Saturday, April 21, 2012

Warna Kedelapan


Menurutmu bagaimana rasanya ketika setelah hampir sepuluh tahun merelakan dan melakukan apa pun demi cita-citamu, lalu selanjutnya kau justru dibuang?

Perkenalkan.   Aku adalah pemuda yang berbakat besar di bidang fotografi.  Aku mampu menangkap sudut-sudut terbaik dari segala objek.  Inderaku sangat awas menemukan pesona-pesona tersembunyi dan memunculkannya.  Dan ngomong-ngomong, itu semua bukan kata-kataku, tapi orang-orang di sekitarku.

Yah, dan harus kuakui aku memang hebat.  Jadi tidak heran juga kalau kemudian aku menjadi salah satu lulusan terbaik dari jurusan fotografi tempat kuliahku dan diterima bekerja tanpa hambatan berarti di majalah favoritku.

Tapi kalau kau pikir lalu cita-citaku langsung tercapai, kau salah besar.  Sebagai orang baru, aku harus rela menjadi semacam budak bagi fotografer-fotografer senior di sana.  Tidak ada kesempatan bagiku untuk menampilkan hasil karyaku sendiri.

Akhirnya setelah empat tahun, aku benar-benar diberi tugas untuk menjelajahi satu wilayah dan mengabadikannya dengan foto.  Di kepalaku sudah terbayang kota-kota yang akan kudatangi.  New York, mungkin?  Atau Tokyo?  Paris?  Yang terakhir itu terdengar cocok sekali untukku.  Sophisticated.

Tapi apa yang selanjutnya kudapatkan?  Kota antah berantah yang bahkan belum pernah kudengar namanya.  Bergen.  Yakin itu nama kota?  Bukan semacam tempat pembuangan orang-orang jenius yang tidak diapresiasi?

Aku curiga pemimpin redaksiku sengaja memilih kota ini untukku.  Lihat saja.  Aku sudah hampir tiga hari di kota ini dan tidak satu haripun disinari matahari.  Kota ini seperti magnet bagi mendung.  Segalanya terasa dan terlihat kelabu.  Cocok sekali sebagai latar episode paling tidak beruntung dalam hidupku.  Apa yang mereka harapkan bisa kuabadikan dari kota sekelam ini, hah?

Aku baru saja mulai memikirkan cara-cara untuk membalas dendam pada pemimpin redaksiku ketika satu tubrukan keras menghantam punggungku dari belakang.

“Oi!  Pakai mata kalau jalan!”

Hardikanku ternyata dihadapkan pada sebuah wajah kerdil dari seorang anak lelaki cebol, yang kini melongo memandangiku.  Aku hendak kembali meneriakinya saat ia mendadak tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

“Paman, kenapa diam saja di sini?” tangan kecilnya mendadak mencengkeram lengan bajuku, menarik-nariknya.  “Tidak lihat ya hujan akan datang?  Ayo pergi!”

Dan tahu-tahu ia sudah menyeretku berlari bersamanya, entah ke mana.  Berteduh dari hujan?  Yang benar saja, bahkan setitik gerimis pun tidak tampak.  Lagipula, kenapa aku harus ikut segala?

“Oi, bocah, berhenti!  Lihat baik-baik, tidak ada hujan.”

“Ada kok, Paman!” Ia menjawab seraya tertawa.  “Sebentar lagi hujannya datang, percayalah padaku!”

Aku mendengus mengejek.  “Bagaimana kau bisa tahu hujan akan turun?  Dan jangan panggil aku paman, aku belum setua it—“

“Lihat, lihat!  Lihat, Paman!  Hujan datang!”

Bocah itu berhenti mendadak, menunjuk langit seraya melonjak-lonjak.  Aku mendongak, dan kurasakan setetes air membasahi wajahku.  Perlahan, tetesan itu berubah menjadi gerimis, lalu menjelma menjadi hujan masif.  Cih.  Baju baruku jadi basah, sialan.  Anehnya, bocah itu justru tertawa riang, begitu senang, dan kembali menarik lenganku.  Kali ini lebih bersikeras.

“Ayo, ayo, cepat, Paman!  Nanti pelanginya keburu pergi!”

“Sudah kubilang jangan panggil aku Paman!” Jawabku ketus, mulai kesal.  “Lagipula, belum tentu akan ada pelangi setelah hujan ini red—“

“Lihat, lihat!  Lihat, Paman!  Pelangi datang!”

Bocah ini peramal atau bagaimana?  Jauh di depan sana, sebuah pelangi besar melengkung—hujan mereda.  Sudah lama aku tidak melihat pelangi sebesar dan sejelas itu, dan aku sudah hendak merogoh tas kameraku ketika aku sadar tindakanku itu akan terlihat kelewat kekanakan.  Terpesona pada pelangi?  Bah.

“Nah, kau sudah dapat pelangimu kan, bocah?  Kalau begitu biarkan aku perg—“

Sayang sekali aku tidak seanarki itu untuk menghajar bocah yang sepertinya hanya beberapa tahun di atas balita itu untuk mau melepaskanku.  Ia kembali menyeretku berlari bersama langkah-langkahnya yang kecil.  Apa lagi selanjutnya?  Aurora?  Bintang jatuh?

Dan ada yang janggal dari bocah ini.  Ya, ya, aku tahu anak-anak cenderung menyukai hujan.  Tapi yang satu ini tampak lebih dari sekedar suka.  Seolah ia menganggap hujan sama dengan Sinterklas, dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda.  Terkubur di dekat pelangi atau semacamnya.  Caranya menyebut hujan dan pelangi bahkan terdengar seolah mereka adalah kawannya, yang biasa singgah dan kemudian pulang.  Kota yang kelabu rupanya berefek menjadikan penduduknya aneh.

“Kita sampai, Paman!”  

Bocah itu sekali lagi berhenti, kali ini mendatangi sebuah pohon besar.  Ia berjongkok di antara dua akar besarnya yang menonjol, dan mulai menggali dengan tangan kosong.  Kelewat bersemangat.

“Kau sedang apa?”

Ia tersenyum semakin lebar,  menarikku untuk ikut berjongkok, lalu mengarahkan pandanganku pada pelangi besar itu dengan telunjuknya.

“Paman tidak tahu, ya?  Ujung pelangi kan tempat yang ajaib!”

Pantas saja.  Jika dilihat dari jauh, ujung pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini.  Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya benar—meski sedikit melenceng.

“Kalau kita menulis surat dan memasukkannya ke dalam botol kaca lalu menguburnya di ujung pelangi, pelangi akan menguraikan kata-katanya menjadi warna-warna mereka dan mengantarkannya pada malaikat di langit!”  Ia melanjutkan, masih asik menggali, sesekali memamerkan senyum selebar wajahnya padaku.  “Lalu para malaikat akan mengabulkan permintaan yang kita tulis di surat!”

Sekali lagi, aku mendengus diiringi senyum mengejek.  Aku bukan pecinta mitos.  “Dan bagaimana kau tahu permintaanmu dikabulkan?”

Senyumnya benar-benar lebar kini, wajahnya jadi terlihat seolah terbelah.  “Kalau permintaan kita dikabulkan, malaikat akan memberi tanda dengan memunculkan satu warna baru pada pelangi!”

Astaga.  Orangtua bocah ini terlalu berlebihan mengarang dongeng bagi anaknya.  Malang sekali kau, nak, dibodohi sejak usia sedini ini.  Tanganku bergerak menepuk-nepuk kepalanya bersimpati, ketidakpercayaan tampak jelas pada ekspresiku, dan bocah itu segera merengut.

“Paman tidak percaya padaku, ya?  Ya kan?”

Well,” sahutku seraya mengangkat bahu, “pelangi itu hanya biasan dari cahaya dan tetes air, kiddo, bukan kurir pengantar surat atau semacamnya, jadi—“

“Tidak, Paman salah!”  Bocah ini harus belajar untuk tidak memotong perkataanku setiap lima menit sekali.  “Paman bodoh!”  Apa-apaan.  “Paman payah!”

Okay, that’s it.

“Berisik!” Aku bangkit berdiri, habis kesabaran.  “Terserah!  Suatu saat kau akan paham bahwa yang bodoh itu kau, bukan aku!”  Aku berbalik dan bersiap pergi, menoleh untuk terakhir kali untuk menambahkan, “Dan jangan panggil aku Paman!”

Lihat siapa yang bersikap kekanakan sekarang.  Tapi aku tak peduli.  Suasana hatiku sedang buruk dan aku tidak mau memperparahnya dengan meladeni bocah aneh pecinta hujan dan pelangi.  Sial, aku bahkan belum menghasilkan satu foto pun hari ini.  Umpatan kulontarkan, dan aku bergegas pulang menuju rumah kecil yang disewakan untukku, berpikir sebaiknya aku beristirahat dan mencoba lagi besok.  Dan semoga aku tak perlu bertemu orang aneh lainnya.

Tapi sepertinya ketidakberuntunganku belum berakhir.  Gedoran gaduh terdengar dari jendela kamarku, memaksaku bangun.  Terlalu pagi.  Sialan.  Aku mati-matian menyeret kaki dan mataku yang masih diselimuti kantuk untuk membuka jendela, hanya untuk menemukan wajah kerdil itu lagi—tersenyum tanpa rasa bersalah.

“Mau apa ka—“

“Paman, kalau tidak cepat-cepat, nanti terlambat lho!”

Lagi-lagi aku tidak bisa melepaskan diri ketika tangan kecil itu menarikku keluar dari kamarku melalui jendela.  Aku merasa jadi korban penculikan.  Kupikir kali ini pun bocah itu akan membawaku melihat hujan, atau pelangi, atau semacamnyalah, tapi akhirnya kami duduk di salah satu meja pada teras sebuah kafe kecil, yang disebutnya memiliki menu sarapan paling enak sejagad raya.  Hah, kepercayaan konyol lainnya.

Aroma yang kemudian tercium dari hadapanku seketika menutup mulut sinisku.  Aku bukan orang yang menganggap sarapan itu penting, tapi potongan roti dan secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul itu entah bagaimana mampu membuat pengecualian.  Segera, kulahap keduanya seperti orang kelaparan.  Crap.  Bocah itu benar.

Dua tawa lepas terdengar.  Si bocah dan wanita setengah baya yang mengantarkan makanan itu tersenyum lebar menatapku menyantap dengan rakus, seolah sejak awal tahu akan reaksiku.

“Kalau ingin tambah, akan kuberi bonus gratis, nak.”

Wanita itu menepuk bahuku, mengiringinya dengan senyum hangat, yang tidak bisa tidak kubalas.  Seraya menghabiskan sarapan pertamaku setelah bertahun-tahun itu, aku mengamati sekelilingku.  Bocah di hadapanku, wanita pemilik kafe itu, dan wajah-wajah lainnya.  Kusadari satu hal.  Seberapapun seringnya mendung memayungi kota ini, penduduknya tidak pernah tampak muram.  Sebaliknya, mereka memiliki wajah-wajah sesejuk pagi, dan senyum-senyum secerah matahari.

Damn.  Aku mulai berubah menjadi melankolis.

“Bocah, apa tadi yang kau bilang tentang terlambat?” tanyaku, mengalihkan pandang kembali ke mejaku sendiri.  Bocah itu mendongak, menghadiahiku senyum lebarnya yang mulai familiar di mataku.

“Hujan akan turun sebentar lagi!”

Bocah ini bisa membuat bangkrut badan meteorologi.  Tidak lama setelah kami menghabiskan sarapan kami masing-masing, gerimis turun, pelangi muncul kemudian, dan tidak jauh berbeda dengan kemarin, langkah cepat kami berakhir di bawah sebuah pohon besar.  Perut kenyang sepertinya memang berpengaruh pada suasana hati, jadi kali ini aku tidak banyak omel, meski aku tetap tidak sudi turut mengotori tanganku untuk membantu bocah itu menggali.  Aku hanya berjongkok di sampingnya, sementara ia sibuk dengan agendanya sendiri.

“Kenapa kau harus mencari pelangi lagi hari ini?”  tanyaku sambil lalu, “Memangnya permintaanmu yang kemarin tidak dikabulkan?”

“Aku tidak melihat ada warna baru.  Pasti ada permintaan lain yang lebih penting dariku untuk dikabulkan kemarin.” Jawabnya, tanpa nada sedih ataupun kecewa, seraya menguburkan botol kacanya kembali dengan tanah.  “Tapi kali ini mungkin saja giliranku!”

Senyum simpul muncul di wajahku.  Kuangkat tanganku untuk mengusap puncak kepalanya.  Dasar keras kepala.  Malaikat itu tidak ada.  Hanya manifestasi dari harapan-harapan tidak nyata manusia.  Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya segamblang itu.  Tidak ketika yang kuhadapi adalah sesosok yang bahkan tidak menyimpan dendam karena mengetahui permintaannya tidak dikabulkan demi orang lain yang ia pikir lebih membutuhkannya.

Jadi biar kuikuti saja permainannya.

Esok harinya, dan esok hari setelahnya, dan esok harinya kemudian, bocah itu selalu membangunkanku dengan gedoran di jendelaku, menyeretku berlari keluar bahkan sebelum kedua mataku benar-benar terbuka.  Aku jadi tidak perlu punya alarm.  

Dan tiap hari pula aku melihatnya mengejar pelangi, melumuri kedua tangannya dengan bulir-bulir tanah hitam demi mengubur permintaannya.  Dan jawabannya selalu sama.  Barangkali ada permintaan orang lain yang lebih penting untuk dikabulkan.  Barangkali hari ini adalah gilirannya.  Tapi bahkan setelah lebih dari satu minggu, ia tidak juga menemukan warna baru untuknya.  

Hari kesepuluh sejak pertama kali jendelaku digedor, aku telah lebih dulu bangun.  Aku bahkan telah berpakaian lengkap.  Kedua mata dan pikiranku sepenuhnya terjaga.  Senyum lebar kubuat di wajahku, siap menyombong bahwa aku bisa bangun sebelum ia tiba.

“Ha!  Hari ini aku bangun lebih dulu daripada—“

Bocah itu tidak ada.

Aneh.  Langit mendung seperti biasa, aku tidak akan kaget jika tak lama lagi hujan turun.  Tapi ke mana perginya pecinta hujan itu?  Ke mana perginya pengejar pelangi itu?

Berbekal secarik alamat dari pemilik kafe, kubawa langkahku pada sebuah rumah mungil di tepi kota.  Kuketuk pintunya tanpa ragu, dan sesosok wanita muda menyambutku.

“Permisi, madam, apakah aku bisa bertemu dengan…ngg…”

Aku baru sadar aku tidak mengetahui nama bocah itu.  Wanita itu tersenyum padaku, tampak letih, namun membukakan pintu lebih lebar untukku, mempersilakanku masuk, seolah tahu siapa yang kumaksud.  Ia mengantarku ke depan pintu kamar anaknya di lantai dua.  Kuputar kenopnya, mengayunkan daun pintunya terbuka.  Bocah itu ada di sana, berbaring di tempat tidurnya, memunggungiku.  Selimut menutupi hingga lehernya.

“Hei,” aku berjongkok di sisi tempat tidurnya, “kau tidak membangunkanku pagi ini.”

Terlalu gengsi untuk bertanya apakah ia baik-baik saja.

“Karena hujan tidak akan datang.”

“Hah?”

“Hujan tidak akan datang.”

“Kau bercanda.”  Aku terbahak, menepuk-nepuk kepalanya.  “Hujan selalu datang.  Tiap hari.  Bukankah kau sendiri yang bilang—“

“Hujan tidak akan datang!”

Ia mendadak bangkit duduk, menyibakkan selimutnya dan berbalik menghadapiku.  Wajahnya memerah.  Bukan karena marah.  Lebih karena gusar—atau takut.  Aku tidak tahu.

“Hujan tidak akan datang!  Dan tidak akan ada pelangi!  Dan tidak akan ada warna baru!”  Ia menjerit, berteriak keras tepat di wajahku.  Ia seolah menggunakan seluruh udara yang ada di paru-parunya dan mengiris pita suaranya sendiri dengan kalimatnya yang berikutnya.  “Dan permintaanku tidak akan pernah dikabulkan!”

Aku membeku.  Terlalu kaget untuk merespon.  Kedua mata bocah itu mulai disaputi air mata, dan detik berikutnya ia sudah membenamkan wajahnya kembali ke bantalnya, memunggungiku lagi.  Kurasakan tepukan di pundakku—ibunya.  Ia memberi isyarat untuk mengikutinya keluar dari kamar.  Kami berdua duduk di meja makan kemudian, saling berhadapan.  Dengan secangkir teh hangat disertai ucapan maaf atas sikap anaknya padaku.  

“Tidak apa-apa.”  Sahutku tidak enak hati, meski aku sebetulnya merasa perlu penjelasan.  Selama lebih dari seminggu bocah itu memaksaku bangun dan menyeret-nyeretku mengejar pelangi, sekarang mendadak ia berkata hujan tidak akan datang?  Konyol.

“Saya harap Anda bisa memakluminya.”  Wanita itu mulai bicara lagi, keletihan tampak lebih kentara di balik senyumnya kini.  “Ia begitu percaya pada kisah itu, dan ia begitu ingin sembuh, karenanya...”

“Maaf—apa?”  ada yang terdengar janggal di sini.  “Sembuh?  Sembuh dari apa?”

Wanita itu sejenak tampak tersentak, menyadari sesuatu, hingga ia melepaskan sebuah desah berat.  Ia tampak jauh lebih lelah dari sebelumnya.

“Ia tidak pernah menceritakannya, saya kira.”  Ia menyesap tehnya dengan tangan gemetar, sebelum melanjutkan kata-katanya.  “Ia menderita kanker.  Dokter berkata ia hanya punya waktu beberapa minggu, atau bulan, jika beruntung.  Sejak saat itu, ia selalu berusaha mengejar pelangi.”

Aku merasakan hantaman asing di perutku.  Tenggorokanku tercekat.  Napasku seolah tertahan.  Tiap kata itu terlalu mengejutkan untuk kucerna.  Terlalu tidak masuk akal.  Bocah itu sekarat—itu tidak mungkin.  Bocah yang selalu tersenyum itu, yang tidak mengenal sedih itu.

“…Permisi.”

Aku melangkahkan kaki keluar.  Benang kusut menyesaki kepalaku.  Sialan.  Sialan.  Seharusnya aku tahu lebih cepat.  Seharusnya aku tidak membiarkannya kehujanan.  Seharusnya aku membantunya menggali agar ia tidak perlu berlama-lama di udara sedingin itu.  Seharusnya aku menanyakan apa permintaannya.

Dan, hujan benar-benar tidak datang.  

Tidak hari ini.  Tidak juga esoknya.  Tidak juga esoknya kemudian.  Dan aku mulai kehabisan kesabaranku—juga umpatan untuk kumuntahkan pada langit atau dewa atau malaikat apa pun yang bertugas mengatur hujan di atas sana.  Aku selalu berusaha menemui bocah itu, membujuknya untuk keluar, berkata kemungkinan hujan akan datang hari ini.  Tapi ia bergeming, kembali meneriakiku bahwa hujan tidak akan datang.  Dan ia benar, seperti biasanya.

Tapi ketiadaan hujan tidak membuatu segusar ketika kulihat betapa cepat perubahan fisik bocah itu.  Aku nyaris tidak mengenalinya lagi.  Wajahnya semakin tirus, tubuhnya tampak menciut hingga aku merasa bisa melihat garis-garis rusuk di bawah piyamanya.  Dan meski ia masih mampu menjerit padaku, bisa kurasakan tiap gerak dan suara yang dibuatnya menghabiskan banyak energi dari yang seharusnya, membuatnya kesakitan.  

Maka aku berhenti mendatanginya.  Menghabiskan sisa hariku dengan mengutuki langit, dan Tuhan, yang sebetulnya tidak kupercayai keberadaannya.  Tapi aku butuh seseorang—sesuatu—untuk kusalahkan, untuk kujadikan pelampiasan amarahku.  

Satu minggu lagi berlalu, dan tidak juga ada tanda-tanda hujan akan turun, segelap apa pun langit tampaknya.  Perlahan namun pasti, ketakutan itu merayapiku.  Ketakutan untuk mendengar yang terburuk.  Aku terlonjak tiap kali teleponku berdering, berharap itu bukanlah suara yang memberitahukan ketakutanku berubah nyata.
  
Ketika aku mulai merasa tidak sanggup menahan ketakutan itu tanpa kehilangan kewarasanku—hujan pun turun.

Aku ternganga, perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari tetes-tetes yang membasahi jendela di depan meja kerjaku bukanlah sekedar khayalanku, sebelum aku bangkit berdiri.  Kursiku terjatuh karena gerakku yang terlalu tiba-tiba, begitu juga dengan berkas-berkas kerja di atas mejaku, tapi aku tidak peduli.  Aku berlari, melawan hujan. 

Akhirnya.  Akhirnya.

Aku bahkan tidak mengucap salam ketika ibunya membukakan pintu, dan tergesa-gesa menaiki tangga.  Kubuka pintu kamarnya hingga menjeblak dengan keras.  Masa bodoh dengan tata krama.

“Bocah!  Ayo keluar, kalau tidak kau akan terlambat—“

Tidak ada.  Bocah itu tidak ada.  Tidak, jangan bilang bocah itu sudah…

“Ia sudah pergi,”

Aku berbalik, kedua tanganku mencengkeram bahu wanita itu, terlalu keras hingga ia mengernyit.  Ia menyadari kesalahannya, dan bergegas menyelesaikan kalimatnya.

“Ia sudah pergi mengejar pelanginya, sebelum Anda datang.”

Sialan.  Aku nyaris saja menangis.  Kuucapkan maaf dengan cepat, sebelum kembali berlari melewatinya, mempercepat lajuku.  Hujan telah reda, dan sebuah pelangi besar tampak di langit.  Begitu dekat.  Dan ia ada di sana.  Bocah itu ada di sana.  Di ujung pelangi itu.

“Bocah!”

Ia mendongak, terbelalak melihatku, tapi kemudian ia tersenyum.  Aku membalas senyumnya, begitu lega, sebelum kulihat tubuhnya mendadak limbung.  Kuulurkan lenganku untuk menangkapnya sebelum menghantam tanah.  Ia tampak begitu pucat.  Wajahnya dipenuhi peluh.  Lututnya terluka dan berdarah.  Kedua tangan dan kakinya kotor.  Ia terlihat sulit bernapas.  Tapi ia tersenyum.  Senyum lebarnya yang biasa.

“Bocah bodoh.” 

Ia terkekeh, “Paman, akhirnya permintaanku terkabul.”

Tangannya terangkat dengan susah payah, mengarah pada pelangi yang masih bertengger dengan kokoh di langit.  Mataku seketika terbelalak.  Samar, di bawah lengkung ungu, kulihat satu warna yang tidak pernah kutahu ada pada pelangi mana pun sebelumnya.  Warna yang tidak mampu kudefinisi.  Tak terkatakan.  Sebagaimana tak tersangkal.

“Kau benar,” pandanganku kembali pada wajah lugu bocah itu, tersenyum.  Senyum yang tidak pernah kupikir bisa kubuat.  “Permintaanmu terkabul.  Akhirnya.”

Ia membalas senyumku, dengan senyumnya yang paling lebar.  Sebelum terlelap, tanpa kehilangan kurva itu di parasnya.

Dan sejak itu, ia tidak pernah lagi membuka matanya.

Permintaannya tidak terkabul.  Tidak ada malaikat.  Tidak ada yang membaurkan kata-katanya dan membawanya ke langit.  Barangkali warna yang kulihat kali itupun hanyalah ilusi.  Itu semua hanya karangan.  Kebohongan.  Dan dengan bodohnya aku berharap hal itu bukanlah sekedar dongeng, untuk satu kali itu saja.

Masa tinggalku di kota itu sudah berakhir.  Dan tak satu pun foto berhasil kubuat.  Pemimpin redaksi akan mencecarku, paling buruk memecatku.  Tapi aku sudah mati rasa.  Aku mengosongkan lemari dan kamarku, dibantu wanita pemilik kafe yang membawakanku sarapan.  Ia selalu mengunjungiku tiap pagi sejak kepergiannya, tidak satu kalipun percaya pada perkataan bahwa aku baik-baik saja.  Akhirnya aku menyerah, membiarkannya.  Aku sudah malas berdebat.  Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk menghibur diriku sendiri.

Desah berat kusuarakan, mengakibatkan satu lagi tanya “Kau baik-baik saja?” dilontarkan padaku.  Aku menggeleng tidak meyakinkan, dan aku memutuskan untuk pergi ke luar, beralasan ingin memotret sesuatu sebelum pergi, hanya agar aku tidak perlu berhadapan dengan wajah cemasnya.  

Langit cerah.  Biru.  Terang.  Tanpa satu pun helai awan.  Tidak ada ancaman mendung.  Aku tersenyum, menertawai ironi itu, mengejek diriku.  

Tanpa sadar, langkahku terhenti di bawah satu pohon besar.  Satu tempat yang selalu kuhindari setelah hari itu.  Aku bukan orang hebat.  Aku hanya manusia kecil yang tidak berdaya melawan kuasa yang sudah diguratkan atas setiap insan.  Aku bahkan tidak berdaya melawan kesedihan yang menyeretku tenggelam terlalu dalam. 

Tapi kurasa, pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal.

Aku berjongkok, menyentuh gundukan tanah yang masih baru itu.  Perlahan, tanganku mulai menggali.  Semakin dalam.  Kuacuhkan tanah yang melaburi telapak tanganku, menyusupi kuku-kukuku.  Aku dikuasai dorongan kuat untuk menemukan botol kaca itu.  Yang menyimpan permintaan terakhir bocah itu.  Satu-satunya yang kuanggap tersisa untuk mewakili keberadaannya.  

Ujung jariku menyentuh sesuatu yang keras, dan aku tahu aku berhasil menemukannya.  Kutarik botol kaca itu dari benamannya, mencabut penutupnya.  Aku sudah tahu.  Aku sudah tahu apa permintaan bocah itu.  Yang tersia-sia.  Tak mampu bahkan sekedar menangguhkan kepergiannya barang sehari.  Tapi biarkan aku membacanya sendiri.  Biarkan aku merasakan hantaman sakitnya sekaligus sebelum benar-benar merelakannya.  Kubuka gulungan kertas kecil di dalamnya, membaca coretan yang tertera di atasnya:


“Malaikat yang baik, aku tahu ini bukan permintaanku yang pertama dan barangkali kau sudah bosan membaca tulisanku.  Aku juga tahu ada permintaan lain yang penting, tapi kumohon, kumohon, kumohon, kumohon, kumohon, tolong kabulkan permintaanku kali ini. 
Aku ingin melihat Paman tersenyum.  Ia agak bodoh dan payah, tapi ia baik hati.  Ia cuma tidak tahu cara tersenyum.  Jadi bisakah kau beri ia lebih banyak alasan untuk tersenyum?
Please?  Aku berjanji tidak akan pernah meminta apa pun lagi setelah ini.  Toh, sebentar lagi aku akan bertemu langsung denganmu, kan?  Tolong ya, malaikat.
Salam sayang,
Frey.

PS.  Oh ya, dan tolong buat ia bangun lebih pagi, ya.  Pastikan Paman sarapan, ia gampang marah kalau belum makan.”


Tanganku bergetar, dan kurasakan tetes-tetes mengaliri pipiku.  Aku menengadah.  Hujan turun.  Langit berlabur kelabunya yang biasa.  Tulisan dalam genggamanku sebagian pudar ditelan rinainya, tapi tidak terhapus dari pikiranku.  Aku mengingatnya.  Aku akan mengingatnya.

Kubiarkan wajahku diterpa, kubiarkan seluruh tubuhku basah, menghanyutkan gumpalan besar yang sudah berhari-hari mencekikku dari dalam, melumpuhkanku.  Bersamaan dengan tetesnya yang terakhir, dan langit kembali membuka, aku dapat merasakan kedua kakiku lagi.

Dan pelangi itu ada di sana.  Lebih besar dan lebih indah dari yang pernah kulihat sebelumnya.  Warna-warnanya merekah terang, tapi tidak ada yang semempesona warna barunya.  Warna kedelapan itu.

Kupandangi warna itu.  Tersenyum.


Bocah, permintaanmu terkabul.


Dan warnamu telah kubingkai abadi, dalam potret dan dinding kenanganku.



Malang, 21 April 2012
00:41

A/N: Published in Antologi Cerpen Kota Cerita.

3 comments:

cappucino_no said...

Cihuy... untuk pertamanya ku bilang, cerita yang ini bagus. hihihi.. Sebelum baca, ada temanku yang baca judulnya terlebih dahulu dan langsung celetuk, 'gak ada warna kedelapan', baru deh aku ngeh untuk membaca judulnya. Dan aku cuma bisa berkata, ya coba kita baca saja. Dan ternyata.. hihihi aku suka deskripsimu 'Warna yang tidak mampu kudefinisi. Tak terkatakan. Sebagaimana tak tersangkal.' Keren ta...keren...

oia, aku cuma mau koreksi atau bertanya mungkin ya, karena ada yang buat otakku berpikir setengah mati apa maksudnya?
Kata ini ta >>Pantas saja. Jika dilihat dari jauh, ujung pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini. Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya benar—meski sedikit melenceng.
Teorimu belum dideskripsikan ya sepertinya!!??

キアリ said...

@cappucino_no:

Wah, Tania, dirimu pertamax! =))

Hihihi, memang ga ada warna kedelapan, kecuali di kotanya Frey dan si Paman =))

Teori tentang pelangi yang dia bilang itu maksudnya yang ini: "Seolah ia menganggap hujan sama dengan Sinterklas, dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda. Terkubur di dekat pelangi atau semacamnya."

Untuk tulisan berikutnya ntar aku belajar lebih baik lagi buat nulis deskrip deh, biar ga bikin bingung lagi =))

Anyway, makasih banyak udah mampir, baca, & komen *pelukin*

Ayok, kutunggu ceritamu juga :D

Orinthia Lee said...

Aku nggak bingung kok bagian yg disebut sama Nia #dor =))

Dan ini beneran bagus... ih semua tulisanmu selalu bagus, moga2 kamu ga bosen ya denger aku bilang IH BAGUS terus hehehee...

Aku nangis bacanya... bocah itu beruntung banget... bahagia banget sampai2 dia bisa berharap buat kebahagiaan orang lain... so sweet...