Saturday, November 12, 2011

Dunia Bernama Dia


Aku benci dunia. 

Saat kusampaikan itu, apa yang akan kau katakan?  Mungkin kau akan berkata aku egois.  Mungkin kau akan berkata aku munafik.  Tapi itulah adanya.  Aku tidak mengada-ada.  Aku tidak mengarang-ngarang cerita.

Aku benci dunia.

Seandainya ada kata yang menggambarkan satu tingkat rasa di atas benci, aku akan menggunakannya. 

Definisikan dunia untukku.  Dan aku akan mendengar berbagai macam jawaban.  Sebagian besar akan menjawab dunia adalah anugerah bagi manusia sebagai tempatnya lahir, tumbuh, dan mengejar cita-cita.  Sebagian lagi dalam besar yang sama akan menjawab dunia adalah perjalanan, di mana di sepanjang jalan itu kita akan berpapasan dengan banyak orang; menyapa mereka, berbincang, dan saling membantu saat ada kerikil atau bahkan batu besar yang menghalangi langkah.

Dunia bagiku?  Tidak ada.  Tidak ada dunia bagiku.  Hanya sekedar kata yang kugunakan untuk mewakili suatu ruang dan masa di mana aku dipaksa ada, meskipun hari-hari selalu berlari meninggalkanku, bahwa keberadaanku tidak pernah dan tidak akan pernah penting baginya.  Dengan atau tanpaku, waktu akan terus berputar.  Begitu juga dengan dunia.

Seperti itulah hubungan yang selama ini kujalin dengan dunia.  Ia melahirkanku bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus.  Dan aku terus hidup bukan karena aku ingin, bahkan tidak juga harus.  Aku hanya seonggok manusia yang tidak merasakan tanah meski kakiku berpijak di atasnya.  Tidak merasakan udara meski dadaku bernapas.  Tidak merasakan cahaya meski aku tidak buta.  Tidak merasakan rasa meski tanganku menyentuh.

Lalu kenapa aku masih juga ada?

Karena aku terlalu pegecut untuk membebaskan diriku sendiri. 

Dan karena aku pandai berpura-pura.

Aku akan ikut tertawa saat mereka bahagia.  Aku akan ikut nelangsa saat mereka sedih.  Aku akan bersimpati saat mereka butuh dukungan. 

Aku teman yang sempurna.  Dengan topeng yang sempurna.  Aku telinga yang mendengarkan semua keluh kesah mereka.  Aku bahu yang menjadi tempat mereka bersandar saat lelah.  Aku lengan yang memeluk mereka saat merana dan tak kuasa menahan tangis.
Telah kuukir topengku dengan sempurna. Bahkan pemahat terbaik pun tak bisa menandingi lekuk senyum setulus yang kuciptakan, tidak juga mata sendu yang kulukis saat mereka mengutarakan betapa melelahkannya dunia.  Dunia mereka.

Aku aktor yang sempurna.  Dengan ekspresi tanpa cela.  Dengan kata-kata indah tanpa terdengar dusta. 

Dan kesempurnaan itulah yang membuatku membenci dunia.

Kenapa aku harus bersikap manis pada dunia jika dunia tidak bersikap manis padaku?

Orang-orang itu sudah terlalu lama menuntutku untuk memerankan kesempurnaan itu.  Orang-orang itu sudah menempaku sedemikian keras seperti pandai besi menempa pedang terbaiknya. Yang tanpa cacat, tanpa retak. 

Dan begitulah aku.  Seperti pedang itu, aku terlalu hanyut dalam kesempurnaanku, hingga aku lupa seperti apa hidup yang sebenarnya.  Seperti apa emosi yang sebenarnya.  Meski aku bisa tersenyum, tertawa, dan bersedih, aku tidak bisa mengerti alasan untuk semua itu. 

Seperti pedang itu, aku telah dibentuk lurus dalam garis yang sempurna, dan dibekukan dalam air yang dingin ketika panas masih menggerogoti kulitku, hingga aku menjadi sekaku dan sedingin besi. Kokoh bagi mereka yang memandangku.  Tapi pernahkah mereka benar-benar memandangku?

Dan seperti pedang itu, aku memberi batas bagi mereka untuk tidak berada terlalu dekat denganku.  Aku dapat melukai mereka kapan saja.  Hanya jika aku ingin.  Tapi selimut pedangku juga dirajut dengan sempurna.

Sudah kukatakan aku sempurna.  Ragaku terlalu pandai membungkus ketiadaan jiwa di dalamnya.  Tidak ada yang perlu dan akan tahu bahwa aku tidak memiliki diriku.  Seperti aku tidak memiliki dunia.

”Hei!”

Tepukan ringan hinggap di bahuku, menyalakan alarm dalam tubuhku untuk kembali mengenakan topeng terbaikku. 

”Terima kasih mau menemaniku!”

Aku tersenyum.  Senyumku yang sempurna.

”Tentu saja.  Itu gunanya teman.”

Ia tertawa senang, merangkul tubuhku dengan lengannya yang panjang dan ramping, membawaku duduk di bangku tepat di sampingnya.

Aku sudah pernah mengikuti kelas ini.  Secara informal. Bertahun-tahun yang lalu.  Dan aku cukup yakin sekarang pun, setelah sekian lama, aku masih memiliki apa yang kupelajari dulu. 

Tapi aku teman yang sempurna.  Kutemani dia dengan resiko bosan yang tinggi.  Apa bedanya?  Dunia toh tidak pernah berbaik hati padaku dengan cara apa pun.

Mereka di ruangan itu segera menyukaiku, meski baru pertama kali bertemu.  Seperti itulah mereka selalu memperlakukanku.  Sebagai seseorang yang manis laku dan ucapnya.

Hari ini akan berakhir sama seperti hari-hari sebelumnya.  Dalam sekejap yang tidak bisa kurasakan.  Dan akan segera berganti dengan hari baru yang masih juga akan selalu sama.

Tapi aku salah.  Ada cacat dalam hariku yang seharusnya kulalui dengan sempurna.

”Gantikan aku,”

Katanya dengan nada ketus yang jarang kudengar, menghujamku dengan serta merta, diiringi tatapan nyalang yang tak bisa kuelakkan.

”Aku tidak mau satu kelompok dengannya.  Gantikan aku.  Dengan siapa saja.”

Dan aku dapat membaca kata selanjutnya yang ingin diucapkannya, tertulis jelas di sepasang mata yang memandangku seperti noda yang seharusnya tak ada.

Selain dia.

Aku aktor yang sempurna.  Aku bersikap manis pada semua orang, dan semua orang bersikap manis denganku, terperdaya topeng yang membungkus erat selongsong kulit wajahku.  Tapi tidak dengannya.

Sekali itu sadarlah aku, aku telah dibenci.  Oleh orang yang baru saja kutemui.  Yang bahkan tak kuketahui namanya.

Aku bertanya-tanya apa yang salah pada topengku, hingga berhari-hari ke depan mata nanar itu masih juga terbakar merah oleh sesuatu yang tidak bisa kumengerti saat menatapku.  Bencikah itu?  Atau sesuatu di luar kemampuanku untuk menerjemahkan emosi?

Aku tak tahu.

Dan seharusnya aku tak peduli.

Tapi ia berbeda.  Ia umpama pengecualian dalam duniaku yang semu.  Ia seperti orang asing yang semestinya tak ada di sana.  Sepertiku.

Dan itulah jawabnya.

Setelah berminggu-minggu aku termangu dengan ia yang menganggapku seolah ancaman bagi hidupnya yang selama ini tenang dan tertata, meski aku tak pernah bertukar sepatah kata pun dengannya.  Ia akhirnya memberiku jawabnya.  Jawab yang memberitahuku mengapa ia berbeda.

“Hentikan,”

Katanya sore itu, saat aku sampai di muka pintu, bergegas ingin pergi dan tak ingin jadi orang terakhir yang bersamanya saat itu.  Lengannya terulur menghalangi jalanku.  Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar memandang matanya.  Coklat tua yang lebih dalam dari yang bisa kuperkirakan dan kutempuh.  Memancarkan warna merah seperti biasanya, yang masih juga belum kumengerti.

“Lepaskan itu,”

“Apa?”

“Lepaskan topengmu.”

“Apa maksudmu?”

“Kubilang, lepaskan topengmu.  Tanggalkan senyummu, buang semua kata-kata manismu.”

Aku hanya diam, memilih untuk berpura-pura, seperti biasa.  Mata coklat itu melembut, warna merahnya memudar.  Tapi kata-katanya mengiris-ngiris topeng sempurnaku, perlahan tapi pasti.

”Aku muak denganmu yang seperti itu.”

”Izinkan aku bertanya mengapa.”

Merah itu kembali menyala.  Tapi kali ini aku tidak menghindarinya, sekalipun aku tidak memahaminya.

”Aku melihatnya di matamu,”  bisiknya dengan tajam, meretakkan beberapa keping dari topengku, ”warna merah yang sama.”

Ternyata aku salah.  Dia bukannya berbeda.  Dia justru begitu serupa denganku, jauh lebih serupa dari yang bisa kuduga.

Tapi lelaki bermata coklat terbakar itu lebih kuat menghadapi dunia.  Tak sejengkal pun dari wajahnya yang terlapisi topeng, tak ada selapis baju besi pun yang digunakannya, seperti yang kulakukan.  Ia jujur pada dunia.

Ia tahu dirinya membenci dunia, dan ia ingin dunia tahu itu.  Ia tidak bersusah payah memahat topeng, tapi membiarkan dunia melihat warna merah di matanya itu.

”Tidakkah kau lelah?” tanyanya.

Warna merah itu melembut, dari api menjadi senja.

”Kau membiarkan dirimu kalah dengan sikap manismu.  Dunia menertawakanmu.”

Aku tahu itu.  Tapi tahukah engkau?  Telingaku sudah tuli akan tawanya.

”Biarkan aku jadi pengecut.”

Ia menyahutiku dengan diam.  Tatapan kami bertemu.  Dan untuk pertama kalinya, kulihat warna merah yang sama pada wajahku, di dalam matanya.  Ternyata ia benar.

Tangannya mengendur, memberiku jalan untuk lari.  Tapi kakiku sudah kelu. 

”Tetaplah hidup.”

Dan kupandangi punggung itu menjauh.

Hariku tak lagi sama.

Ia membawa cacat dalam kesempurnaan yang kubangun dengan penuh peluh.  Ia menyusup ke dalam duniaku melalui celah kecil yang tak kusadari.  Ia bersembunyi dalam titik buta yang luput dari inderaku.

Ia terus mengawasiku dengan mata merahnya.  Tapi kini aku tak lagi takut.  Warna merah yang seolah membakar kulit dan topengku itu bagai candu bagiku.  Aku sanggup hidup tanpa menghirup udara, tapi aku merasa akan mati tanpa rasa panas itu.
”Aku membencimu.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku membencimu, seperti aku membenci semua orang.  Dan aku jauh lebih membencimu setelah kutemukan warna itu di matamu.”

Kubiarkan diriku mati rasa.  Kunikmati setiap bara yang kulihat di matanya.  Dan sekalipun ia akan menghanguskanku menjadi abu, aku yakin aku tidak peduli.

”Tapi kau ada di sana.”

Bisikannya menyentuh telingaku yang tuli, menggelitik pendengaranku, membangunkan pikiranku yang tertidur.

“Kau penyusup dalam duniaku.  Langkahmu tak terdengar olehku.  Saat aku telah terbiasa dengan hitam, satu-satunya warna yang pernah kukenal, tiba-tiba kau hadir.  Kau menjadi satu-satunya warna merah yang tertangkap mataku.”

Sekali lagi kulihat senja di sana.

”Aku ingin menghalaumu.  Sudah kunyalakan api agar kau menjauh, lenyap menjadi warna hitam yang sama.  Tapi kau selalu ada di sana.  Aku ingin lari darimu, tapi tak selangkah pun aku sanggup berpaling.”

Jemarinya terulur ke wajahku, tapi dihentikannya sebelum sempat kurasakan sepanas apa kulitnya.  Ia tak pernah menyentuhku.

”Aku tak ingin kau lenyap.”

Dan kututup hariku dengan kembali memandang punggungnya menjauh.

Biarkan aku jadi pengecut.  Biarkan dunia menertawakanku.  Karena memang begitulah ia memperlakukanku.  Melahirkanku sebagai pedang, bukan sebagai burung. 

Aku sudah sempurna saat dibenamkan dalam air dingin, tapi mengapa sekarang aku merindukan panas itu?

Aku tak lagi sempurna.  Aku cacat.  Aku rusak.  Dan tak ada gunanya memperbaikiku.  Karena aku menikmati tiap toreh itu.

Aku tak lagi sempurna.  Aku terkoyak. Aku berdarah.  Dan tak ada gunanya mengobatiku.  Karena aku menikmati tiap tetes warna merah itu.

Warna yang sama dengan matanya.

”Aku lelah.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku lelah dengan hitam itu.  Aku lelah berusaha menutup mataku darimu.  Aku lelah dengan dunia.”

Aku tahu itu.  Tapi tahukah engkau?  Lelah itu bahkan telah lelah mengejarku.

Ia tak pernah menyentuhku.

Tapi tangannya terulur padaku, pada sore itu.

Dan senja ada di matanya.

“Raih tanganku.”

“Izinkah aku bertanya mengapa.”

“Karena aku melihat senja di matamu.  Dan tak akan kubiarkan hitam merusaknya.  Tidak.  Tidak akan ada aku.  Kau.  Dunia.  Aku tidak butuh semua itu.”

”Aku hanya butuh kita.”

”Dan kau tak perlu berpura-pura saat bersamaku.”

Kuraih tangannya.  Dan panas itu membakarku hingga ke tulangku, meleburku menjadi abu.  Dan ia membiarkan dirinya menjadi abu yang sama. 

Aku memang benci dunia. 

Aku memang tak memiliki dunia.

Tapi kini aku hidup dalam sepetak dunia itu untuk selamanya.

Karena aku ingin.  Karena aku harus.

Sepetak dunia bernama dia.




Malang, 19 Januari 2009
10:32

Untuk dia yang terlupa.

No comments: