Mereka bilang aku cantik.
Mereka
bilang aku sempurna.
Mereka
bilang tidak ada seorang lain pun memiliki mata seindah yang kupunya, yang
begitu cemerlang seolah memerangkap kerlip bintang dari malam. Mereka bilang tidak ada seorang lain pun
memiliki bibir serupawan yang kupunya, yang begitu serasi dengan senyum seolah
menyerap pesona bunga-bunga. Mereka
bilang tidak ada seorang lain pun memiliki suara semerdu seperti yang kupunya,
yang begitu membuai bagai menandingi lantunan burung-burung pagi.
Mereka
bilang aku cantik. Dan karenanya mereka
berkata akan memberiku segalanya.
Mereka
memanjakanku. Menyiramiku dengan pujian
tanpa jeda. Menghadiahiku berbagai macam
sebelum aku memintanya. Bahkan sebelum
aku bisa membedakan mana yang kubutuhkan dan mana yang sekedar kuinginkan.
Mereka
menimangku dengan sayang. Mengelilingiku
dengan senyum. Memeluk dan menciumku
dengan kasih. Menyebut iri tak
memilikiku sebagaimana kedua orangtuaku.
Mengucap betapa berharganya diriku.
Betapa aku bahkan memiliki nilai lebih dibanding yang lain, yang mereka
sebut tak secantik diriku.
Mereka
bilang aku istimewa. Dan seperti itulah
aku diperlakukan sedari belia. Aku tak
pernah kekurangan apa pun. Aku tak
pernah perlu memohon. Segalanya telah
disodorkan padaku sebelum kubuka suara.
Mereka
baik padaku. Tak pernah ada cerca
hinggap di pendengaranku. Tak pernah ada
hardik singgah di hadapanku. Karena mereka
menyayangiku.
Karena
aku cantikkah? Pernah kupikir
begitu. Barangkali jawabannya iya. Karena satu kata itu tak pernah lupa
diselipkan di antara kalimat mereka ketika bertukar cakap denganku. Bolehkah aku dicintai karenanya? Pernah pula kupikir begitu. Barangkali jawabannya iya. Karena ibu bilang tiap orang lahir dengan binarnya
masing-masing yang tak terbenamkan oleh yang lain. Barangkali, cantik adalah binar terbaikku.
Maka
begitulah aku memutuskan menghidupi hari-hariku. Menerima segala kebaikan yang mereka julurkan
dengan lapang hati, membalas dengan senyum dan ucap terima kasih. Dan sebagaimana mereka menyayangiku, aku pun
menyayangi mereka. Dengan kemampuan
terbaikku, aku berusaha mengembalikan semua kemurahhatian itu. Dengan sepenuh tekad, aku berusaha memandang
mereka dengan tiap binar dalam diri mereka.
Tak
ada yang berubah ketika aku mulai masuk sekolah. Teman-teman menyukaiku. Guru-guru memfavoritkanku. Aku tak pernah sendiri tanpa kawan-kawan
mengajakku bermain, bergabung dalam tiap kegiatan mereka.
Sebagian
di antaranya menjadi karib, tak terpisahkan dariku. Kami selalu bersama. Membagi segalanya bersama. Haru dan nestapa kami lalui
bersama. Lengan kami selalu saling
merangkul satu sama lain. Tak membiarkan
seorang pun merasa ditinggalkan. Tak
menghendaki separas pun dilukis kesedihan.
Kami
bahkan memakai selingkar gelang serupa di tangan kami. Diiringi janji akan bersahabat selamanya, tak
peduli hambat dan halang apa pun yang mungkin menyandung, kami simbolkan ikatan
tak terputus di antara kami dengan helai manik-manik di pergelangan tangan
kami.
Dengan
ayah dan ibuku di rumah, dan dengan mereka di sekolah, hidupku sempurna. Aku tersenyum bagai bernapas, begitu alami
dan mudah. Tawa bukanlah hal
langka. Bahagia bukanlah sesuatu yang
asing.
Tapi,
ibu tidak pernah mengajarkanku bahwa hal-hal baik tidak selalu bertahan
selamanya.
Remaja
aku kini, beberapa langkah menjelang dewasa.
Aku masih memiliki sahabat-sahabatku, rapat selalu di sisiku. Tapi ada orang-orang lain yang juga mendekat. Berlainan jenis denganku, dengan kami. Pemuda-pemuda itu mengistimewakanku dengan
cara-cara yang tidak pernah dilakukan kedua orangtuaku. Mereka terlihat berusaha terlalu keras untuk
sekedar mendapat sejumput waktu berbincang denganku. Mereka terdengar terlalu bersusah payah untuk
sekedar mendapat sepetak ruang dalam jangkau keberadaanku.
Bagiku
itu aneh. Mereka meletakkanku terlalu
tinggi di atas mereka. Seolah aku begitu mulia. Terlalu tak
terjangkau. Dan bahwa aku tak boleh
semudah itu diraih. Sementara aku lebih
suka dipandang sejajar. Berkawan setara
sebagaimana yang lain. Bukankah semua
orang memiliki binar masing-masing, yang tak tergantikan oleh yang lain?
Mereka
tampaknya tak memahami itu.
Dan
lebih banyak lagi ketidakpahaman muncul setelahnya.
Satu-dua
dari sahabatku mulai berubah. Polah dan
ucap mereka mulai tak kukenali. Kusadari
mereka lebih mudah begitu tiap kali pemuda-pemuda itu berusaha mendekatiku. Kernyit
tak suka dan desah enggan mereka perdengarkan.
Barangkali mereka terganggu. Barangkali
mereka, sama sepertiku, tak begitu nyaman dengan segala sikap mereka
terhadapku.
Maka
kujauhi kesemuanya. Tak masalah dengan bisik-bisik
yang menyertai kemudian. Bahwa aku
pongah. Bahwa aku congkak. Tak apa.
Aku masih memiliki sahabat-sahabatku.
Dengan begitu, aku tak kekurangan apa pun. Tak kehilangan apa pun. Keberadaan mereka berarti dunia bagiku,
sebagaimana ibu dan ayah berarti semesta untukku.
Senyum
mereka kembali padaku. Begitu
singkat. Untuk kemudian digantikan murka
yang tak terbayangkan. Mereka menarikku
dengan gerak yang menyakitiku. Mereka menyudutkanku
dengan tatap yang menakutkanku. Mereka
membentakku dengan lantang yang melumpuhkanku.
Apa
salahku? Kutanya mereka.
Amarah
dijeritkan di telingaku, diikuti tuding yang tak kupikir akan pernah ada. Sahabatku sebut aku pengkhianat. Sahabatku sebut aku merenggut apa yang diinginkannya.
Aku
tak paham. Kusahut mereka.
Tamparan
didaratkan di pipiku, dilanjutkan penyalahan yang tak kupikir pernah kubuat. Mereka mengutuk kecantikanku. Menyebutku culas karena menggunakan
binarku itu untuk mendapatkan segalanya.
Dengan terlalu mudah. Yang tak
bisa mereka dapatkan bahkan dengan segenap tenaga.
Terutama
satu nama itu, ia katakan. Satu pemuda
dari sekian yang lain yang mendekatiku.
Satu paras yang dikagumi sahabatku sejak lama. Satu sosok yang diingini sahabatku untuk
berada di dekatnya. Yang justru memalingkan wajahnya padaku, menatapku dengan
pandang yang bahkan tak bisa kuartikan cinta.
Aku
tidak sengaja. Kuyakinkan mereka. Aku tidak memaksudkannya. Bagaimana bisa? Aku menyayangi sahabatku lebih dari diriku
sendiri. Bagaimana bisa mereka berpikir
aku akan melakukannya?
Sahabatku
tak percaya. Dan satu kata itu ia tancapkan
dalam-dalam menembus rusukku. Melubangi
tempat di mana sebelumnya hatiku berada.
Bersamaan butir-butir manik yang dihempaskan tepat pada wajahku.
Ia
sebut aku pengkhianat. Ia sebut aku tak
termaafkan.
Dan
seluruh dunia kemudian seolah mengiyakan.
Satu persatu kawan meninggalkanku.
Menyetujui tiap tuduh yang dikatakan sahabatku. Bahwa aku pengkhianat. Bahwa aku sengaja membuat semua orang
menurutiku. Bahwa aku sebetulnya
merendahkan mereka yang tak sama binar denganku.
Tak
hanya lisan dan prasangka, mereka juga melempariku dengan benda-benda yang
menyakiti dengan pedih yang kentara di kulitku.
Tak ada tempat tersisa untukku di sana tanpa diterjang umpat.
Mereka
bohong. Bukankah mereka bilang tak akan
pernah meninggalkanku? Bukankah mereka
bilang kami adalah abadi, apa pun yang terjadi?
Aku
berlari ke rumah. Tempat teramanku. Aku akan baik-baik saja. Ada ayah dan ibu. Mereka akan memeluk dan melindungiku dari
segala kebencian itu. Karena mereka
menyayangiku. Karena mereka bilang aku berharga.
Tapi
yang menyambutku bukan senyum hangat ibu dan rengkuh hangat ayah.
Mereka
ada di sana. Tapi aku tidak mengenali
mereka, sebagaimana aku tak lagi mengenali sahabat-sahabatku. Mereka saling melempar maki. Ayah menyebut ibu pembohong,
menduakannya. Membohongi sejak lama
tentangnya. Ibu balas meneriakinya. Menyebut ayah tak lebih baik. Menyisihkannya untuk seorang yang lain dalam
peluknya. Mendusta sejak lama
tentangnya.
Lalu
mereka menyanggahku. Ayah menyebutku
bukan anaknya, melainkan seorang yang jadi rahasia bagi ibuku. Aku tak mirip dengannya, ia sebut. Tak pernah mirip. Terlalu cantik, ia sebut. Membuatnya jijik.
Aku
berlari ke kamarku, mengunci pintu dan memejamkan mata rapat-rapat. Berharap segalanya hanyalah mimpi. Dan ketika aku membuka mata, ayah dan ibu
sudah kembali. Begitu pula dengan sahabat-sahabatku..
Tapi
yang kutahu, dalam mimpi seharusnya aku tak bisa merasakan sakit.
Teriakan
mereka menggelegar. Lagi. Hari ini.
Lalu esok. Lalu lusa. Lalu hari-hari yang tak bisa kuhitung lagi.
Mereka
bohong. Bukankah mereka bilang aku
istimewa? Bukankah mereka bilang aku tak
terganti? Bukankah mereka bilang mereka
menyayangiku?
Lalu
kenapa kemudian ibu pergi, melesat dari hadapanku, pecah dalam tangis? Berkata tak akan pernah kembali lagi? Menepis ketika kubujuk? Menyentak genggamanku lepas ketika kumohon
jangan meninggalkanku?
Lalu
kenapa kemudian ayah murka, dan memukuliku dengan kata-katanya yang bagai
pecut? Berteriak untuk pergi dari
hadapannya? Berkata tak ingin melihatku
karena terlalu mirip ibuku, yang kini dibencinya?
Kenapa?
Bunyi
pecah berserak di sisiku, tak jauh dari tempatku berdiri. Ayah melempariku. Menggertakku untuk benar-benar lenyap dari
pandangannya.
Aku
menunduk dalam ketakutan, hanya untuk mendapati wajahku balas menatapku dari
tiap pecahan kaca di bawah kakiku. Mata cemerlang. Bibir rupawan. Suara merdu.
Ternyata,
aku tak pernah istimewa.
Mereka
bilang aku cantik.
Dan
karenanya kini mereka membenciku.
Kuulurkan
jemari. Kupungut satu keping. Kugenggam erat di tanganku. Tepi-tepinya tajam, mengiris telapakku. Tapi sisi teruncingnya kubiarkan di puncak.
Dan
kubenamkan tepat di antara kedua mataku.
Dengan
begini, akankah kau lebih menyayangiku?
Malang,
21 April 2012
23:36
4 comments:
Aku lebih berbakat jadi silent reader. Jadi orang yang memandang penuh kagum atas tiap kata yang dijalin oleh Unnie di setiap cerpennya. Tapi silent reader tak akan pernah memuaskan penulis, benar? Jadi aku nulis ini, semata biar Unnie tahu aku salah satu orang yang mencintai blog ini dan menjadikannya inspirasi.
Aku pernah baca cerita sejenis ini dulu sekali, di sebuah komik. Kecantikan memang harus diimbangi dengan attitude ya. Sayang orang bisa salah sangka dengan sebuah attitude. Kalau yang di komik itu, di bagian akhir tokoh utamanya cuma mengguratkan pecahan kaca di pipi. Beda dengan yang ini. Yang ini sih langsung mati lol.
Pada intinya aku penggemar angst, dan aku menikmati cerpen ini. Bravo Unnie. You're one of the best! Psst, terbitin jadi kumcer deh, sebelum diambil orang. Kkk.
Saranghamnida :*
Huaaaa.. ta, itu menyedihkan. Astaga kamu bakat banget sih buat yang sedih-sedih gitu.. dan sepertinya ku emang suka ceritamu yang sedih-sedih gitu, penghayatannya lebih. Berbanding terbalik dengan gambar-gambarmu ya bu--gambarmu imut terkesan ceria gitu.
@Jagiya:
Aku juga lebih bisa jadi silent reader, tapi ga tahan juga pengen ngomen kalo udah nemu cerita bagus :D
Ini kinda inspired by true people sih, walopun ga ada tusuk-tusukannya =))
Ah, makasih banyak, jagi~ *pelukpelukpeluk*
Diterbitin? Ntar kalo udah bagusan deh tulisanku =))
And have I told you I love you so much? >:D< I really do :)
@Tania:
Eh? Masa sedih? Ga ah #plakk =)) Saya emang lebih suka bikin cerita yang angsty, bikin yang ceria itu susah, wakakakak... Hoho, gambar memang menipu B-) Ni, ayok nulis lagi juga~ :D
Ini keren... and it happens!
gara2 terlalu disayang, selalu dapat apa yg diperlukan tanpa perlu usaha banyak, akhirnya jadi ga tau apa2 saat masalah mulai datang bertubi2...
deskripnya cantik, seperti biasa deh gaya tulisannya Moe yg aku suka banget... kisah sederhana pun bisa jadi luar biasa di tanganmu :*
Post a Comment