Saturday, November 12, 2011

Lima Belas

Hari ini.


Hari ini ulangtahunku.  Dan akan menjadi ulang tahun terbaikku.  Karena aku akan berumur lima belas.  Orang-orang mungkin biasa menganggap usia tujuh belaslah yang istimewa, tapi tidak begitu bagiku.  Untukku, usia kelipatan limalah yang istimewa. 

Dulu, ayah mengajariku sesuatu yang sederhana.  Ketika itu usiaku beranjak lima, ayah meraih sebelah tanganku, membukanya, merentangkan jemariku, dan berkata sebesar itulah usiaku sekarang.  Sejumlah jariku.  Aku bertanya apakah itu berarti aku akan bertambah besar suatu saat nanti, apakah ketika usiaku bertambah lima lagi, aku akan dapat menjadi sebesar rentangan tangannya, rentangan tangan ibu.  Ia berkata iya.  Lima tahun lagi, tanganku akan cukup besar untuk menggandeng tangan ibu dengan sempurna.  Dan lima tahun kemudian, tanganku akan lebih besar lagi untuk dapat menggandeng tangan ayahku dengan setara.

Sejak saat itu, aku selalu menantikan ulangtahun kelipatan limaku.  Dan hari ini, aku akan menjadi sebesar tanganku sekarang.  Rentangannya sudah mampu untuk menggenggam erat tangan ibu.  Memang belum sebesar tangan ayah, tapi aku yakin  telah cukup besar untuk menggenggamnya erat juga.

Dan seperti yang selalu terjadi setiap ulangtahun kelipatan limaku, segalanya terasa sempurna.  Bahkan alampun seolah setuju untuk merayakannya bersamaku.  Cahaya matahari menyusup malu-malu melalui tirai jendela kamarku, mengundangku untuk keluar menyambutnya, menerima hujan cahayanya yang selalu terasa lebih hangat pada ulang tahun kelipatan limaku.  Lihatlah.  Langit mengenakan gaun birunya yang terbaik, tak mengizinkan segenggam awanpun mengintip, memberiku labur warna yang paling kusukai di atap dunia.  Dengarlah.  Burung-burung bersenandung, gemanya seperti dentingan lonceng-lonceng kecil, berorkestra khusus untukku. 

Dan tak ada yang lebih baik daripada senyum ayah dan ibu.  Senyum itu membuatku merasa hangat seolah memelukku, bahkan sebelum aku benar-benar membenamkan tubuhku di antara lengan-lengan itu.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Kukatakan iya, dan dengan satu lambaian, kutinggalkan keduanya, menuju sekolahku.  Ah, rasakanlah.  Bahkan angin bergemerincing riang bersama langkahku.  Ini memang hari terbaik, sudah kukatakan.  Dan akan jadi lebih baik lagi ketika aku pulang dan merayakannya bersama ayah dan ibu.  Dengan sebuah kue mungil bertuliskan namaku, dengan lilin-lilin kecil yang memberi percik menyenangkan di atasnya.  Lalu aku akan menggenggam tangan ibu dan ayahku.  Aku tak akan peduli pada kado-kado yang terpita rapi.  Karena kedua tangan itu sudah cukup untukku.

“Hei, selamat ulang tahun!”

Alunan kata selamat memenuhi udara di sekelilingku ketika aku sampai di sekolah.  Wajah-wajah mereka membentuk senyum, lengan-lengan mereka merengkuhku, tangan-tangan mereka menyalamiku.  Kurangkai ucapan terimakasih berbalut senyum sebagai balasnya.  Bahkan nada-nada dalam lagu selamat ulang tahun yang mereka nyanyikan untukku bergetar lebih indah di telingaku hari ini.  Bukankah sudah kukatakan hari ini istimewa?

Waktu di sekolah kulalui dengan sempurna, tak ada cacat di sana.  Aku pulang dengan langkah ringan, ditingkahi suara pantulan yang terdengar bagai tangga nada pada tiap jejak.  Bahkan tanah yang kupijak turut menyelamatiku. 

“Selamat datang!”

Dan kudapatkan kue mungilku, api-apinya padam dengan patuh ketika kutiup, dan tawa berkicauan dari senyum-senyum itu, tangan-tangan yang kucintai itu bertepuk, lalu kugenggam keduanya.  Umurku lima belas hari ini.  Dan tak akan ada yang lebih baik.  Rasa bahagia ini pasti akan tersimpan abadi. Tak akan kalah oleh apa pun.  Tidak juga oleh tirai malam yang turun perlahan menyentuh bumi, mengganti hari ulang tahun kelipatan limaku menjadi hari lain bernama esok.

Esok.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Aku mengerjap. Hari apa ini?  Kulihat senyum-senyum yang seperti memelukku itu ada di sana.  Matahari memberi sinar terhangatnya.  Langit dengan gaun terbaiknya.  Orkestra khusus untukku mengambang di udara. 

Ah ya, ini ulang tahun kelima belasku.  Ini akan jadi hari yang sempurna.

“Ini salahmu! Ini salahmu!”

Apa itu?  Ada sebuah retakan yang tak kutahu, memecah pandangku, seperti potret yang tak sengaja terjatuh.  Ah, tidak, ini ulang tahun kelima belasku.  Tak akan ada cacat apa pun hari ini.  Kulambaikan tanganku, berjalan bersama gemerincing angin.

“Hei, selamat ulang tahun!”

Kujawab alunan kata itu, senyum itu, pelukan itu, dengan ucap terima kasih berhias senyum.  Menit-menit menyenangkan di sekolahku.  Dan aku pulang hari itu dengan langkah-langkah ringan, aku tahu apa yang akan kutemui di rumah.

“Selamat datang!”

Kutiup api-api kerdil yang menari-nari itu.  Tepuk terdengar, senyum berderai.  Dan kuulurkan tanganku, hendak menggenggam tangan mereka.

“Salahmu!  Ini salahmu! Seandainya kau tak ada!”

Lagi.  Apa itu? Tak bisa kutemukan di mana retak itu.  Ia seolah muncul dari titik buta yang tak terjangkau iris mataku, sulur pikiranku.  Ah, tapi bukankah ini ulangtahun kelipatan limaku?  Tak akan ada yang cacat, segalanya sempurna.  Dan akan abadi, tak peduli cahaya bulan menghanyutkannya, melahirkan hari lain berparas esok.

Esok.

“Cepatlah pulang, kami menunggumu!”

Aku mengerjap.  Lagi.  Hari apa ini?  Kutemukan senyum-senyum hangat itu, dan kutahu ini hari ulang tahun kelimabelasku.  Aku melambai, dan kulangkahkan kakiku ke sekolah, dan kutahu nyanyian selamat ulang tahun telah menantiku.

“Dasar anak sampah!  Kau dibuang ayah ibumu kan?”

Retakan lagi.  Kenapa ada titik-titik lisan yang mencemari alunan kata selamat untukku?  Ah, tidak, lupakan, bukankah ini hari ini ulangtahunku?  Tak ada cacat, segalanya sempurna.  Dan aku tahu kue mungilku sudah menunggu.  Kedua tangan itu akan di sana untuk kugenggam.

“Seandainya kau tak ada!”

Retakan itu lagi.  Menoreh lantunan tepuk dan tawa ketika aku meniup lilin-lilin itu.  Ah, lupakan.  Bukankah ini hari ulangtahun kelima belasku?

“Menghilang saja kau!  Menghilang!”

Dan aku tahu, bahkan ketika bintang menguasai lembar langit, ketika esok telah mengintip di bawah lengan malam, perasaan bahagia ini akan tetap abadi.

“Mati saja!  Mati!”

Hari ini.

“Sudahlah, tak perlu repot-repot memberinya makan.”

“Eh?  Kenapa?”

“Oh, kau tak tahu?”

“Tidak tahu apa?  Aku baru di sini.”

“Pantas saja.  Gadis itu sudah begitu sejak diantarkan ke sini dua tahun lalu.  Tidak bergerak, tidak bicara.”

“Kasihan.  Apa yang terjadi padanya?”

“Masalah keluarga.  Orangtuanya bercerai saat usianya sepuluh tahun, dan sejak saat itu ia tinggal dengan ibunya.  Setelah beberapa tahun, sepertinya ibunya mulai stres, dan berkali-kali melakukan kekerasan padanya.”

“Itu yang membuatnya jadi seperti ini?”

“Kurasa bukan.”

“Lalu apa?”

“Tepat pada ulang tahunnya yang kelima belas, ibunya mengamuk, berusaha melukainya.  Kurasa ibunya agak gila.”

“Lalu?”

“Lalu ibunya meninggal.  Polisi yang menemukannya melihat sebilah pisau tergeletak di dekat tangannya, dan ibunya berlumuran darah di depannya.  Mati.”

“Astaga.  Ia membunuh ibunya?  Itu yang membuatnya jadi begini?”

“Kurasa. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusnya.”

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Lihatlah...ia—”

“Ia apa?”



“—ia tersenyum.”



Malang, 24 Maret 2011
20:45

No comments: