Sunday, November 13, 2011

Pagi dan Engkau


Kusebut ia bagai Mentari.


Ia begitu menawan.  Parasnya memesona, geraknya bagai tari, ucapnya mudah mengundang decak kagum.  Ia cerdas, juga menyenangkan bahkan untuk sekedar berbincang ringan.  Semua menyukainya, terutama kaum Adam yang sudah terlalu sering kulihat mencuri pandang dan berusaha memancing sejumput perhatiannya.  Dan ia sudah menjadi kawan baikku sejak lama, begitu lama, hingga aku terkadang merasa mungkin kami memang berasal dari rahim yang sama, dihubungkan ikatan darah.

Kembar.  Seperti julukan yang pernah disematkan bagi kami berdua.  Selain karena satu kebetulan luar biasa kelahiran kami di hari yang sama, juga karena kami nyaris tak terpisahkan.  Akan sukar bagimu menemukanku tanpa ada ia di sampingku, dan begitu pula sebaliknya.  Rasanya janggal jika ada terlalu banyak waktu yang kami habiskan tanpa ada kehadiran satu sama lain di sisi.  Karenanya kami selalu bersama, semenjak seragam kami masih sewarna bendera, hingga bertransformasi menjadi biru dan abu-abu, bahkan ketika kami tiba pada bangku-bangku kuliah, dan akhirnya terlepas dari kewajiban-kewajiban belajar itu dan menyongsong hidup yang sebenarnya dalam jalan karir, kami masih terus bersisian. 

Namun sebenarnya kembar tak benar-benar tepat untuk menggambarkan kami.  Aku tak bisa disejajarkan dengannya, dan kau tak bisa menyebutku Mentari pula.  Aku tak mampu mencerahkan suasana seperti halnya Mentari hanya dengan keberadaannya saja.  Aku tak mampu menciptakan tawa bagi sekeliling semudah Mentari selalu melakukannya.  Aku tak mampu memancing rasa terkesan sebagaimana Mentari sehari-harinya bagi orang lain. 

Aku berbeda.  Jika diibaratkan, mungkin aku lebih cocok dengan segenang kecil danau tanpa riak di bawah pancaran Mentari yang menerangiku.  Tak banyak suara kubuat, pun tak pandai aku berekspresi.  Ketika aku tak tahu harus menjawab apa terhadap perkataan yang diarahkan padaku, aku hanya mampu tersenyum.  Ketika aku tak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap perlakuan yang ditujukan padaku, aku hanya akan menunduk, atau tersipu, dan menghalau pelan usikan-usikan tanpa mampu benar-benar mengusirnya.  Lalu kemudian Mentari akan datang dan menjadi tamengku, melindungiku. 

Dan aku memang lebih terlihat ketika ada Mentari di sampingku, meski kilaunya yang begitu terang tentu saja menjadi pusat dari perhatian di mana pun kami berada.  Sudahkah kubilang Mentari begitu populer?  Tak bisa lagi kuhitung berapa banyak wajah-wajah yang sengaja mendatangiku dan membujuk, berusaha mendapatkan secuil saja info dan sepotong kecil bantuan agar dapat mendekati Mentari.  Ya, ia tak mudah diraih, dan aku cukup senang dengan perangainya yang demikian.  Tak semua laki-laki yang mendekatinya bisa kusebut baik, terutama baginya.  Tak sedikit yang mati-matian mengejarnya semata karena terpikat tampilannya, namun kosong akan pemahaman tentangnya.  Dan karenanya, sedikit banyak aku berusaha menjauhkan kawan dekatku itu dari sosok-sosok yang tak baik itu darinya semampuku, memilah nama-nama yang kuizinkan tahu sepetak-petak kecil hal mengenai Mentari.

Tidakkah aku iri, tanyamu?  Bohong jika kusebut tidak.  Tentu saja aku ingin memiliki kecerahan seperti Mentari, mengubah sedikit kecenderunganku yang disebut-sebut terlalu tenang.  Seperti gong, jika tak dipukul aku tak akan berbunyi, jika tak disentil dengan sapa dan ajakan membuka percakapan, aku tak akan bersuara—seperti itu kawan-kawan lain menjulukiku.  Dan meski telah lama berada di sisi Mentari, tidak juga aku tertular kemeriahan sifatnya itu.  Tapi tak apa.  Aku tak akan mendengki cemburu atas segala keindahan yang dimilikinya.  Dengan memilikinya sebagai kawan dekatku saja, aku sudah sangat bahagia.  Ia Mentari yang kupantulkan dengan lapis tetes-tetes air dari genang danauku, dan aku merasa lebih baik ketika ada ia di sampingku.

“Selamat pagi.”

Kuhentikan celoteh dan tawa kecil yang kubagi dengan Mentari ditemani dua cangkir kopi di atas meja kerja penuh gambar-gambar kerja kami, menoleh bersamaan pada sumber suara itu.  Lalu waktu seolah berhenti.  Satu pemandangan yang merampas kemampuanku bernapas seperti biasa.  Di depanku, kudapati Samudera.  Jangan salahkan kecenderunganku menatapi mata untuk mengenali dan menelaah seorang yang tak pernah kutahu sebelumnya, tapi kali ini kedua iris itulah yang terlalu tak bisa kutolak untuk pandangi.  Memang bukan biru warna yang menghiasinya, melainkan coklat tua.  Namun kepekatannya membuatku seolah hanyut di kedalamannya, kilatnya membuatku terpaku dengan ketenangannya.

Kepala studioku memperkenalkannya sebagai anggota baru tim perancang kami, yang akan segera menempati ruang yang sama dengan kami—aku, Mentari, dan tiga orang lainnya.  Ia kemudian melengkungkan senyum dan memperkenalkan dirinya, dalam kalimat-kalimat yang cukup banyak luput dari pendengaranku.  Ah, aku merasa tolol.  Aku belum pernah sebegitunya terperengah oleh keberadaan seseorang, dan aku merasa bodoh karenanya.  Semu samar timbul di kedua pipiku—untuk alasan yang tak kupahami kenapa.  Aku menarik pandanganku kembali pada Mentari dengan cepat, hendak meminta penjelasannya akan apa yang terjadi padaku, dan apa yang harus kulakukan. 

Namun kuurungkan itu.  Kulihat rona yang lebih terang merekah di sisi wajah Mentari, dan binar yang tak pernah kulihat ada dalam kedua bola matanya sebelumnya tampak di sana.  Senyumnya terkembang lebar.  Ia kemudian berdiri dan mengulur tangan, berjabatan tangan dalam sapa riang dengan Samudera, membuatku terkesiap.  Samudera menyambutnya, menghadiahinya senyum yang lebih lebar, sebelum menunduk dan menyapaku juga, yang berdiri terlalu mendadak hingga nyaris menjatuhkan kursi, membalas sapanya dengan tergagap.  Aku dan Mentari kembali duduk, membuat mata kami mengikuti gerak Samudera menuju kubikelnya.  Dan berikutnya kudengar pekik tertahan dari Mentari, diikuti puji yang jarang disuarakan olehnya akan orang-orang lain.

Aku mengangguk dan tersenyum menyimaknya.  Bisa kupahami mengapa Mentari tak henti mengucap kagum tentangnya, meski kami baru mengenalnya kurang dari lima belas menit yang lalu.  Jika bicara penampilan, ia memang tak seistimewa beberapa pria yang pernah mendampingi Mentari sebelumnya, tak juga setara dengan segala patokan ideal seperti yang pernah diungkapkan kawan-kawan perempuanku yang lain.  Namun ada hal yang tak terkatakan darinya yang begitu sulit untuk ditolak.  Sosoknya yang tinggi menjulang tampak kokoh, tiap bagian kecil dari geraknya memikat, caranya berlisan sangat bersahaja, dan suaranya yang dalam begitu menenangkan.  Terlebih, caranya menatap—entahlah, tak bisa kujelaskan dengan tepat, namun ia bagai magnet yang mampu menarik siapa pun dalam pesona keberadaannya.  Begitu mudah.  Seperti Mentari.

Dan disokong dengan santun dan pribadinya yang mengesankan, juga sikap pekerja kerasnya, segera ia menjadi favorit di tempat kerja kami.  Ia menjadi nama baru yang sering disebut dalam bisik-bisik kagum selain Mentari, tapi aku tak terusik karenanya.  Yang membuatku demikian adalah apa yang mendatangiku ketika jam kerja telah usai keesokan harinya. 

“Hai.”

Sapa itu membuatku tercekat, menghentikan gerakku yang sudah hendak beranjak dari meja menuju pintu.  Dan benar saja, Samudera-lah pembuat sapa itu.  Ia menyimpul senyum lembutnya yang semakin kusukai itu, dan menghampiriku, menyisakan jarak yang tak jauh di depanku.  Aku mematung dalam diam, dan menunggu dengan degup berisik apa maksud sapanya itu.  Ia tertawa kecil, mungkin menertawakan kekikukanku, dan warna merah spontan memenuhi wajahku tanpa bisa kukendalikan.  Setelah reda gemerincing tawanya—yang terlalu menyenangkan untuk dihentikan—ia nyatakan satu kalimat yang membuat sebongkah batu mendadak seolah muncul dalam perutku.

“Maaf, mungkin ini terdengar terlalu tiba-tiba dan tidak masuk akal untukmu.  Tapi sejak pertama kali aku...”

—seharusnya aku tahu.

Seharusnya aku tahu dari awal bahwa itu tak mungkin—bodoh berharap ia mendatangiku karena diriku.  Kalimat itu sudah teramat sering kudengar:  Sejak pertama kali aku melihat Mentari, aku jatuh cinta padanya.  Dan kemudian bujukan dan permohonan-permohonan menyusul setelahnya.  Ini semua tentang Mentari.  Selalu tentang ia.

“Aku mengerti.”

Kupotong perkataannya, tak ingin mendengar sisa kalimatnya yang kutahu akan memperbesar bongkahan yang sudah menyesaki tubuhku dari dalam.  Ia tampak terkejut, tapi kupaksakan senyum terpasang rapi di wajahku, membujuk otakku untuk mengucap “aku baik-baik saja”.  Kukerling lagi kedua iris coklat gelap itu—Samudera itu—dan yakinlah aku bahwa tak perlu aku menimbang-nimbang lagi baikkah pria ini bagi sahabatku.  Tak kulihat niatan buruk dari sinar matanya, bahkan ketulusanlah yang kurasakan darinya.  Satu senyum lagi kupaksakan—

—aku akan senang pria ini mendampingi sahabatku.

Segera kukatakan padanya aku akan membantunya untuk dapat mengenal Mentari lebih jauh, segala yang ingin diketahuinya akan aku berikan, dan kukatakan itu dengan sungguh-sungguh, dalam kecepatan yang sedikit lebih terburu dari cara bicaraku biasanya, berusaha menutupi rasa tak menyenangkan yang masih menyisa.  Samudera tak menyelaku, ia tampak menyimak setiap kata yang kuucapkan, pandangannya tak dialihkan dariku.  Ia tampak serius—begitu serius, hingga seperti mengintimidasiku.  Ia lalu tersenyum, dan berkata terima kasih.

Hari-hariku berikutnya terasa begitu berbeda.  Ada satu sosok lagi yang sering ada di sisiku selain Mentari.  Pagi hingga sore hari kuhabiskan dengan mengerjakan proyek seperti biasa, bersama Mentari, namun kali ini aku berusaha selalu membawa Samudera ke dalam segala pembicaraan dan kegiatan kami.  Tak sukar melakukannya karena pada dasarnya keduanya lihai bercakap-cakap, dan tampak mudah bagi mereka saling menimpali dalam apa pun yang kami lakukan.  Kubuat diriku lebih banyak diam agar lebih banyak waktu mereka habiskan untuk berbincang, dan seringkali aku menyingkir berpura-pura ada hal lain yang harus kukerjakan agar dapat meninggalkan mereka berdua saja. 

Dan hari-hari itu juga memberiku kesempatan untuk berada bersama Samudera lebih dari yang kuharapkan.  Seringkali ia menawari untuk menghabiskan sore bersama, berbincang sembari menyesap secangkir teh hangat di sebuah kafe kesukaannya.   Aku, yang merasa tertekan dengan ketenangan dan kelembutannya yang bukan untukku, selalu memenuhi waktu kami dengan membeberkan segala yang kutahu tentang Mentari, memberinya berbagai saran untuk lebih cepat menggapainya.  Kuberitahu ia apa-apa yang menyenangkan hati Mentari, apa yang memukaunya, apa yang mampu menarik perhatiannya.  Samudera, seperti selalu, tak menyelaku.  Hingga akhir kalimatku, ia kemudian bertanya.

“Lalu bagaimana denganmu?  Apa yang kau sukai?”

Itu juga sudah terlalu sering kudengar.  Pria-pria sebelum ia berpikir akan lebih mudah mendapatkan hati Mentari jika menyenangkanku juga.  Dan kali ini, kata-kata itu menyakitiku jauh lebih kuat dari yang sudah-sudah.  Karena Samudera-lah yang mengatakannya, orang pertama yang menerbitkan iriku akan Mentari, berharap akulah yang terlahir sebagai dirinya, akulah yang mencipta kekaguman darinya.  Aku bergeming, perlu beberapa saat hingga aku mampu memberi jawab.

“Tak penting apa yang kusukai.  Tentang Mentari-lah yang penting.”

Sempat aku ragu akan apa yang kulakukan—sejauh mana aku mampu terus menjalankannya.  Benarkah aku sanggup terus menekan perasaanku sendiri, membohongi diriku dengan menyebut emosi ini sekedar kekaguman sesaat, mengorbankannya demi apa yang Samudera rasakan terhadap sahabatku.  Reaksi yang diberikan Mentari kemudian memupus keraguanku—sekaligus membengkakkan bongkahan yang kini menyebar hingga rongga dadaku.  Binar yang dulu kulihat ada dalam matanya ketika pertama kali menatap Samudera kini membesar, cemerlang memenuhi kedua matanya, bersinar begitu kasat mata dalam laku dan ucap yang diberinya atas Samudera.

“Kurasa aku jatuh cinta.”

Ketahuilah, ini pertama kalinya kalimat itu terkatakan darinya, dan tak terdengar satupun ragu di dalamnya.  Tak pernah kulihat Mentari seperti itu sebelumnya.  Dan sekali lagi, senyumlah yang kugunakan sebagai jawaban, dan semakin sering kulakukan seiring berlalunya waktu dan semakin jelas bagiku kedekatan mereka.   Ketika semakin kuat kulihat percik ketertarikan pada keduanya.  Ketika Mentari semakin menepikan cakap-cakap harian kami, menggantikannya dengan segala hal mengenai Samudera.  Ketika apa yang lebih tampak penting baginya tak lagi tentang aku dan ia, melainkan ia dan Samudera.  Aku tak bisa mundur lagi.  Samudera menyukainya.  Mentari menyukainya.  Tak ada cela memisah keduanya—tak bisa dan tak pantas aku mengubahnya.

Hingga suatu ketika, tersenyum seperti itu membuatku lelah.  Ya, aku lelah.  Tak pernah aku merasakannya sebelumnya, tapi kini aku merasa begitu lelah menjadi sesosok bayangan baginya, yang hanya dibutuhkan dan dipanggil ketika mereka perlu mencapai Mentari.  Aku lelah berdiam diri.  Aku lelah berpura-pura baik-baik saja.  Dan hari itu, ketika kami mendudukkan diri di salah satu sudut taman, menyantap makan siang kami berdua, dan sekali lagi nama Samudera menyusup begitu lantang dalam kalimat-kalimat yang disuarakan Mentari dengan begitu bahagianya, dalam kata-kata harap tentang apa yang akan didapatnya dari Samudera pada hari ulangtahunnya yang segera menjelang, aku tak lagi dapat menahan diri.  Aku berdiri begitu mendadak, menghentikan perkataan Mentari dalam keterkejutan.  Kemudian aku berlari.  Berlari.  Jauh.  Darinya.  Dari mereka yang bertanya-tanya.  Dari sepasang mata coklat pekat itu.

Sisa siang itu kuhabiskan dengan melangkah tanpa arah pasti.  Hingga penat mulai menghinggapiku bersama kedatangan senja, dan kutambatkan kedua kakiku menepi, merasakan hampar rerumputan pendek mengalasi dudukku di sisi lain kota yang senyap akan hiruk pikuk, diam menatapi matahari yang bergerak turun menuju tidurnya.  Sekarang, ketika jernih telah kembali dalam pikirku, perlahan kurenungi lagi apa yang telah kulakukan.  Kurutuki diriku yang masih menyimpan rasa yang tak seharusnya pada Samudera.  Kusesali kecemburuanku pada Mentari, sahabatku—saudariku.

Dan aku benci karena tak semudah itu memaksanya lenyap dari dalam kepalaku.

“Hei.  Selamat pagi.”

Sapa yang begitu akrab di telingaku kini.  Hanya pemilik mata dan suara yang dalam itu yang selalu mengatakan selamat pagi untuk menyapaku, tak peduli waktu yang sedang berlangsung saat itu, tak peduli matahari telah berdiri di puncak siang, tak peduli jingga telah melaburi pemandangan dengan senja.  Seperti saat ini.  Aku menoleh, dan wajah berhias senyum itu memenuhi penglihatanku, yang dalam sekejap telah beranjak menempati sisiku, mengorbitkan pandangannya pada arah yang sama denganku sesaat lalu, pada matahari terbenam.  Ia diam, seolah kehadirannya bukan untuk mencecarku dengan berbagai tanya atas apa yang terjadi siang itu, melainkan hanya untuk menemaniku—setidaknya begitulah sekedar aku berharap.

Tersenyum kecil aku menatapnya, lalu kurebahkan sisi wajahku di atas lipatan lengan yang memeluk kedua lututku.  Satu tanya kubuat untuk memecah sunyi—untuk mengalihkan segala kusut dalam benakku.

“Kenapa kau selalu menyebut selamat pagi?”

Ia menderaikan tawa ringan, seolah aku adalah bocah yang menanyakan mengapa matahari harus terbenam dan digantikan malam.  Diarahkannya wajahnya padaku, dan dijawabnya dengan nada tanpa canda.

“Karena aku menyukai pagi hari.”

Karena ia merasa pagi adalah yang mengawali segalanya.  Karena ia merasa kedatangan pagilah yang membangkitkan semangatnya untuk memulai satu lagi hari baru.  Karena bangunnya matahari yang membentuk niatannya untuk memulai hari itu sebaik yang dimampunya.  Karena  embun yang dilihatnya menetesi helai-helai pagilah yang menghidupkan keinginannya untuk menjalani hari itu tanpa keluh.  Maka selalu ia katakan “selamat pagi” untuk menyapa, agar semangatnya terus terbumbung seperti ketika hari masih dini, tak peduli telah hampir berakhirkah hari ini. 

Aku terdiam mendengarnya berkata, menjelaskannya.  Semakin sadarlah aku betapa salah apa yang telah kurasakan.  Betapa salah segala ragu dan cemburuku.  Dan betapa tepat pria ini bagi sahabatku.  Ia mencintai pagi—maka yakinlah ia juga mencintai Mentari.  Begitupun sebaliknya.

Aku tersenyum kini—merelakan segala rasaku bersamanya.  Aku akan bahagia melihat Mentari bahagia, dan itu cukup bagiku.  Dalam tenang kukatakan pada Samudera untuk mengungkap perasaannya pada Mentari pada hari ulang tahunnya, jadikan kata-kata indah itu sebagai hadiahnya.  Aku tahu Mentari akan menyukainya, tak akan menolaknya.  Ini akan menjadi ulang tahun terindah baginya.  Samudera diam dalam jeda yang lebih panjang dari biasanya, dan sesuatu beriak dalam kedalaman matanya, tak bisa benar-benar kuartikan, sebelum akhirnya mengangguk, disertai senyum.

Aku yakin ia bahagia.

Hari ulangtahun Mentari tiba—yang juga hari ulangtahunku.  Namun seperti tahun-tahun yang lalu, hari ini lebih terasa bagai milik Mentari saja.  Lebih banyak ucap selamat diberikan padanya, lebih meriah sukacita dilambungkan untuknya.  Dan, ya, aku tidak keberatan akan hal itu.  Sahabatku itu akan selalu menjadi yang nomor satu bagiku, kebahagiannya kuletakkan di tempat yang lebih penting dariku sendiri.  Dan terutama untuk hari ini, aku ingin menjadikannya yang tak terlupakan bagi Mentari.

Kukerling sosok Samudera di sana.  Tampak rapi dalam balutan sewarna biru yang kuidentikkan dengan julukanku padanya, terlihat lebih mengesankan dari yang pernah kuingat.  Dalam bayanganku, ia akan begitu serasi disandingkan dengan Mentari, yang berkilauan dengan sukacitanya malam ini.  Mata kami bertemu di satu titik, dan kuambangkan senyum lebar, mengangkat kedua ibu jariku, menyemangatinya tanpa suara—sebelum segera mengalihkan perhatianku pada Mentari, mendampinginya menyambut lebih banyak lagi uluran selamat untuknya. 

Lilin-lilin telah ditiup, kue-kue telah dipotong, dan riuh tepuk tangan menyahutinya.  Lagu dimainkan, mengajak yang hadir untuk lebih jauh menikmati selebrasi itu.  Sepasang demi sepasang turun untuk berdansa, mengikuti irama lembut yang dinadakan sekelompok vokal dan alat-alat musik yang mengiringi di atas panggung di depan hamparan lantai dansa. 

Sebentar lagi akan tiba waktunya. 

Kulihat Samudera membawa langkahnya melewati kerumunan, menghampiri Mentari.  Menggenggam tangannya, menariknya mendekat, dan keduanya berputar bersama dalam tari.  Perlahan, anggun, seolah waktu itu dicipta hanya untuk mereka berdua saja.  Mentari memejamkan matanya, tampak menikmati detik-detik itu, dan Samudera merendahkan wajahnya, begitu dekat dengan sisi wajah Mentari.  Kukuatkan diriku untuk terus melihat keduanya.  Aku tak boleh melewatkan momen mereka berdua.  Dua orang yang begitu berarti bagiku.  Samudera tampak membisikkan sesuatu pada Mentari, membuat sahabatku itu mendadak membuka kembali kedua matanya, membelalak terkejut.  Keduanya saling menatap dalam diam kini, lurus-lurus memandang satu sama lain.  Samudera tersenyum, mengangguk perlahan namun tegas pada Mentari, dan berkaca-kacalah kedua mata Mentari kemudian.  Turut tersenyum.

Dan aku, menahan haru, memoles senyum yang sama di wajahku.

Hanya perlu satu agenda terakhir untuk rencana kami malam itu, untuk menjadikan malam ini ulangtahun terbaik bagi Mentari.  Samudera mengerlingku, tersenyum kecil, dan melepas lingkar lengannya dari Mentari.  Kembali ia bawa langkahnya menelusuri kerumunan, begitu tenang, dan menaiki undakan menuju panggung.  Musik seketika berhenti ketika ia tiba di atas sana.  Julangan sosoknya membisukan segala percakapan yang sebelumnya padat memenuhi udara.  Dibukanya suara, dan bahkan tanpa pengeras vokal menyokongnya, setiap kata yang diucapkannya terdengar jelas, membahana di antara semua yang hadir.  Dan aku menunduk menatapi tanah, memejamkan mata, menunggu kata-kata yang sudah kutahu akan kudengar, menyiapkan hatiku untuk tetap utuh hingga sesudahnya. 

“Aku ingin menyampaikan sesuatu yang telah begitu lama kurasa dan kupendam.”

Ia akan mengungkapkannya.

“Begitu besar hingga aku merasa tak sanggup lebih lama lagi menahannya.”

Segala perasaannya.

“Sejak pertama kali aku melihatnya, aku tahu ialah yang selama ini kucari,“

Pada Mentari.

“Kau.  Yang seperti Embun di pagi hariku.”

apa?

Mataku serta merta terbuka.  Keheranan membuncah dalam kepalaku.  Ini tidak benar.  Ke mana nama Mentari dalam kata-kata itu? 

Kudongakkan wajah dalam gerak tersentak.  Dan kudapatinya kedua iris coklat itu, senyum itu, wajah teduh itu, menatap lurus-lurus kepadaku.  Seolah kalimat itu ditujukan untukku.  Aku tidak paham.  Bagaimana bisa?  Kubalas tatapannya dengan tanda tanya memenuhi garis wajahku, sementara kulihat semua pandang turut mengarah padaku—bahkan juga Mentari, yang tersenyum dengan kerlip haru dalam matanya.  Belum pernah kulihat Mentari tampak sebahagia itu sebelumnya.   Dan aku semakin tak mengerti.

Langkah-langkah tegap menghampiriku, dan seketika sosok Samudera telah berada di hadapanku.  Tangannya diangkat menyentuh halus sisi wajahku, memandangku dengan kelembutan memenuhi rona eskpresinya—tak ada kepura-puraan.  Aku terhenyak.  Jantungku berderu dalam detak yang aku yakin terdengar oleh semua yang mengelilingiku.  Darahku berdesir, mengalirkan perasaan itu hingga ke ujung-ujung jariku yang mendadak kebas.  Satu kesadaran mencuat tiba-tiba dalam pikiranku.  Mungkinkah benar terkaku kini?

“Mengertikah kau sekarang?”  ucapnya dengan suara mengalun, lembut membelai pendengaranku, “Kaulah yang selama ini kuinginkan.  Kau.  Dan hanya kau seorang.”

Itukah arti kalimatnya yang kupotong hari itu?  Itukah maksud dari tiap ajakan di sore hari itu?  Itukah mengapa ia menanyakan apa yang kusukai ketika itu?  Itukah mengapa ia menemukanku saat aku berlari menjauh?  Itukah yang selama ini tak kupahami dari riak-riak yang bergerak dalam diam dan warna matanya?  Itukah yang telah terlalu lama kusalahartikan?

Aku tercekat.  Lidahku kelu.  Semua kata yang kutahu seolah menguap hilang.  Sendi-sendi tubuhku seolah beku, tak mampu membuat gerak apa pun untuk sekedar menyahutinya—sekedar memintanya meyakinkan benarkah apa yang telah kudengar.  Samudera menyenandungkan tawanya, yang begitu kusukai, yang terdengar begitu bebas kini—dan merengkuhku dalam satu dekap erat.

“Kau tak perlu berkata apa-apa.  Kau hanya perlu ada.  Di sini.  Di sisiku.”

Aku terisak.  Segalanya terdengar begitu sunyi, seolah semua wajah hanyut dalam kejujuran yang akhirnya tersampaikan.  Dan kubenamkan diriku lebih dalam padanya.

“Selamat ulang tahun, Embun.”


Malang, 13 November 2011
03:09

No comments: