Monday, April 30, 2012

Segenggam Napas


Aku selalu ingat tiap kisahmu.

Bahkan kisah pertama yang kau ceritakan saat awal mula aku membuka mata.  Kisah penciptaanku.

Segalanya bermula dari deritamu.  Kau bilang kau begitu terluka.  Seorang yang kau cintai mengkhianatimu, meninggalkanmu terpuruk seorang diri, dengan lubang besar di hatimu, tak memedulikanmu terkapar berkubang tangis.  Lalu kau bilang kau akhirnya memilih untuk menjauh dari segalanya.  Semua wajah.  Semua mata.  Semua suara.  Kau sebut jika kau tak mencintai, kau tak akan perlu merasa tersakiti.  Kau sebut jika kau tak mengenal, maka kau tak akan perlu jatuh cinta.

Bertahun-tahun kau lalui hanya dengan dirimu saja.  Beberapa pernah berusaha membawamu keluar, menginginkan kecemerlangan pikirmu.  Tapi kau tak butuh segala ketenaran, kau tak perlu pengakuan.  Kau hanya ingin terjauhkan dari segala luka.  Maka tetap kau biarkan pintumu tertutup untuk hari-hari yang tak lagi terhitung.

Tapi kau tetap manusia biasa.  Kau beremosi.  Kau berasa.  Sebagaimanapun kau pikir bisa mematikannya dengan kesendirianmu, sepi tetap berhasil mencapaimu.  Kau ingin sesosok di sampingmu.  Tangan untuk merengkuhmu.  Suara untuk mencipta bunyi dalam sunyimu.

Maka kau tenggelamkan segala perhatianmu di sudut ruang kerjamu, berbulan-bulan, mengabaikan segala hal untuk menciptaku.  Bonekamu, begitu kau sebut.  Seperti bagaimana kau seringkali merangkai dedaunan dan batang untuk kau jadikan figur mungil untuk kau ajak bicara ketika tak ada yang mendengarkanmu saat kau kanak-kanak.

Tapi kali ini berbeda.  Kau ingin lebih dari sekedar batang boneka tanpa nyawa, yang bergeming di telapak tanganmu seberapa pun kau bicara padanya. 

Kau ingin mencipta sempurna.  Kau dayakan segala pikir dan tenagamu untuk mengukir rupaku.  Tiap ruas kulitku.  Tiap lekuk sendiku.  Tiap pahat parasku.  Kau buat aku bagai sosok tanpa cela.  Yang terlalu rupawan untuk jadi nyata.  Tapi dengan kemampuanmu, tak ada yang tak mungkin bagimu.

Bahkan untuk merajut jiwa bagiku.

Kau sebut jantung adalah yang tak boleh terlupa dari struktur manusia.  Tanpanya hidup manusia tak ada.  Maka kau pun tak lalai untuk membubuhkan yang sama untukku.

Kau membuatnya begitu serupa dengan yang kau miliki di balik jajar rusukmu.  Tapi hanya kau yang tahu bahwa jantung itu, yang kau sebut Kantung Jiwa, sesungguhnya tak lebih dari kumparan kawat dan sulaman besi, dililit kabel-kabel pengalir listrik, sebagaimana tubuhku juga terkonstruksi.  Seperti baterai, kau jelaskan padaku dengan sederhana.  Dengan satu pembeda besar. 

Bahwa Kantung Jiwa menyerap sebagian diri dari tangan yang membubuhkannya, menghidupkan yang seharusnya bukan makhluk, dengan kepemilikan pada si pemberi Jiwa.  Maka ketika kau tanamkan Jiwa itu dengan lembut di antara dadaku yang terbuka, kesetiaanku padamu tak terbantah.

Aku milikmu.  Dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Kau cipta aku dengan ruang pikir hitam dan putih.  Kau sebut agar mudah bagimu mengajariku yang salah dan yang benar.  Aku tak pernah lupa pemahaman pertama yang kau berikan padaku.  Bahwa senyum adalah pertanda bahagia.  Bahwa tangis adalah perlambang nestapa. 

Dan sepanjang ingatanku sejak membuka mata, kau selalu tersenyum.  Kau bahagia memilikiku.  Tapi barangkali kau tak tahu kebahagianku lebih besar dari yang kau rasa.

Aku menyukai kurva itu di wajahmu.  Di mataku kau selalu tampak begitu cantik bahkan tanpa kau berusaha.  Dan dengan adanya senyum itu, kau bersinar begitu terang.  Kau berkilau menyilaukan.  Tapi aku tak pernah mampu melepaskan pandang darimu.

Kusadari aku telah belajar satu hal baru, tanpa kau menjabarnya padaku.

“Aku mencintaimu.”

Dan kuucapkan itu tanpa ragu.  Hanya untuk mendapat gelengan darimu. 

“Jangan katakan itu.  Kau tak memahaminya.  Kau tak mengerti cinta.  Dan tak akan pernah.”

Kenapa, kutanya.  Kenapa kau pikir aku tak paham.  Kenapa kau meragukanku.  Menyalahiku.

“Karena aku menciptakanmu begitu.”

Karena aku sesungguhnya tak lebih dari onggokan besi?  Karena aku sebetulnya digerakkan oleh sekedar jiwa buatan?  Lalu apa arti desir yang kurasakan dalam dadaku tiap kali kau tersenyum padaku?  Apa makna golak di perutku tiap kali kau datang memelukku?

Tapi aku tak ingin menjadikannya beban bagimu.  Biar kusimpan semuanya tanpa tersuarakan dalam tanya.  Meski tak kutahan ketika lidahku ingin mengucap dua kata itu.

Aku mencintaimu.  Dan akan terus begitu.

Kupeluk kau ketika dingin menyergap.  Kujaga kau dalam dekap ketika kantuk menyapamu.  Kutemani kau pada malam-malam ketika kau tak sanggup terlelap.  Tak pernah beranjak aku dari sisimu pada tiap apa pun yang kau lakukan. 

Lalu kukenali satu emosi baru.

Seorang yang kau sebut kawan lama mengunjungimu.  Seorang yang kau sebut dulu selalu menjadi tempatmu mencurahkan segala yang kau pikir, segala yang kau rasa.  Segala senang dan sakitmu. 

Kulihat kau tersenyum begitu benderang ketika menyambutnya.  Kuperhatikan kau begitu riang ketika bercakap dengannya.  Kuamati kau membawa dirimu masuk dalam rengkuhnya ketika menyapa.  Dan saat itu kurasakan jengit yang tak menyenangkan dalam benakku.

Aku tak menyukainya.

Tapi kau tersenyum ketika bicara padanya.  Bahkan tertawa pada ucapannya.  Kau bahagia.  Maka kubiarkan kau dengannya.  Kujaga kau dari jarak yang tak mengganggu, namun dekat untuk menangkap gerak-gerikmu. 

Hingga kudengar kau menyebut satu nama.  Milik seorang yang dulu meninggalkanmu.  Menyakitimu.  Tapi tak bisa sepenuhnya kau musnahkan dari ingatanmu.  Kau tanya pada kawanmu perihal kabarnya.  Dan ketika ia ceritakan tentangnya, mendadak tak kulihat lagi kerianganmu.  Senyummu hilang, suaramu disertai isak.

Kau menangis.

Detik berikutnya, kawanmu rubuh, terkapar di bawah kakiku.  Kuhantamkan buku-buku tanganku ke wajahnya.  Berkali-kali.  Bahkan setelah ia tak lagi bergerak memberi perlawanan.  Kau menjerit, memintaku berhenti, tapi aku terus menghajarnya.

Ia membuatmu menangis.  Ia membuatmu merasakan nestapa.  Dan aku tak akan memaafkannya.

Sekali lagi kau memekik.  Aku hendak mengabaikanmu lagi, lalu kudengar kau tersedu.  Menyebut namaku.  Memohon.

Gerakku semerta-merta kuhentikan.  Aku berbalik menghadapmu, yang sembab oleh air mata.  Kupeluk kau erat, membisikkan penghiburan agar kau hentikan tangismu.  Kau katakan kau tak apa-apa, dan kau minta aku untuk pergi ke kamar, diam di sana.  Kau bilang kau perlu merawat kawanmu terlebih dulu.  Aku tak mau.  Aku tak ingin kau berada dekat dengannya lagi.  Tapi sekali lagi kau memohon, dan aku tak bisa menolakmu.

Sebelum pergi, kuucapkan maaf.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Kau menjawabku dengan senyum lemah, dan angguk perlahan.  Kau bilang tak apa, kau bilang kau memaafkanku.

Hari-hari berlalu setelahnya.  Kawanmu sembuh, tapi tak pernah kulihat ia datang untuk kedua kali.  Aku senang karenanya.  Tapi aku tak menyukai perubahan pada dirimu sesudahnya.  Kini kau lebih banyak diam.  Senyummu tak semerbak dulu.  Kusadari sering kau alihkan pandang dariku.  Dan kutahu pikiranmu sering tak berada di tempat sama dengan kesadaranmu, bahkan ketika kau sedang berbincang denganku.

Hingga suatu pagi, kau membawaku ke ruang itu.  Tempat kau membangkitkanku.  Tempat segala barang-barang ciptaanmu kau simpan.  Ada yang perlu kau perbaiki dariku, kau bilang.  Kuturuti kau, kuikuti kau ke sana.  Kau dudukkan aku di salah satu kursi itu, dan kau bergerak ke belakangku.  Tanganmu membuka tengkukku, jemarimu lincah meraih sambungan kabel-kabel di dalamnya.

Aku menyukai sentuhanmu.  Membuatku merasa aku benar sepenuhnya milikmu.  Dan hanya kau saja yang dapat memilikiku.  Aku tersenyum, memejamkan mataku, menikmati ujung-ujung jarimu pada pembuluh buatan di belakang leherku.

Sampai kurasa kebas janggal pada kakiku.  Merambat naik ke pinggangku.  Punggungku.  Kedua lenganku. 

Apa yang kau lakukan terhadapku?

Kudengar isak itu lagi darimu.  Aku ingin memelukmu, tapi begitu berat bagiku bahkan untuk menggerakkan seruas jari.  Wajahmu di hadapanku kini.  Air mata membasahi kedua pipimu.  Dan kau ucapkan maaf.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Dengan satu sentakan terakhir, seluruh sendiku mati.  Kau membunuh semua kemampuan gerakku.  Aku kini tak lebih dari boneka kosong tanpa nyawa.  Sepotong besar besi tanpa penggerak. 

Kau bilang aku cacat.  Kau bilang aku belajar dengan cara salah.  Kau bilang aku berbahaya karenanya.  Kau bilang lebih baik aku begini. 

Diam.  Tak bergerak.  Bagimu aku mati.

Tapi kau salah.  Kau tak melumpuhkan Kantung Jiwaku.  Kau pikir cukup dengan memutus suluran syarafku.  Kau tak tahu pikiranku masih terjaga.  Kau tak tahu mataku masih melihat.  Kau tak tahu telingaku masih mendengar.

Dan dari celah tipis pintu yang tak pernah sepenuhnya kau tutup, aku tahu segalanya.  Hari-harimu kemudian tak pernah luput dari perhatianku.  Tiap hal kecil darinya.

Aku melihat ketika kau memutuskan untuk mencipta satu Boneka baru.  Aku melihatmu bekerja begitu keras untuk mewujudkannya.  Aku melihatmu begitu tekun mengukir tiap bagian dari sosoknya.  Yang kau sebut lebih elok dariku.  Aku melihatmu menghadiahinya Kantung Jiwa yang sama, menghadirkannya untuk hidup di dunia.  Aku melihatmu tersenyum dan memeluk menyambutnya bangun.

Dan kudengar kau sebut ia sempurna.

Aku tak menyukainya.  Aku tak menyukainya memelukmu ketika dingin.  Aku tak menyukainya mendekapmu ketika terkantuk.  Aku tak menyukainya menemanimu ketika malam tanpa tidur tiba.  Aku tak menyukainya di sisimu.

Aku tak menyukai caranya menyentuhmu.  Ia menjamahmu sebagaimana tak pernah kulakukan.  Ia mengecupmu.  Ia mencumbumu.  Dan kau membiarkannya.  Kau bahkan membiarkannya mengatakan ia mencintaimu.

Sekali lagi kau sebut ia sempurna.  Ia berpikir selayaknya dirimu.  Dengan logika, didampingi rasa.  Ia tak mengernyit ketika kawanmu datang untuk kesekian kali, berbincang hangat denganmu.  Ia tak berjengit ketika kawanmu memelukmu sebagai ganti sapa.  Ia pengertian, kau sebut.  Ia tak bercela, kau ucap.

Kau tak menyadari cacat yang dimilikinya. 

Suatu ketika kau mengajaknya duduk di sampingmu.  Ada yang perlu kau bicarakan, katamu.  Ia melingkarkan lengannya di bahumu.  Kau melepaskannya, ganti menggenggam tangannya, menatapnya lurus-lurus. 

Kau katakan kau mencintai kawanmu.

Ia terdiam.  Lalu menggeleng tak paham.  Apa maksudmu, tanyanya.  Bukankah kau hanya mencintainya saja, ia tuntut.  Kau kembali bicara, bersungguh-sungguh pada tiap kata yang kau bentuk.

Kau mencintai kawanmu.  Begitu besar.  Begitu kuat.  Begitu nyata.  Yang tak bisa dibandingkan dengan perasaanmu terhadapnya.  Bonekamu.  Sekedar ciptaannmu untuk mengisi kekosongan hari-harimu.

Ia paham kini.  Tapi bukan pengertian yang menyertainya. 

Ia menamparmu.  Begitu keras hingga kau terpental dari dudukmu.  Kau menatapnya tak percaya.  Terlalu terkejut untuk berkata-kata.  Dan aku terperanjat.  Aku ingin bangkit dan melindungimu.  Tapi sendiku kelu.  Tak ada yang bisa kulakukan.

Ia menamparmu lagi.  Lebih keras kini.  Ia berteriak marah.  Ia tak menerima pernyataanmu.  Ia tak menghendaki kau mencintai selain dirinya.

Kau berusaha meredakan amarahnya, berusaha memberinya pemahaman bahwa kalian tak lebih dari pencipta dan ciptaan.  Bahwa cinta di antara kalian adalah tak mungkin. 

Ia mengamuk.  Ia menerjangmu yang telah teringkuk di lantai.  Ia mengangkatmu, lalu menghempaskanmu kembali.  Ia menarikmu bangun lagi, lalu mendaratkan hantaman keras di wajahmu.  Kau meringis dalam perih.  Kau menangis dalam pilu.  Tapi ia tak menghiraukanmu.  Ia menusukkan pukulan ke tubuhmu.  Berulang-ulang.  Membuatmu menjerit.  Yang tak berguna untuk menghentikannya.

“Lebih baik kau lenyap dengan tanganku, daripada menghilang dari hadapanku oleh tangan lain.”

Dengan satu gerakan cepat tak tertangkap penglihatan, jemarinya membenam ke dalam dadamu. 

Kau memekik keras.  Darah mengalir darimu, menodai pakaianmu, membanjiri lantai di bawahmu.  Ia berhenti sejenak, mengira kau tak lagi mampu berbuat apa pun.  Dan dengan sisa kekuatan yang kau miliki, kau merangkak menuju ruangku, tempatmu mematikanku.  Dengan limbung kau berdiri bertopang pada bahuku, membawa tanganmu pada tengkukku, menekan satu tombol untuk menghidupkan gerakku.

Tapi aku telah terlalu lama lumpuh.  Tak bisa aku seketika memerintah lengan dan tungkaiku untuk menamengimu.  Dan dalam detik-detik perlahan ketika syarafku berupaya bangun dari tidur panjangnya, ia telah menangkapmu lagi.  Menarikmu menjauh dariku.  Menjatuhkanmu.  Menginjak-injakmu.  Memukulimu tanpa ampun.  Di hadapanku.  Dan masih belum juga aku mampu bergerak, syarafku begitu lambat mengaliri ruas-ruas tubuhku.

Wajah dan tubuhmu kuyup oleh kental merah.  Kau terengah-engah.  Napasmu dihambat nyeri tak terkira.  Ia berhenti menghajarmu, merendahkan tubuhnya untuk berlutut di atas tubuhmu yang telentang tanpa daya.  Ia tersenyum, begitu lembut, mencium bibirmu yang basah oleh darah.

“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Dan tangannya menembus tubuhmu.  Satu percikan besar memancar dari dadamu.  Merah.  Pekat.  Seolah terampas habis dari pembuluhmu.  Seolah hendak mencerabut nyawamu.

Aku meraung murka.  Kubawa tubuhku yang telah terjaga sepenuhnya untuk bangkit.  Kuterjang ia dengan semua kekuatan yang kumiliki, membuatnya menghantam dinding.  Kupojokkan ia, kucengkeram lehernya mengunci geraknya.  Ia melawan, meraup tanganku menjauh darinya, menohokkan lututnya di perutku.  Kulemparkan kepalan tanganku tepat di wajahnya.  Satu kali.  Dua kali.  Tiga kali.  Hingga kepalanya sebagian terbenam pada dinding di belakangnya.

Tapi aku dan ia bukan manusia.  Meski sepotong besar noda darah artifisial telah menghiasi tubuh kami, tak ada sakit yang kami rasa.  Ia menangkap tanganku pada pukulan keempat, memelintirnya.  Tanganku tak lagi berada di posisinya yang benar, dan derik-derik listrik muncul dari kulitku yang robek.  Syaraf lenganku rusak.

Ia memanfaatkan lukaku untuk menyerangku.  Aku jatuh menghantam lantai, dan ia mengamitku dengan kedua tungkainya, hendak menghujaniku dengan pukulan.  Aku menangkisnya, dan berusaha lepas dari pegangannya.  Kami bergumul.  Suara besi beradu keras memenuhi ruangan, memekakkan telinga.  Aku dan ia sama kuat.  Kami saling serang dengan daya setara.  Tapi ia mendapatkan keuntungan dengan satu lenganku yang tak lagi berfungsi, dan ia mampu membuat lebih banyak luka padaku.  Dengan sebelah tanganku tak berguna, aku tak mungkin menang darinya.

Tapi aku tahu satu hal yang tak diketahuinya.  Tempat nyawa kami berada.

Bersamaan dengan hantaman yang keras di peilipisku, kutancapkan tanganku di dadanya.  Kurentangkan jemariku, mengoyaknya terbuka.  Ia mengerang, berusaha menarik lepas tanganku, tapi telapakku telah mencapai Kantung Jiwanya, dan kucabut lepas dari tubuhnya.

Gerakannya terhenti seketika.  Ia jatuh dengan tubuh kaku, menghasilkan suara kelontang besar.  Matanya terbuka, tapi tak ada kesadaran di sana. 

Aku terengah memandang tubuhnya yang tak berkutik dalam kubangan darah, dengan jantungnya di tanganku.

Ia telah mati.  Sepenuhnya.

“…maaf,”

Suara itu menyadarkanku, dan aku berbalik.  Kau di sana, mengangkat tanganmu yang bergetar lemah, terarah padaku.  Aku berlari ke sisimu, menunduk memandangmu.  Kubelai wajahmu yang tak lagi bersemu, dikalahkan pucat.  Napasmu begitu dangkal, terpotong-potong dalam jeda panjang.  Matamu seolah berat untuk membuka.  Tapi jemarimu meraih sisi mukaku, menelusurinya dengan lembut.  Dan kau tersenyum.

“Maafkan aku….”

Sepasang kelopak matamu perlahan bergerak menutup.  Tanganmu yang mengulur terjatuh.  Denyutmu tak lagi kudengar.  Napasmu menguap hilang.

Mendadak seluruh tubuhku seolah mati rasa.  Gelap memenuhi pikiranku.  Lidahku diborgol bisu.  Engsel sendiku kaku.  Di depan mataku, kau tak lagi bergerak.

Tidak.

Tidak.

Kau tak boleh pergi.  Kau tak boleh meninggalkanku.  Aku mencintaimu.  Aku mencintaimu.  Aku tak bisa kehilanganmu.

Kau harus hidup.  Bagaimana pun caranya.

Kurasakan ketuk samar dalam telapakku.  Ujung mataku mengerlingnya, dan dari balik gumpalan darah yang menyelubunginya, kulihat bongkahan itu berdetak.  Kantung Jiwa itu masih hidup.  Nyawa itu ada di tanganku. 

Aku tersenyum.

Dan kusurukkan genggamanku ke dalam dadamu yang terbuka.



Akhirnya, aku memilikimu selamanya.


Malang, 29 April 2012
23:44

5 comments:

Sebut Saja Kacang said...

Ca-cantik o__O;;

Kenapa cerita fiksinya cantik banget kyaa kyaa! Cerita yang beneran bikin aku ngebayangin adegannya secara exact. Benar-benar cantik. Ga tau, ga bisa pake kata lain selain cantik. Adegan gore-nya kebayang, darahnya kebayang, percik listriknya kebayang. Adegan-adegan cantiknya kebayang dengan sempurna. Ga bisa diungkapkan selaind engan kata cantik.

Ceritanya cantik. Pake banget. *peluk Unnie*

Orinthia Lee said...

Ah, keduluan... #dor
Akhirnya baru bener-bener sempet baca... dan kyaaaaaaaa.... sama kayak yg dibilang Neng Kacang sebelumnya... deskripsinya aduh... detail dan mudah dicerna... kebayang kayak film di kepala. Emosinya berasa banget... dan semuanya terasa masuk akal!!

Ini luar biasa, Moe... I love this... nggak serem seperti yang kamu bilang. Ini terlalu indah buat dijabarin dengan kata serem. :*

Boleh aku pos di blognya Kota Cerita? :)

キアリ said...

@Jagiya:

Omo, gomawo yo >:D<
Gore-nya kebayang? Alhamdulillah...aku sempet khawatir kesan gore-nya kurang terasa =)) Tapi aku ngerasa aneh dikomen ceritanya cantik, padahal yeobo bilang "ini cerita kok kelam amat", nyahahaha...

Eniwei, makasih udah baca&komen, jagi. Saranghanda *bear hug* :*

@Joe:
Hi :* Really? Ah, senangnya dibilang indah sama Joe :"> I'll try to do better next time, thank you for always supporting me :*

Mau diposting di KotCer? Boleh dong apa sih yang ga buat kamu~ #eaaa

cappucino_no said...

Ehmm... akhirnya aku membacanya ta. Kamu bilang serem ya?erhhh gimana ya, untuk anak di bawah umur emang serem. Tapi berhubung aku suka dengan cerita2 seperti ini,jadi ini bukan serem, tapi keren banget. Kurang serem kalau menurutku.

Soal pendeskripsian, sudahlah gak usah tanya aku, aku kan belajarnya dari kamu, jadi oke banget--tidak usah ditanya lagi. Hihihihi. Seperti apa yang dikatakan neng kacang dan neng Orinthia.

Four thumbs..!!

キアリ said...

@Tania:

Wakakakak, cinta-cintaannya bikin kurang serem ya? #plak Baiklah,akan saya buat yang lebih seram lagi~ #plakplokplak

Heran, padahal mas Vinan bilang ceritanya serem, ini yang cewe-cewe malah bilang ga serem =))

Thank you, Ni :* Ayok sama-sama berjuang buat nulis lebih bagus lagi :D