Friday, April 06, 2012

Orion


Dulu, aku kesulitan memberi jawaban ketika seseorang menanyakan apa arti ‘rumah’ bagiku.

Ketika itu aku hanya seorang yang terlalu belia dan dibuai segala naïf dan keegoisan.  Tak penting bagaimana sesuatu bermakna.  Seperti juga ‘rumah’, yang kala itu hanya sebatas sebuah objek penunjuk tempat tinggal.  Kata umum yang familiar didengar.  Tak harus ada arti terlebih filosofi lebih dalam tentangnya—pikirku saat itu.

Namun aku baru benar-benar memahami maksud dari pertanyaan itu, dan bagaimana menjawabnya, ketika aku mengangkat langkah meninggalkan ‘rumah’, menuju satu tempat yang jauh untuk kutinggali demi pendidikan dan selanjutnya karir, dua hal yang saat itu kuanggap sebagai alasan yang tak terbantahkan untuk dijadikan prioritas di atas apa pun.  Termasuk ‘rumah’ku.  Kota kelahiranku.

Tempatku mengistirahatkan raga yang lelah, menjernihkan pikir yang keruh, melabuhkan keluh.  Bahkan tanpa rentet kata penghiburan panjang, segera kudapat kesembuhan atas segala kontaminasi dunia luar begitu kakiku melintasi ambang masuknya.  Tempatku pertama kali belajar cara melukis senyum, mencipta tawa, bahkan menggurat sedih.  Tempatku membentuk apa yang kemudian menjadi identitasku, lebih dari sekedar pemuda yang hanya tahu dunia dari balik kacamata lugunya.  Tempatku menoreh kuasan-kuasan awal kenangan yang lalu tersimpan kokoh dalam dinding ingatanku, menjadi dasar dari segala diri yang kubawa dalam petualangan lebih panjang bernama hidup.

Jawaban-jawaban itulah yang membuatku tak mampu menahan antusiasmeku sedari awal aku membawa diriku naik ke dalam burung besi yang akan menerbangkanku kembali dari perantauanku di negara yang disebut adikuasa itu, kembali pada tempat yang memiliki asalku.

Satu kota kecil bernama Malang.  Tak senada dengan nama yang disandangnya, kota kelahiranku ini dianugerahi sejuta pesona.  Sulit kusebut celanya, dan sekedar indah tak cukup untuk menggambarkannya.  Jika ada satu kata dalam ranah berpuluh tingkat di atas indah, maka itulah yang akan kugunakan untuk menjabarkannya. 

Aku lahir dan besar di salah satu sudutnya, pada satu petak wilayah kecil di kaki gunung.  Pagi hariku biasa diawali dengan sinar matahari menyelinap membentuk garis-garis cahaya di lantai kamarku.  Siang tak pernah ternodai terik, awan dan angin senantiasa bersahabat dan menghadiahi sejuk sepanjang hari ketika kami beraktivitas.  Kawanan pepohonan, rendah dan tinggi, begitu ramai meneduhi.  Juga semak dan perdu, penghasil buah dan bunga, begitu dekat dan akrab seolah menjadi bagian dari penduduk kota.  Pada puncak-puncak palem yang menjejeri koridor jalan besar, sering kutemui burung-burung bersarang dan mengepakkan sayap berputar-putar di atasnya, bagai pertunjukan alam di mataku.

Senja memanjakan mata dengan hampar awan tipis disepuh jingga, ketika matahari yang berangkat ke peristirahatannya perlahan hilang disembunyikan gumpal-gumpal bagai kapas itu, menyusup di antara pertemuan gunung-gunung yang menyibak bagai tirai. 

Dan malam adalah waktu favoritku.  Sebagian besarnya kuhabiskan dengan membawa kaki-kakiku mendaki, berlari, dengan napas terengah tersembunyi desah riang, menuju apa yang aku—kami—sebut dengan Bukit Bintang. 

Dari landaian dekat puncak beralas rerumputan rendah yang menggelitik lembut kaki-kakiku yang telanjang, hanya butuh satu tengadah kecil hingga pemandangan itu tertangkap penglihatan.  Kerlip tak terhitung menitiki pekat langit, cemerlang menyinari gelap malam.  Memencar, terkadang bergerombol, seolah di atas sana terdapat helai dunia lain dengan bintang-bintang itu sebagai penghuninya, berlomba-lomba mempercantik malam.  Aku biasa mencipta nama bagi tiap koloni bintang baru yang mampu kukenali.  Aku bahkan membuat peta langitku sendiri, dengan konstelasi-konstelasi itu sebagai pulau dan labur langit sebagai samuderanya.

Aku tidak sendiri—biasanya.  Seorang gadis kecil seringkali ada di sana bersamaku, mendatangiku dengan langkah kekanakannya yang limbung, menanyaiku tanpa lelah tentang tiap keredap yang dilihatnya dengan celotehnya yang belum sempurna, ikut tertawa meski tidak paham pada kisah lelucon yang kukarang dengan kelap-kelip itu sebagai lakonnya.  Ia tinggal dengan seorang nenek dalam satu rumah mungil tak jauh dari sana, tempatku biasa singgah untuk sekedar secangkir teh hangat sembari menikmati sudut lain pemandangan itu dari beranda mereka, ditemani keramahan keduanya.

Ya, keramahan.  Barangkali itulah yang kurindukan akan kotaku melebihi segala vistanya.  Satu hal yang tidak sepenuhnya dapat kutemui di negara yang berikutnya kusebut tempat tinggal. 

Bukan berarti wajah-wajah yang kudapati di sana semerta-merta dingin dan enggan membuka lengan menyambut.  Mereka toleran, mereka berhati lapang, mereka tahu cara menghormati seseorang sekalipun yang bukan berasal dari golongan sama.  Kudapatkan kawan di sana, kurasakan pula senang dan nyaman di sana—namun tak mampu kubuat setara dengan kotaku.  Rumahku.

Maka jangan heran jika melihatku begitu bersemangat untuk segera melihatnya kembali.  Tenang adalah perangaiku yang biasa, tapi hari ini aku merasa bagai bocah yang melonjak tak sabar untuk melihat mainan yang sudah lama diinginkannya.  Bandara telah kucapai, dan kupanggil taksi untuk mengantarku melintasi Kota Pahlawan, menuju kotaku.  Perjalanan pulangku melewati langit menghabiskan waktu panjang dan melelahkan, maka aku pun segera terlelap tak lama setelah kututup pintu dan kusebut destinasi pada pengemudi. 

Biarlah.  Biar kujadikan ini bagai hadiah kejutan bagi diriku sendiri.  Agar ketika kuizinkan lagi mataku membuka, yang pertama kulihat adalah keelokan yang kurindui.  Kubebaskan kesadaranku pada alam mimpi, senyum tersampir di wajahku.  Hanya beberapa putaran jam hingga aku akhirnya sampai.  Pulang.

Tapi seperti yang telah lama kupelajari sejak lama, kejutan tak selalu menyenangkan.

Aku terperengah dengan apa yang kulihat melalui bingkai jendela.  Kilasan-kilasan yang kutangkap sembari bergerak bersama kendaraan yang kutumpangi tak seperti yang kujanjikan pada diriku sendiri sebagai hadiah—kejutan.  Kata asing dengan huruf-huruf besar terpeta dalam pikiranku. 

Kawanan pepohonan dan perdu yang dulu begitu mudah kutemui tak ada lagi, digantikan batang-batang beton dalam rangka bangunan.  Hanya sekelompok kecil pohon yang bisa kulihat tersisip di antara rimba dinding buatan tangan-tangan manusia, seolah artifisial adalah yang utama di atas yang alami.  Burung-burung yang dulu menghias langit di antara pepohonan hilang sudah, entah tak lagi betah atau terusir.  Meski aku berada dalam perlindungan tubuh mobil, bisa kulihat terik menerpa dataran di luar sana, sesuatu yang dulu tak perlu kutemui dengan segala sejuk nyaris menggigilkan. 

Tak jauh berbeda dengan kota lain yang kutinggali.  Perkembangan zaman dan inovasi yang dihasilkannya merubah wajah kota, perlahan-lahan mengikis paras yang menganyam identitasnya.  Seharusnya aku tidak seterkejut itu.  Modernisasi jelas menyebarkan jejaknya begitu luas, membawa segala yang disebut kemudahan-kemdahan yang meningkatkan kesejateraan penghuninya—bukankah itu berarti kotaku telah maju dan berkembang?

Meski dengan pikiran positif itu, tak sepenuhnya aku mampu membujuk diriku untuk menghilangkan kecewa. 

Perlahan, kuajari benakku untuk mengobati diri dengan memfokuskan pada sisa-sisa keindahan yang masih kuingat.  Aku lega beberapa bangunan peninggalan masa lampau masih berdiri tegak di tempatnya, di antara palem-palem tinggi yang juga bertahan.  Semakin jauh menjauhi pusat kota, semakin mudah bagiku menyembuhkan kecewaku.  Bulir hijau makin banyak kutemui, dingin udara sayup-sayup bisa kusentuh kembali.

Muka pintu hanya tinggal hitungan langkah dariku.  Kuucap salam dan menghampiri pagar, hingga kusadari aku tak dapat membukanya.  Terkunci.  Dan tak ada jawab untuk salamku.  Barangkali seharusnya aku menghubungi keluargaku terlebih dahulu.  Kejutan kedua yang gagal hari ini.

Kutekan angka-angka dan kutinggalkan pesan, sebelum kuangkat kembali ransel ke salah satu bahuku, menyeret langkahku menjauh, mendaki.  Aku tak lagi berlari.  Tak juga riang.  Pun berharap apa-apa.  Bersiap menerima seberapapun perubahan yang akan kutemui berikutnya.

Tidak.  Bukit Bintangku tak lenyap.  Rerumputan masih menjadi permadani yang menutupi tanah lembutnya.  Angin yang kusukai masih setia berhembus, meski tak banyak lagi bisik di antara dedaunan yang bisa kudengar.  Kujatuhkan beban di bahuku, menghempaskan tubuhku, berbaring telentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala, menatapi biru yang menaungiku.  Memandanginya berubah warna seiring waktu yang berlalu.  Perlahan pudar dalam jingga, memerah hingga menelan segala pemandangan bersamanya, sampai semburat malam menyeka sisa hari. 

Tak ada yang berubah, kecuali dongak bukanlah gerak yang benar jika ingin mencari kumpulan kerlip itu.  Lirik ke bawah, di sanalah noktah-noktah yang lebih terang berada.  Dari bohlam-bohlam yang menghiasi bidang-bidang dinding kaku dan menerobos ke luar kisi-kisi jendela kacanya.  Beragam warna, dari remang kekuningan hingga putih terang.  Cantik, harus kuakui.  Gemerlap yang paling mendekati bintang di antara hiruk pikuk kota.  Tapi kalau boleh memilih, dan jika bisa kuwujudkan semudah menjentikkan jari, aku lebih suka melihat lautan bintang di atas sana.

Aku mendesah, berat, dan kuangkat tubuhku untuk duduk.  Barangkali aku harus berhenti mengeluh.  Berhenti membiarkan diriku diselubungi kecewa yan berlarut-larut.  Toh kotaku bukannya lenyap sama sekali, bukannya secara keseluruhan melepas wajahnya dan menyerahkannya pada peradaban untuk merombaknya.  Nuansa damainya masih terjaga, kesan seolah waktu berjalan lambat masih tersisa, ketenangan yang menyambangi udara masih kentara.  Hijau, coklat, dan warna-warni bunga masih memiliki tempatnya.  Kotak masih indah—kucoba meyakinkan diriku.  Tapi…

“Oh,”

Satu suara dalam nada terkejut terdengar dari balik punggungku.  Dengan satu tolehan, kulihat pemilik suara itu—yang kemudian juga membuatku terkejut. 

“Mas Lintang?  Mas Lintang, kan?”
 
Aku memang tidak mengenali suaranya.  Tapi aku mengenali senyumnya, yang kini melengkung dalam, ditujukan untukku.  Tak terhitung kali sudah kulihat senyum itu, menemaniku menelusuri sudut-sudut langit untuk menemukan bintang baru.  Kini hadir lagi di hadapanku, tanpa langkah tertatih dan irama kekanakan, meski dengan rasa penasaran yang sama.

Segera aku diberondong pertanyaan-pertanyaan, mulai dari ke mana saja aku pergi selama ini, apa yang kukerjakan selama itu, hingga kapan tiba.  Tiap kalimatnya diucapkan dengan gembira, disertai nada rindu—kalau aku boleh sedikit tinggi hati.  Dengan mudah aku menuruti ajakannya dan mengikuti langkah-langkahnya menuju rumah mungilnya, yang masih dengan anggun menghiasi landai bukit itu.

Diceritakannya segala kisah yang terjadi dalam rentang kepergianku, sembari sibuk menyiapkan minuman di dapur kecilnya, meninggakanku duduk menungguinya di kursi ruang makan.  Nenek telah tiada.  Kabar yang sudah kuketahui, yang dulu menusuk ulu hatiku dengan kesedihan tak terkira ketika mendengarnya.  Namun ketika aku berada di sini, di antara dinding-dinding kayu berhias foto-foto berpigura dan lukisan sulam beraneka bentuk itu, entah bagaimana aku merasakan sesungguhnya ia tak benar-benar meninggalkan kami semua.  Seolah kehangatan kedua lengannya yang biasa memeluk menyambutku dapat dengan nyata kurasakan.

Kubawa pandanganku mengitari bagian lain ruangan, dan kulihat jejak-jejakku.  Gores pengukur tinggi badanku di salah satu kusen pintu, noda menghitam tempatku tanpa sengaja menjatuhkan batang kembang api yang kubawa untuk menyenangkan nenek dan gadis kecil itu, hingga larik-larik pensil warna hasil pekerjaan rumah menggambarku pada salah satu sudut dinding.  Mereka membiarkannya seperti itu.  Bahkan setelah aku pergi.

Seolah mempertahankan rona keberadaanku di sini.

“Silakan,”

Secangkir teh yang mengepulkan asap halus disodorkan padaku.  Gadis yang dulu hanya kusebut ‘dik’ itu kini duduk di hadapanku, menyesap kehangatan teh dari cangkirnya sendiri.  Seraya melanjutkan ceritanya, tak henti-hentinya ia tersenyum, mengulas senyum yang sama—barangkali lebih lebar—di wajahku.  Hingga setelah beberapa lama, ia beranjak bangkit dan kembali dengan membawa sebuah gulungan.  Lusuh, menguning, dan tepi-tepinya digerogoti usia.  Ketika dihamparkannya lembar itu di depanku, mataku pun terbelalak—kehilangan kata-kata.

Peta bintangku.  Peta bintang kami.  Coretan-coretannya sebagian telah mengabur oleh masa, tapi aku tahu carik kertas itu disimpan dengan baik.  Tak ada kusut, tak ada noda.  Titik-titik yang kutoreh mewakili tiap bintang terlihat jelas, sejelas kenangan yang tersimpan bersamanya.  Mataku lekat memandanginya, jariku bergerak menelesuri garis-garisnya.  Satu rasa membuncah dalam dadaku.  Yang tak bisa kuungkapkan dengan aksara.

“Mas Lintang, selamat datang kembali,”

Aku mendongak.  Dan senyum itu menyadarkanku. 

Wajah kotaku bisa saja berubah.  Pepohonan bisa saja tumbang digantikan dinding-dinding tinggi.  Bunga-bunga bisa saja redup digilas semak buatan.  Teduh bisa saja ditaklukkan panas akibat kerakusan akan teknologi. Bintang-bintang bisa saja layu dikalahkan benderang lampu kota. 

Tapi jiwa yang menghidupkannya tak pernah tergantikan.

Kehangatannya kuat menyelimuti, kemurahhatiannya lembut memayungi, keramahannya setia menjaga.  Kurasakan berat yang menggelayuti kepalaku terangkat begitu saja.  Penat yang menyesaki terburai lenyap.  Kecewa yang menggumpal menguap sirna.  Segala prasangka dan tuduh tersisih, digantikan kesadaran baru.

Bahwa bagaimanapun juga, kotaku tetaplah indah.  Tetap terlalu indah untuk dilukiskan dengan lisan.

Kutatap kedua bola mata itu, membiarkan diriku tenggelam dalam kelembutannya.  Kubalas senyumnya, dengan senyum paling lebar yang pernah kubuat setelah bertahun-tahun.

Akhirnya, aku pulang.


Malang, 4 April 2012
18:05

 A/N: Published in Antologi Cerpen Kota Cerita.

No comments: