Sunday, April 22, 2012

Mirror, mirror


Mereka bilang aku cantik.

Mereka bilang aku sempurna. 

Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki mata seindah yang kupunya, yang begitu cemerlang seolah memerangkap kerlip bintang dari malam.  Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki bibir serupawan yang kupunya, yang begitu serasi dengan senyum seolah menyerap pesona bunga-bunga.  Mereka bilang tidak ada seorang lain pun memiliki suara semerdu seperti yang kupunya, yang begitu membuai bagai menandingi lantunan burung-burung pagi.

Mereka bilang aku cantik.  Dan karenanya mereka berkata akan memberiku segalanya.

Mereka memanjakanku.  Menyiramiku dengan pujian tanpa jeda.  Menghadiahiku berbagai macam sebelum aku memintanya.  Bahkan sebelum aku bisa membedakan mana yang kubutuhkan dan mana yang sekedar kuinginkan.

Mereka menimangku dengan sayang.  Mengelilingiku dengan senyum.  Memeluk dan menciumku dengan kasih.  Menyebut iri tak memilikiku sebagaimana kedua orangtuaku.  Mengucap betapa berharganya diriku.  Betapa aku bahkan memiliki nilai lebih dibanding yang lain, yang mereka sebut tak secantik diriku.

Mereka bilang aku istimewa.  Dan seperti itulah aku diperlakukan sedari belia.  Aku tak pernah kekurangan apa pun.  Aku tak pernah perlu memohon.  Segalanya telah disodorkan padaku sebelum kubuka suara.

Mereka baik padaku.  Tak pernah ada cerca hinggap di pendengaranku.  Tak pernah ada hardik singgah di hadapanku.  Karena mereka menyayangiku. 

Karena aku cantikkah?  Pernah kupikir begitu.  Barangkali jawabannya iya.  Karena satu kata itu tak pernah lupa diselipkan di antara kalimat mereka ketika bertukar cakap denganku.  Bolehkah aku dicintai karenanya?  Pernah pula kupikir begitu.  Barangkali jawabannya iya.  Karena ibu bilang tiap orang lahir dengan binarnya masing-masing yang tak terbenamkan oleh yang lain.  Barangkali, cantik adalah binar terbaikku.

Maka begitulah aku memutuskan menghidupi hari-hariku.  Menerima segala kebaikan yang mereka julurkan dengan lapang hati, membalas dengan senyum dan ucap terima kasih.  Dan sebagaimana mereka menyayangiku, aku pun menyayangi mereka.  Dengan kemampuan terbaikku, aku berusaha mengembalikan semua kemurahhatian itu.  Dengan sepenuh tekad, aku berusaha memandang mereka dengan tiap binar dalam diri mereka.

Tak ada yang berubah ketika aku mulai masuk sekolah.  Teman-teman menyukaiku.  Guru-guru memfavoritkanku.  Aku tak pernah sendiri tanpa kawan-kawan mengajakku bermain, bergabung dalam tiap kegiatan mereka. 

Sebagian di antaranya menjadi karib, tak terpisahkan dariku.  Kami selalu bersama.  Membagi segalanya bersama.  Haru dan nestapa kami lalui bersama.  Lengan kami selalu saling merangkul satu sama lain.  Tak membiarkan seorang pun merasa ditinggalkan.  Tak menghendaki separas pun dilukis kesedihan.

Kami bahkan memakai selingkar gelang serupa di tangan kami.  Diiringi janji akan bersahabat selamanya, tak peduli hambat dan halang apa pun yang mungkin menyandung, kami simbolkan ikatan tak terputus di antara kami dengan helai manik-manik di pergelangan tangan kami.

Dengan ayah dan ibuku di rumah, dan dengan mereka di sekolah, hidupku sempurna.  Aku tersenyum bagai bernapas, begitu alami dan mudah.  Tawa bukanlah hal langka.  Bahagia bukanlah sesuatu yang asing. 

Tapi, ibu tidak pernah mengajarkanku bahwa hal-hal baik tidak selalu bertahan selamanya.

Remaja aku kini, beberapa langkah menjelang dewasa.  Aku masih memiliki sahabat-sahabatku, rapat selalu di sisiku.  Tapi ada orang-orang lain yang juga mendekat.  Berlainan jenis denganku, dengan kami.  Pemuda-pemuda itu mengistimewakanku dengan cara-cara yang tidak pernah dilakukan kedua orangtuaku.  Mereka terlihat berusaha terlalu keras untuk sekedar mendapat sejumput waktu berbincang denganku.  Mereka terdengar terlalu bersusah payah untuk sekedar mendapat sepetak ruang dalam jangkau keberadaanku. 

Bagiku itu aneh.  Mereka meletakkanku terlalu tinggi di atas mereka.  Seolah aku begitu mulia.  Terlalu tak terjangkau.  Dan bahwa aku tak boleh semudah itu diraih.  Sementara aku lebih suka dipandang sejajar.  Berkawan setara sebagaimana yang lain.  Bukankah semua orang memiliki binar masing-masing, yang tak tergantikan oleh yang lain?

Mereka tampaknya tak memahami itu.

Dan lebih banyak lagi ketidakpahaman muncul setelahnya.

Satu-dua dari sahabatku mulai berubah.  Polah dan ucap mereka mulai tak kukenali.  Kusadari mereka lebih mudah begitu tiap kali pemuda-pemuda itu berusaha mendekatiku. Kernyit tak suka dan desah enggan mereka perdengarkan.  Barangkali mereka terganggu.  Barangkali mereka, sama sepertiku, tak begitu nyaman dengan segala sikap mereka terhadapku.

Maka kujauhi kesemuanya.  Tak masalah dengan bisik-bisik yang menyertai kemudian.  Bahwa aku pongah.  Bahwa aku congkak.  Tak apa.  Aku masih memiliki sahabat-sahabatku.  Dengan begitu, aku tak kekurangan apa pun.  Tak kehilangan apa pun.  Keberadaan mereka berarti dunia bagiku, sebagaimana ibu dan ayah berarti semesta untukku.

Senyum mereka kembali padaku.  Begitu singkat.  Untuk kemudian digantikan murka yang tak terbayangkan.  Mereka menarikku dengan gerak yang menyakitiku.  Mereka menyudutkanku dengan tatap yang menakutkanku.  Mereka membentakku dengan lantang yang melumpuhkanku.

Apa salahku?  Kutanya mereka. 

Amarah dijeritkan di telingaku, diikuti tuding yang tak kupikir akan pernah ada.  Sahabatku sebut aku pengkhianat.  Sahabatku sebut aku merenggut apa yang diinginkannya.

Aku tak paham.  Kusahut mereka.

Tamparan didaratkan di pipiku, dilanjutkan penyalahan yang tak kupikir pernah kubuat.  Mereka mengutuk kecantikanku.  Menyebutku culas karena menggunakan binarku itu untuk mendapatkan segalanya.  Dengan terlalu mudah.  Yang tak bisa mereka dapatkan bahkan dengan segenap tenaga. 

Terutama satu nama itu, ia katakan.  Satu pemuda dari sekian yang lain yang mendekatiku.  Satu paras yang dikagumi sahabatku sejak lama.  Satu sosok yang diingini sahabatku untuk berada di dekatnya. Yang justru memalingkan wajahnya padaku, menatapku dengan pandang yang bahkan tak bisa kuartikan cinta. 

Aku tidak sengaja.  Kuyakinkan mereka.  Aku tidak memaksudkannya.  Bagaimana bisa?  Aku menyayangi sahabatku lebih dari diriku sendiri.  Bagaimana bisa mereka berpikir aku akan melakukannya?

Sahabatku tak percaya.  Dan satu kata itu ia tancapkan dalam-dalam menembus rusukku.  Melubangi tempat di mana sebelumnya hatiku berada.  Bersamaan butir-butir manik yang dihempaskan tepat pada wajahku.

Ia sebut aku pengkhianat.  Ia sebut aku tak termaafkan.

Dan seluruh dunia kemudian seolah mengiyakan.  Satu persatu kawan meninggalkanku.  Menyetujui tiap tuduh yang dikatakan sahabatku.  Bahwa aku pengkhianat.  Bahwa aku sengaja membuat semua orang menurutiku.  Bahwa aku sebetulnya merendahkan mereka yang tak sama binar denganku.

Tak hanya lisan dan prasangka, mereka juga melempariku dengan benda-benda yang menyakiti dengan pedih yang kentara di kulitku.  Tak ada tempat tersisa untukku di sana tanpa diterjang umpat.

Mereka bohong.  Bukankah mereka bilang tak akan pernah meninggalkanku?  Bukankah mereka bilang kami adalah abadi, apa pun yang terjadi?

Aku berlari ke rumah.  Tempat teramanku.  Aku akan baik-baik saja.  Ada ayah dan ibu.  Mereka akan memeluk dan melindungiku dari segala kebencian itu.  Karena mereka menyayangiku.  Karena mereka bilang aku berharga.

Tapi yang menyambutku bukan senyum hangat ibu dan rengkuh hangat ayah.

Mereka ada di sana.  Tapi aku tidak mengenali mereka, sebagaimana aku tak lagi mengenali sahabat-sahabatku.  Mereka saling melempar maki.  Ayah menyebut ibu pembohong, menduakannya.  Membohongi sejak lama tentangnya.  Ibu balas meneriakinya.  Menyebut ayah tak lebih baik.  Menyisihkannya untuk seorang yang lain dalam peluknya.  Mendusta sejak lama tentangnya.

Lalu mereka menyanggahku.  Ayah menyebutku bukan anaknya, melainkan seorang yang jadi rahasia bagi ibuku.  Aku tak mirip dengannya, ia sebut.  Tak pernah mirip.  Terlalu cantik, ia sebut.  Membuatnya jijik.

Aku berlari ke kamarku, mengunci pintu dan memejamkan mata rapat-rapat.  Berharap segalanya hanyalah mimpi.  Dan ketika aku membuka mata, ayah dan ibu sudah kembali.  Begitu pula dengan sahabat-sahabatku..

Tapi yang kutahu, dalam mimpi seharusnya aku tak bisa merasakan sakit.

Teriakan mereka menggelegar.  Lagi.  Hari ini.  Lalu esok.  Lalu lusa.  Lalu hari-hari yang tak bisa kuhitung lagi.

Mereka bohong.  Bukankah mereka bilang aku istimewa?  Bukankah mereka bilang aku tak terganti?  Bukankah mereka bilang mereka menyayangiku?

Lalu kenapa kemudian ibu pergi, melesat dari hadapanku, pecah dalam tangis?  Berkata tak akan pernah kembali lagi?  Menepis ketika kubujuk?  Menyentak genggamanku lepas ketika kumohon jangan meninggalkanku?

Lalu kenapa kemudian ayah murka, dan memukuliku dengan kata-katanya yang bagai pecut?  Berteriak untuk pergi dari hadapannya?  Berkata tak ingin melihatku karena terlalu mirip ibuku, yang kini dibencinya? 

Kenapa?

Bunyi pecah berserak di sisiku, tak jauh dari tempatku berdiri.  Ayah melempariku.  Menggertakku untuk benar-benar lenyap dari pandangannya.

Aku menunduk dalam ketakutan, hanya untuk mendapati wajahku balas menatapku dari tiap pecahan kaca di bawah kakiku.  Mata cemerlang.  Bibir rupawan.  Suara merdu. 

Ternyata, aku tak pernah istimewa.

Mereka bilang aku cantik.

Dan karenanya kini mereka membenciku.

Kuulurkan jemari.  Kupungut satu keping.  Kugenggam erat di tanganku.  Tepi-tepinya tajam, mengiris telapakku.  Tapi sisi teruncingnya kubiarkan di puncak.

Dan kubenamkan tepat di antara kedua mataku.


Dengan begini, akankah kau lebih menyayangiku?



Malang, 21 April 2012
23:36

4 comments:

Kacangwati said...

Aku lebih berbakat jadi silent reader. Jadi orang yang memandang penuh kagum atas tiap kata yang dijalin oleh Unnie di setiap cerpennya. Tapi silent reader tak akan pernah memuaskan penulis, benar? Jadi aku nulis ini, semata biar Unnie tahu aku salah satu orang yang mencintai blog ini dan menjadikannya inspirasi.

Aku pernah baca cerita sejenis ini dulu sekali, di sebuah komik. Kecantikan memang harus diimbangi dengan attitude ya. Sayang orang bisa salah sangka dengan sebuah attitude. Kalau yang di komik itu, di bagian akhir tokoh utamanya cuma mengguratkan pecahan kaca di pipi. Beda dengan yang ini. Yang ini sih langsung mati lol.

Pada intinya aku penggemar angst, dan aku menikmati cerpen ini. Bravo Unnie. You're one of the best! Psst, terbitin jadi kumcer deh, sebelum diambil orang. Kkk.

Saranghamnida :*

cappucino_no said...

Huaaaa.. ta, itu menyedihkan. Astaga kamu bakat banget sih buat yang sedih-sedih gitu.. dan sepertinya ku emang suka ceritamu yang sedih-sedih gitu, penghayatannya lebih. Berbanding terbalik dengan gambar-gambarmu ya bu--gambarmu imut terkesan ceria gitu.

キアリ said...

@Jagiya:

Aku juga lebih bisa jadi silent reader, tapi ga tahan juga pengen ngomen kalo udah nemu cerita bagus :D

Ini kinda inspired by true people sih, walopun ga ada tusuk-tusukannya =))

Ah, makasih banyak, jagi~ *pelukpelukpeluk*

Diterbitin? Ntar kalo udah bagusan deh tulisanku =))

And have I told you I love you so much? >:D< I really do :)

@Tania:

Eh? Masa sedih? Ga ah #plakk =)) Saya emang lebih suka bikin cerita yang angsty, bikin yang ceria itu susah, wakakakak... Hoho, gambar memang menipu B-) Ni, ayok nulis lagi juga~ :D

Orinthia Lee said...

Ini keren... and it happens!

gara2 terlalu disayang, selalu dapat apa yg diperlukan tanpa perlu usaha banyak, akhirnya jadi ga tau apa2 saat masalah mulai datang bertubi2...

deskripnya cantik, seperti biasa deh gaya tulisannya Moe yg aku suka banget... kisah sederhana pun bisa jadi luar biasa di tanganmu :*