi ia akan mendapatkan kesempatan mendapatkan
cita-citanya, untuk menari di atas panggung yang lebih besar, di hadapan lebih
banyak orang. Dan sekali lagi,
kuletakkan sekaleng jus persik itu untuk mewakili ucapan “selamat berjuang”
yang terperangkap di dasar rongga pembunyiku.
Hingga kemudian kuketahui satu sisi
lain darinya.
Langit sudah berlabur jingga, bel
tanda akhir jam sekolah sudah lama berlalu.
Aku berjalan di antara batang-batang jangkung bunga matahari pada salah
satu sudut di halaman belakang sekolah—tempat persembunyianku yang lain. Aku sedang asik mengitari dan menyirami
mereka seraya menikmati ketenangannya, ketika satu suara itu membuatku mendadak
lupa cara bernapas.
“Wuah,”
Peganganku terlepas. Air merembes keluar dari penyiram yang jatuh
di depan kakiku. Seluruh tubuhku
kaku. Pikiranku mati rasa. Aku bahkan tak mampu memerintah kakiku untuk
lari ketika suara itu mencapai sisiku, mengungkapkan kekaguman. Ia membelai rekahan kekuningan itu dengan
salah satu tangannya, dengan tangannya yang lain menenteng kaleng jus persik
yang terbuka—yang kutinggalkan beberapa saat lalu.
“Kau yang merawatnya?” tanyanya, menoleh padaku, masih dengan nada
takjub. “Keren. Aku baru tahu bunga matahari bisa tumbuh
sebesar ini. Bahkan lebih tinggi darimu. Aku sampai hampir tak melihatmu tadi.”
Ia menyuarakan tawa ringan. Seandainya kepalaku tidak mendadak riuh
dengan panik dan wajahku tak pias akan gugup, aku yakin aku bisa menikmati
mendengar bunyi tawanya sepanjang hari tanpa bosan. Ia berhenti ketika menyadari aku tak juga
menyahut, bahkan tidak menatapnya, menundukkan wajahku dalam-dalam, mencengekeram
ujung seragamku dengan tangan gemetar.
Sekali lagi ia tertawa, lebih lepas kini, dan tangannya tersodor di
hadapanku.
“Park Jongin,” katanya, seraya
tersenyum, “sekarang kau tak perlu takut karena mendadak diajak bicara oleh orang
asing, kan?”
Aku masih saja tak tahu harus menjawab
apa. Aku bahkan tak dapat merasakan
kedua tangan dan kakiku. Pikiranku
gaduh, saling berdebat bagaimana seharusnya aku menyahut, sementara mulutku
bergerak terbata-bata tanpa suara.
Tangannya masih di depan mataku, menungguku menyambutnya. Tapi aku tak bisa. Kugigit bibirku, mengutuki diriku
sendiri. Ia pasti kesal. Ia pasti menganggapkau aneh. Kedua mataku mulai mengabur, dan sebulir air
mata hampir menuruni pipiku, ketika kudengar ia terkekeh.
“Kau pemalu, ya,” ia mendaratkan
tepukan halus di puncak kepalaku. Ia
membungkuk untuk mengambil penyiram yang kujatuhkan, dan mengembalikannya
padaku. “Sebaiknya kau segera pulang, sudah hampir malam.” Ia menyimpul satu senyum lagi, tanpa kernyit
kesal di sana, seraya melambaikan tangannya, beranjak menjauh. “Sampai ketemu lagi—“ Matanya mengerling
sematan huruf di dadaku sebelum melanjutkan, “—Moon Sora-ssi,”
Rasa panas seketika menjalari kedua
pipiku. Golak yang tak pernah kukenal
sebelumnya bergerak dalam perutku. Sudah
begitu lama aku tidak mendengar namaku disebut, dan kini suaranya yang dalam
itulah yang melantunkannya. Ketika
akhirnya kudongakkan wajah, punggungnya sudah menjauh. Penyesalan besar segera menderaku. Kupukul-pukul sisi kepalaku, memarahi diriku
sendiri dengan omelan tanpa suara. Bodoh
kau, Sora, bodoh. Ia sudah berada begitu
dekat, begitu dekat, dan tetap tak
satu kata pun bisa kuucapkan.
Tapi sekali lagi, ketidakmampuan dan
ketakutanku lebih kuat membenamkan keinginanku, membuatku terus berteman dengan
bungkam.
Maka kubiarkan segalanya tetap
tersimpan di balik kaleng-kaleng jus persik itu, esok sorenya, dan banyak sore
setelahnya kemudian. Beberapa kali aku
sempat tanpa sengaja bertemu pandang dengannya di halaman sekolah, tapi aku
segera menunduk dan memalingkan langkahku menjauh. Tiap kali ia tampak mengenaliku, aku akan
mengubah arahku bahkan sebelum ia sempat membuka mulut menyebut namaku.
Rasanya menyakitkan. Rasanya menyesakkan. Hanya bisa bersembunyi dalam diam yang
kugantikan dengan pemberian-pemberian tanpa nama itu. Tiap kali aku hendak memberanikan lidahku
mengukir kata, ketakutan itu kembali menghantuiku. Kenangan akan sanggah dan hantam yang
mengikuti ketika aku berusaha bicara mencengkeramku.
Aku mendesah berat. Aku lelah.
Aku butuh sesuatu untuk meringankan gumpal kusut dalam kepalaku. Maka ketika lonceng pertanda istirahat siang
bergema, aku pun bergegas menuju aula, tempat piano besar itu berada. Sebagaimana kutahu Jongin selalu melampiaskan
segala yang dirasakannya tiap sore di ruangan itu, aku selalu melabuhkan diriku
pada tuts-tuts itu ketika tak ada seorang pun di sana.
Mendengarkan dentingan yang mengalir
keluar ketika kuayunkan jemariku membuat perasaanku kembali lapang. Gemanya yang halus menenangkanku, dan aku
memejamkan mata menikmati jernih yang dibawa irama itu ke dalam pikiranku.
“Oh, di sini kau rupanya,”
Aku tercekat. Kedua mataku mendadak terbelalak
membuka. Sebelum aku sempat membuat satu
pun gerak, tubuhku telah ditarik berdiri pada kerahku. Punggungku terhempas pada sisi piano, dan aku
tersedak ketika cengkeraman itu menyudutkanku.
Di hadapanku, wajah-wajah itu menyeringai mengelilingiku, memerangkapku.
Tak ada belas kasihan di sana. Tak
pernah sekalipun.
“Sora-ya, mana uang yang kau
janjikan?”
Suara itu keji, menusuk pendengaranku. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tak memilikinya. Dan aku mengernyit perih ketika tubuhku
sekali lagi dibenturkan, diikuti bentak keras.
Aku tahu. Aku terlalu tahu. Bahkan sekalipun aku memilikinya, mereka akan
tetap menyakitiku. Sekalipun bukan
uanglah yang mereka ingin rampas dariku, mereka akan tetap melukaiku.
Jambakan keras kurasakan, wajahku
dipaksa menengadah, menatap langsung nyalang di matanya. Ia membentuk senyum ejek, mengernyit jijik
memandangku. Di mata mereka, aku tak lebih
dari seorang yang janggal. Aneh. Karenanya boleh diperlakukan sesuka
mereka. Dan seperti yang sudah mereka
pahami, aku tak pernah melawan.
“Kau memuakkan,”
Tangannya terangkat tinggi, terarah
langsung ke wajahku. Kedua tanganku
ditambatkan oleh pegangan yang menyakitkan di sisi tubuhku. Kupejamkan mataku, bersiap menghadapi rasa
sakit itu mencapaiku. Tak ada jalan
bagiku untuk lari. Dan tak ada suara
bagiku untuk meminta mereka berhenti.
“Apa yang kalian lakukan?!”
Suara itu menggelegar memenuhi udara,
membuat hening mendadak turun memenuhi ruangan, menghentikan segala gerak. Pedih itu tak sampai padaku. Kubuka kembali kedua mataku dengan
takut-takut, dan kulihat ia di sana.
Jongin.
Seolah mendengarku memanggilnya dalam
kepalaku, ia bergegas dalam langkah cepat menuju ke arahku. Tangan-tangan yang semula memborgol dan
mencekikku serta merta terlepas, dan mereka seketika mundur dariku. Jongin menatapi mereka dengan pandangan
marah, menuntut penjelasan, satu lengannya terentang menamengiku. Sebagaimana mereka pandai memberiku alasan
untuk membenarkan tiap maki dan dentam mereka di tubuhku, mereka pun segera
merentet sanggahan—terbata-bata. Jongin
tak tampak senang dengan jawaban mereka, menghadiahi mereka dengan tatapan yang
lebih garang dari sebelumnya. Akhirnya,
tanpa tahu apa lagi untuk dikatakan, mereka memutuskan lebih baik pergi dari
sana, menjauh dari kilat mata Jongin yang seolah bisa melenyapkan mereka jika
tak segera menyingkir.
Kurasakan kedua lututku lemas, dan aku
jatuh terduduk. Wajahku menunduk,
napasku terengah. Lega kurasakan, namun
ada kegelisahan yang lebih besar menyusupinya.
Jongin merendahkan tubuhnya hingga berjongkok di hadapanku—dan aku
refleks memalingkan wajahku. Kudengar ia
mendesah. Ada sisa-sisa kemarahan menyertainya. Tanpa mengindahkan tatapanku yang kubuang
dengan gamblang darinya, ia meraih lenganku.
“Tanganmu terluka.”
Ia menyeka lecet itu dengan ujung
lengan kemejanya, begitu perlahan. Aku
terus menunduk, membiarkannya membersihkan lukaku. Aku tak seharusnya diperlakukan sebaik
ini. Tidak ketika aku selalu menunjukkan
keengganan yang disengaja padanya, bahkan tanpa ia tahu alasan di baliknya. Tapi, suara jujur dalam benakku mengungkap
syukur atas kehadirannya kini di hadapanku.
“Kau seharusnya melawan,”
Aku tersentak. Suara itu dilumuri ketidaksenangan yang
terlalu nyata untuk kuanggap khayalan. Aku
mendongak, dan kulihat pekat yang tak pernah kutahu sebelumnya dalam
matanya. Ia marah. Kemarahan yang sama sekali tak sebanding
dengan yang ditampakkannya pada mereka yang melukaiku. Dan itu ditujukan lurus-lurus padaku.
“Kau seharusnya tidak mengalah begitu
saja,” ia berkata lagi, nadanya dingin.
Tangannya masih mengusap lukaku, tapi tatapannya tajam, tak ada
keramahan seperti yang ditunjukkannya sore itu, “kau tak akan mendapatkan apa
pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”
Aku mengepalkan tanganku hingga
jari-jariku memutih. Kata-katanya menyakitiku
jauh lebih perih ketimbang segala hantam yang pernah didaratkan padaku,
menggoreskan luka lebih dalam daripada semua lebam yang pernah diukirkan
padaku. Sekalipun begitu, aku tetap tak
mampu menyahutinya dengan apa pun. Aku
mendengarnya mendesah, dan menjauhkan pandangannya dariku.
“Kau masih juga tak mau bicara?” ia memberi jeda, menungguku. Dan ketika aku tak juga membuka suara, ia
akhirnya kembali mengucap, dengan nada yang runcing menghujamku. “Aku benci pengecut.”
Aku mendadak menepis pegangannya dari
tanganku, menarik tubuhku menjauh darinya.
Aku mendongak, menatapnya dengan kedua mataku yang disaputi air
mata. Ia tampak terperanjat untuk
sesaat, dan ketika ia hendak membuka mulutnya, aku bangkit berdiri. Aku berlari.
Terus berlari. Menjauh
darinya. Menjauh dari pegangannya. Dari tatapannya. Dari suaranya. Dari segala hal tentangnya.
Jongin tak akan pernah paham. Tak seorang pun akan pernah paham. Mereka tak pernah tahu bagaimana suaraku
telah dibunuh bahkan ketika aku masih begitu belia. Bagaimana mereka mengatakan tak ada guna aku
bicara. Bagaimana mereka kemudian
menganggapku tak ada, sebagaimana bagi mereka suaraku tak terdengar, seberapa
pun aku menjerit meminta mereka berhenti saling maki, berhenti saling
menyakiti, berhenti mengabaikanku…
Esok harinya, aku begitu enggan datang
ke sekolah. Langkahku gontai. Mataku sembab. Kepalaku berat. Aku ingin terus berbaring di kamarku,
berlindung di bawah selimutku, seolah dengan begitu aku terjauhkan dari segala
yang hendak menyakitiku. Tapi berada
lebih lama di rumah tak berarti lebih aman bagiku, maka aku tak punya pilihan
lain. Aku hanya berharap tak perlu tanpa
sengaja berpapasan dengan Jongin. Aku
tak akan tahu harus bersikap bagaimana.
Aku tak akan tahu cara membuat diriku bicara. Dan luka besar itu masih terasa begitu segar
dalam dadaku.
Namun ketika aku sampai di gerbang
sekolah, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Ada keriuhan yang tak biasa. Banyak
murid-murid berkeliaran di luar kelas, sebagian besar mengarah pada aula. Kehebohan semacam itu hanya berarti satu hal:
Pementasan. Ketika beberapa murid
menampilkan keahlian mereka di hadapan beberapa ahli di bidangnya, seringkali
industri seni. Jika beruntung, akan ada
sebagian yang direkrut menjadi trainee,
satu langkah awal menuju pementasan yang lebih besar. Panggung di hadapan ribuan penonton, dengan
lampu benderang yang menyorot, dengan tepuk dan puji digemuruhkan.
Dan Jongin adalah salah satu di
antaranya.
Aku mendengar namanya dipanggil. Ia tampak setenang biasa, meski selarik tipis
kegugupan tampak pada matanya. Ia
mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menunjukkan tekadnya yang tak
tergoyahkan. Aku tersenyum kecil. Pedih masih kurasakan, tapi dalam diam aku
mengucap semoga berhasil. Kupalingkan
wajahku dari panggung, hendak pergi dari ruang yang mulai sesak oleh penonton
itu. Aku sudah cukup banyak melihatnya
menari. Dan aku sudah lebih dari sekedar
paham bagaimana kerasnya ia berlatih demi mencapainya. Ia akan baik-baik saja. Biar aku pergi untuk menenangkan diriku—
Ada yang tidak beres. Langkahku dihentikan bisik-bisik resah,
menyebar semakin luas menjadi gumam-guman gelisah. Dan kenapa musiknya tidak segera
dimainkan? Aku kembali menoleh ke arah
panggung. Jongin berdiri di sana,
berkali-kali menengok pada operator yang bertugas menjalankan lagu
pengiringnya. Tapi ia menjawab Jongin
dengan gelengan lemah, pertanda menyerah.
Raut wajah Jongin mengeras, ia seolah kehilangan fokusnya. Ia telah mengulangi geraknya bersama lagu itu
berkali-kali, berulang-ulang, hingga tiap detiknya seolah terpatri pada tiap
syaraf tubuhnya. Tapi tanpa lagu, ia tak
akan mampu bergerak. Tanpa irama, ia
kehilangan keseimbangannya.
Dan tanpa tari, ia akan kehilangan impiannya.
“—kau
tak akan mendapatkan apa pun dengan diam tanpa melakukan apa-apa.”
Tanpa sepenuhnya kusadari, aku telah
menerobos penonton yang bergerombol rapat di depanku. Melewati deretan-deretan kursi yang penuh
sesak dengan langkah-langkah cepatku, tanpa menoleh, tanpa mengucap maaf ketika
tanpa sengaja menyandung, tanpa mengindahkan dengung-dengung bingung dan peringatan-peringatan
yang diarahkan padaku. Aku memanjat naik
ke panggung, membawa diriku pada piano di sisi lain panggung, piano yang selalu
kumainkan. Kududukkan diriku di
depannya, jemariku terentang, bersiap di atas tiap lajur hitam dan putih itu.
Aku sudah berkali-kali mendengar
lagunya, sebanyak aku memperhatikan geraknya.
Nadanya terpeta dengan begitu jelas di kepalaku, bergaung dalam
ingatanku. Kutolehkan wajahku padanya,
mengisyarat tanpa ucap. Jongin tampak
terperangah tak percaya, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, tapi kemudian
ia mengangguk padaku—senyumnya kembali.
Dan kulantunkan lagu itu dengan
tanganku. Bersama dengannya mengisahkan cerita
dengan geraknya. Mataku terpejam,
tenggelam dalam irama itu. Dalam jarak
yang begitu dekat, kudengar senandung ketuk kakinya menimpali tiap titi nada
yang kumainkan. Bersahutan, saling
mengiringi, seolah tiap not dicipta untuk ditarikan olehnya, tiap hentak
dibentuk untuk disuarakan oleh melodinya.
Hening menguasai ruangan. Waktu seolah berhenti. Hanya ada musikku dan geraknya, bagai
bergandengan erat dalam dansa. Mengitari
masa itu tanpa usikan yang mampu mendekati.
Dan dalam menit-menit yang tak kurasa,
tanganku berhenti mengayun, langkahnya berhenti berbunyi. Kami sampai pada akhir lagu. Mataku membuka perlahan, dan kesadaranku
perlahan kembali. Apa yang sudah
kulakukan? Aku menoleh cepat ke arah
penonton, mendadak panik akan perbuatanku.
Tapi yang kulihat adalah wajah-wajah yang seolah menahan napas,
kemudian, seolah dikomando, serentak mereka berdiri. Satu tepuk, dua tepuk, hingga seluruh ruangan
dipenuhi gemuruh tangan-tangan yang menepuk begitu keras. Siulan, eluan, dan seruan kagum mengikuti di
antaranya. Aku kebingungan, terkejut
dengan reaksi itu. Kutengokkan wajahku
pada Jongin, dan kulihat ia tersenyum lebar padaku. Senyum yang tak pernah kulihat
sebelumnya.
Seluruh wajahku serta merta memerah
seolah terbakar. Aku bangkit berdiri, membungkuk
terburu-buru pada penonton dengan kegugupan mencapai ubun-ubunku, dan segera
melarikan diriku turun ke belakang panggung, melewati tangan Jongin yang hendak
menghentikanku.
“Sora!”
Kucengkeram dadaku yang terasa begitu
sesak dengan jantungku yang bagai siap melompat keluar melewati rusukku kapan
saja, mempercepat langkahku. Aku baru
berhenti untuk memberi kesempatan bagi diriku bernapas ketika aku sampai di
kebun bunga matahariku, berjongkok di antara batang-batang besarnya,
terengah-engah di bawah naungannya.
Dalam kepalaku, suara-suara itu saling
beradu, mempertanyakan satu hal yang sama: bagaimana
aku bisa melakukannya? Aku tak
pernah mampu mengutarakan keinginanku, terlebih menampilkan diriku secara
gamblang. Dan di depan banyak pasang
mata seperti itu. Bahkan hingga hari itu
berakhir, aku masih tak dapat mempercayai tindakanku sendiri.
Tapi di antara engah dan kebingungan
itu, aku tersenyum.
Aku terus diam di tempat itu untuk beberapa
saat, merasa seluruh energiku telah terpakai untuk membentuk keberanianku
sesaat lalu. Ketika tanah di bawahku
telah disepuhi labur jingga, barulah aku sadar aku telah terlalu lama berada di
sana. Aku menengadah, dan kulihat senja
sudah kembali ke langit. Pengingat akan
satu hal yang tak pernah kulupa. Kurogoh
tasku, dan kuraih sekaleng jus persik dari dalamnya.
Mungkin ia tak akan ada di sana. Ia telah menampilkan segala hasil kerja
kerasnya, dan aku yakin tak ada tolak yang didapatnya. Mungkin ia merasa tak perlu kembali berlatih
hari ini. Dan jus persik ini akan
sia-sia. Tapi aku telah begitu lama
melakukannya. Meletakkannya di depan
pintunya sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa kulepas, sebagaimana mataku tak
bisa berhenti memperhatikannya, seberapa pun menyakitkannya itu bagiku.
Perlahan, kuangkat tubuhku
berdiri. Kutarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya, menenangkan pikiranku untuk terakhir kali. Kutepuk-tepuk kedua pipiku untuk menyemangati
diriku sendiri, lalu kulangkahkan kakiku ke tempat yang selalu kutuju tiap
sore. Aula itu sudah tak lagi
dipadati. Halaman depannya sepi tanpa
satu pun sosok terlihat. Dan benar saja,
tak ada musik yang terdengar. Tak ada
sepasang sepatu itu di sana. Tak ada
Jongin.
Aku berjalan lebih dekat pada ruangan
itu, yang pintunya terbuka lebar.
Kosong. Hanya ada piano yang
kumainkan beberapa waktu sebelumnya, yang mengantarkan suara
menggantikanku. Aku mendesah. Sudah kuduga.
Kubawa diriku masuk, menghampiri piano itu. Seraya menelusuri tuts-tutsnya dengan
jemariku, pikiranku memutar ulang segalanya.
Hari pertama aku melihat Jongin menari, detik pertama aku terpikat
padanya, kali pertama aku mendengarnya bicara, saat pertama ia menyebut
namaku. Mungkin, semua hal pertama itu
harus segera diganti dengan terakhir kali—
Tanganku berhenti, bersamaan dengan
pandangan mataku yang mendadak mengenali satu helai rekah di antara senar-senar
piano itu.
Bunga matahari.
Siapa yang meletakkannya di sana? Kujulurkan tanganku untuk meraihnya, dan
ketika aku telah menggenggamnya, kurasakan dua lengan merengkuhku dari
belakang. Aku panik, berusaha
menyembunyikan jus persik yang ada di tanganku, berusaha lari. Tapi dekap itu lebih kuat, mengikatku rapat
dalam pelukannya, menghalangiku untuk lepas darinya. Wajahnya bergerak merendah ke sisi kepalaku,
dan kurasakan napasnya yang panas di kulitku.
Suaranya yang dalam membelai pendengaranku. Sekali lagi, kurasakan getar aneh menyebar menelusuri
sendi-sendi tubuhku.
“Aku tahu itu kau,”
Aku terdiam, semakin erat kugenggam
kaleng itu di tanganku, seolah hendak melenyapkannya, menyanggah dengan
menghilangkan buktinya.
Bagaimana
ia bisa tahu?
“Aku mengenali suara langkahmu,”
lanjutnya, bagai membaca pikiranku, “aku peka pada bunyi, kau tahu?”
Aku
tahu. Tapi…
Sekali lagi aku berusaha menggerakkan
tubuhku yang terkunci rapat di antara kedua lengannya. Aku ingin lepas. Aku ingin lari. Tapi ia justru semakin mempererat dekapannya,
membawaku semakin dalam pada pelukannya.
“Jangan lari lagi dariku,”
Aku terkejut, tak memahami maksud
perkataannya.
“Aku selalu mendengar langkahmu yang
menjauh dariku,” suaranya begitu pelan kini, seolah berbisik. Tapi tiap katanya diikuti kesungguhan yang
tak berdusta, mengungkap harap yang seolah begitu lama tersembunyi. Ia mendesah, dan seraya merapatkan lagi
lengan dan sisi wajahnya menaungiku, getar suara itu kembali menyibak.
“Mulai sekarang, aku ingin mendengar
langkahmu yang datang padaku.”
Pandanganku mengabur. Kedua mataku diselimuti lapis tangis yang
hampir pecah. Satu perasaan yang begitu
besar membuncah dalam dadaku, menggantikan beban yang selama ini
menyesakinya. Dan meskipun kali ini aku
punya keberanian untuk bicara, aku tak bisa menemukan kata untuk
mengungkapkannya.
Dengan isak yang menggumpal di
tenggorokanku, aku mengangguk. Aku tak
akan lari lagi. Tidak untuk pergi
darinya. Tidak untuk menjauh darinya.
Kurasakan satu desah lagi disuarakannya,
kali ini diselimuti kelegaan yang begitu kentara, dan ia menguatkan
rengkuhannya padaku. Tanpa perlu melihatnya,
aku tahu ia tersenyum—menemani lengkung yang sama di wajahku.
“Oh, dan maafkan aku soal kata-kataku
waktu itu,” suaranya mendadak dipenuhi rasa bersalah, dan ia bergerak salah
tingkah. “aku bermaksud memberimu
sesuatu untuk menebusnya, tapi aku tak tahu di mana aku bisa membeli jus buah
persik. Aku juga tak tahu apa
kesukaanmu. Aku menebak kau suka bunga
matahari, tapi kurasa tak ada jus bunga matahari. Aku sudah menanyakannya ke banyak tempat dan
mereka terus mengira aku bercanda bahkan mengira aku bodoh. Jadi aku menyerah dan memutuskan memberimu
bunga mataharinya langsung, tapi aku tak tahu apakah itu cukup untuk—astaga,
aku sudah mengoceh panjang lebar, ya?”
Aku tertawa. Begitu lepas.
Begitu mudah. Kubalikkan badanku
menghadapnya. Mataku masih disisai
tangis, dan kedua pipiku masih terbakar merah.
Wajahku pasti tampak begitu konyol sekarang, tapi kuberanikan diriku
untuk menengadah, pertama kalinya menatap langsung ke dalam kedua matanya. Ia balas menatapku, mengunci pandangan
kami. Dan bersama-sama, senyum itu pun
terbit.
“Terima kasih.”
Kini, akhirnya aku bisa mencapaimu.
Malang, 5 Mei 2012
00:44
A/N: Originally written for Ufuk Romance Korean Wave Short Story Competition. And my 2nd attempt to actually write love story -____- And by the way, Jongin dances like this :D
3 comments:
#pertama kyaa...
Baby don't cry>> keren ta. Opss kenapa jadi komen Exo-nya ya..#cerpennya,ni..
Hihihi.. itu ta, aku tahu kau cukup berupaya membuat love story.. dan ternyata, bagus ta.. tapi tidak sekeren ceritamu yang Segenggam nafas, yang itu cintanya lebih kena feelnya. Sepertinya kau harus menambahi sedikit yang lebih serem-seram #plak. Tapi manis kok ta!
Endingnya, buat Sora ngomong lebih dong ah..
Dan terakhir.. buakaakaka, gak ada jus bunga matahari, adanya kuaci bunga matahari..
Bukannya lomba itu syaratnya cerpennya ga boleh dipublish ya Eon? Apa Eonnie ga jadi ikut lombanya?
Ceritanya lucu. Khas drama anak muda :)) Tapi buatku kekuatannya ga ada ahaha. Dan bacanya susah :P Gaya bahasa Eonnie emang berat sih ya :D
Overall, kwiyowo~~ Johasseo~~ Saranghae Eonnie. Sugohassumnida :3
@Tania:
Nyahahaha, aku dapat ide buat cerita ini habis liat video itu lho =)) #eaa
Muahaha,beneran ya ternyata, Ni, drama cinta bukan bidang saya =)) Mungkin kita memang udah terlalu tua buat bikin cinta-cintaan khas anak muda #halah Ntar kubikinin yang semacam berdarah-darah kayak Segenggam Napas lagi deh :"> #heh
Kuaci? =)) =)) *ngakak beneran* Sayangnya aku ga tau di Korea ada kuaci apa ga, kalo ada bakal kubuat Jongin nyari kuaci deh =))
Anyway, thanks for the comment, Ni! *ketcup* I'll try my best to write better stories next time :*
@Jagiya:
Omo, my beloved dongsaeng is here! :*
Iya, yang ini ga jadi kukirim karena kepanjangan dan aku sendiri ga sreg sama ceritanya, wakakakak... Jadinya aku bikin yang baru buat diikutin lombanya :D
Ah, keure yo? *catet* Sip sip, ntar kuperbaiki di cerita-cerita berikutnya ya :D
Makasih buat kritik&komennya, jagi. Means a lot to me :)
Na do jeongmal saranghae yo~~ :* :* :*
Post a Comment