Saturday, November 12, 2011

Yesterday's Sky


Saya sangat jarang bepergian.

Bukan karena saya adalah seorang yang begitu sibuk hingga tak memiliki waktu untuk itu.  Saya belum bekerja, dan kuliah saya pun tidak sebegitunya membuat saya tak mampu bergerak bebas.  Sebenarnya justru saya punya cukup banyak waktu sekalipun saya ingin berlibur ke suatu tempat dalam waktu agak lama, dan meski tak banyak, tabungan saya rasanya cukup untuk membiayai perjalanan.  Sayangnya ada satu faktor yang membuat saya sulit untuk dapat bepergian bahkan sekedar berjalan-jalan ke luar kota seperti yang sering dilakukan teman-teman saya yang lain.

Saya memiliki penyakit.  Tidak berat, sebenarnya, hanya asma yang cukup akut.  Namun itu membuat ketahanan tubuh saya lemah dan alhasil orangtua saya sangat protektif terhadap saya sejak kecil.  Tidak mudah meminta izin agar diperbolehkan bepergian agak jauh dari rumah.  Itulah mengapa saya sangat jarang mengunjungi tempat-tempat baru selain yang berada di dalam kota saya sendiri.  Dan meskipun sudah tinggal di Kota Malang selama lebih dari 5 tahun, saya belum pernah mencicipi indahnya pantai Sempu ataupun puncak Bromo. 

Mungkin karena itulah, saya jadi memiliki cita-cita untuk backpacking suatu hari nanti: menjelajahi sudut-sudut dunia yang jauh dan tak pernah saya ketahui sebelumnya, jauh dari zona aman saya.  Semakin jauh semakin bagus, karenanya saya memiliki keinginan besar untuk menjejak tanah-tanah negara lain.  Kalau pergi jauh, rasanya semakin terasa seperti ‘perjalanan’, begitu ^__^  Tapi baru-baru ini, lebih tepatnya kemarin, saya mendapatkan pengalaman yang mungkin terdengar sepele dan remeh, namun bagi saya mengesankan.

Salah seorang teman seangkatan S2 saya menikah, dan acaranya diselenggarakan di Bondowoso, kota yang hanya satu dua kali saya dengar namanya dan tentu saja belum pernah saya kunjungi.  Setelah harap-harap cemas kalau-kalau saya tidak mendapatkan izin karena perjalanannya yang memakan waktu lebih dari 4 jam, akhirnya saya bisa berangkat juga bersama teman-teman saya yang lain setelah kuliah selesai hari itu, sekitar pukul 11 siang.  Awalnya bagi saya perjalanannya biasa saja, kanan kiri dipenuhi pemandangan kota, penuh gedung dan minim pohon, pemandangan yang tidak begitu saya sukai.  Ya, ya, saya memang berlatar belakang pendidikan arsitektur tapi sebenarnya saya tidak begitu suka gedung-gedung, terutama pencakar langit.  Bagi saya rona hijau alami pada tetumbuhan jauh lebih indah dan menyenangkan untuk dilihat.

Dan saya mendapatkannya ketika perjalanan semakin jauh meninggalkan kota, menuju Probolinggo.  Sawah yang luas menghampar sampai ke horizon, warna hijaunya cantiiiiiiiik sekali.  Berbagai jenis  pohon juga ramai memenuhi pandangan saya, yang menempelkan wajah di jendela mobil, rasanya seperti anak kecil yang kelewat takjub saat pertama kali dibawa ke kebun binatang.  Begitu banyaknya jenis pohon hingga Mas Aji—teman yang mengemudikan mobil hari itu—selalu menjawab “Mahony” tiap kali ditanyai apa jenis pohon yang kami lihat ^__^  Rumah-rumah tradisional sederhana dengan warna coklat tanah liat alami pada atap-atapnya juga sesekali terlihat, dan bagi saya terlihat menawan, serasi dengan pemandangan non-artifisial yang melatarbelakanginya.  Satu kali saya melihat ada seorang bapak yang sudah cukup berumur tampak beristirahat sembari menyantap makan siangnya di tepi sawah, di bawah sebuah pohon—yang sekali lagi disebut Mahony oleh kawan saya—yang merindanginya.  Di dekatnya, ada seorang lagi yang duduk santai menjagai ternak-ternaknya.  Mungkin terdengar naif, tapi sempat terbesit setitik iri dalam diri saya, karena di mata saya hidup mereka tampak begitu damai, begitu tenang, tanpa diburu berbagai agenda seperti mereka-mereka yang sering ditemui di kota.  Udara yang dihirup terasa sejuk, matahari lebih bersahabat.

Dan tahukah Anda, langit tampak jauh lebih lapang dan indah ketika tak ada dinding-dinding beton yang menghalangi.  Entah hanya perasaan saya atau bagaimana, tapi langit yang berparas biru muda siang itu terlihat lebih memukau dari yang biasa saya temui di kota.  Hamparan awannya pun mengesankan, luas dan lebar seperti payung besar di atas sana.  Dan saya bahkan bermain tebak-tebakan bentuk awan dengan seorang kawan saya yang lain—Mas Agus—setelah sekian lama saya tak melakukannya.  Belum cukup sampai di situ, ketika memasuki wilayah Paiton, kami disuguhi pemandangan laut berwarna biru tua jernih di sisi jalan, begitu dekat seolah dapat dijangkau dengan berjalan kaki saja.  Sudah cukup lama saya tidak melihat laut dengan warna sepekat dan sebagus itu, tampak kontras dengan biru muda berbaur jingga tipis dari senja yang mulai bangun, tapi saling melengkapi, memanjakan mata saya.

Sebenarnya perjalanan yang seperti itu bukannya jarang saya temui.  Pemandangan seperti itu adalah biasa ketika saya bepergian dari Balikpapan menuju kota kelahiran saya, Samarinda, tiap kali liburan tiba, juga ketika saya menghampiri Jogjakarta untuk keperluan survey skripsi.  Pada masa-masa itu, saya juga merasakan ketenangan yang sama, kekaguman yang sama, hanya saja entah mengapa kemarin terasa istimewa.  Mungkin karena saya sudah lama mendekam di rumah dan kampus, dan mungkin juga karena kemarin saya tidak berdesakan dengan penumpang kendaraan travel yang lain dan menguasai kursi tengah mobil seorang diri, hehe ^__^

Perjalanan dari Situbondo menuju Bondowoso juga mengasyikkan.  Seperti soundtrack anime Ninja Hattori yang sering saya tonton ketika masih kanak-kanak, kami benar-benar “mendaki gunung, lewati lembah”.  Jalannya menanjak dan berkelak-kelok, tikungannya tajam dan tak jarang hingga 180O.  Wuih, dan karena kawan saya hobi menyalip kendaraan meski dalam medan seperti itu, rasanya seperti berada dalam adegan film Fast and Furious ^__^  Yang saya sukai adalah pemandangan di sisi jalan, yang menampakkan jalan-jalan yang telah kami lalui jauh hingga ke bawah sana.  Keren sekali.  Serasa naik menuju puncak dunia, hahaha.

Perjalanan itu terasa lengkap dengan acara pernikahan yang kami hadiri.  Kami tiba sangat terlambat, namun kebahagiaan dan kemeriahannya tetap terasa.  Setelah sekitar dua jam menghabiskan waktu di Bondowoso, akhirnya kami beranjak pulang ke kota Malang tercinta.  Sayangnya malam sudah tiba dan sesak napas saya kambuh, sehingga tidak dapat menikmati pemandangan kembali.  Namun saya akan selalu mengingat perjalanan 5 jam bersama hijau dan biru alam itu, ditemani orang-orang menyenangkan yang suka tertawa dan mudah membuat saya ikut terbahak, dan iringan lagu-lagu nostalgia Sheila on 7 ^__^

Tak perlu pergi terlalu jauh untuk melihat tempat baru dan melepas penat.  Tak perlu ngotot ke luar negeri untuk terkagum dengan hal yang belum pernah kita ketahui.  Cobalah sesekali beranjak dari depan laptop, PC, tumpukan buku dan DVD-DVD, juga empuknya kasur serta bantal, luangkan waktu untuk keluar mencari sudut lain yang begitu dekat namun mungkin selama ini luput dari mata. 

Bentangkan lengan, hirup udara segar, dan syukurilah apa yang alam sudah berikan pada kita.

Malang, 12 November 2011
12:54

No comments: