Menurutmu bagaimana rasanya ketika setelah hampir sepuluh tahun merelakan dan melakukan apa pun demi cita-citamu, lalu selanjutnya kau justru dibuang?
Perkenalkan. Aku adalah pemuda yang berbakat besar di
bidang fotografi. Aku mampu menangkap
sudut-sudut terbaik dari segala objek. Inderaku
sangat awas menemukan pesona-pesona tersembunyi dan memunculkannya. Dan ngomong-ngomong, itu semua bukan
kata-kataku, tapi orang-orang di sekitarku.
Yah,
dan harus kuakui aku memang hebat. Jadi
tidak heran juga kalau kemudian aku menjadi salah satu lulusan terbaik dari
jurusan fotografi tempat kuliahku dan diterima bekerja tanpa hambatan berarti di majalah favoritku.
Tapi
kalau kau pikir lalu cita-citaku langsung tercapai, kau salah besar. Sebagai orang baru, aku harus rela menjadi
semacam budak bagi fotografer-fotografer senior di sana. Tidak ada kesempatan bagiku untuk menampilkan
hasil karyaku sendiri.
Akhirnya
setelah empat tahun, aku benar-benar diberi tugas untuk menjelajahi satu
wilayah dan mengabadikannya dengan foto.
Di kepalaku sudah terbayang kota-kota yang akan kudatangi. New York, mungkin? Atau Tokyo?
Paris? Yang terakhir itu
terdengar cocok sekali untukku. Sophisticated.
Tapi
apa yang selanjutnya kudapatkan? Kota
antah berantah yang bahkan belum pernah kudengar namanya. Bergen.
Yakin itu nama kota? Bukan
semacam tempat pembuangan orang-orang jenius yang tidak diapresiasi?
Aku
curiga pemimpin redaksiku sengaja memilih kota ini untukku. Lihat saja.
Aku sudah hampir tiga hari di kota ini dan tidak satu haripun disinari
matahari. Kota ini seperti magnet bagi
mendung. Segalanya terasa dan terlihat
kelabu. Cocok sekali sebagai latar
episode paling tidak beruntung dalam hidupku.
Apa yang mereka harapkan bisa kuabadikan dari kota sekelam ini, hah?
Aku
baru saja mulai memikirkan cara-cara untuk membalas dendam pada pemimpin
redaksiku ketika satu tubrukan keras menghantam punggungku dari belakang.
“Oi! Pakai mata kalau jalan!”
Hardikanku
ternyata dihadapkan pada sebuah wajah kerdil dari seorang anak lelaki cebol,
yang kini melongo memandangiku. Aku
hendak kembali meneriakinya saat ia mendadak tersenyum lebar hingga matanya
menyipit.
“Paman,
kenapa diam saja di sini?” tangan kecilnya mendadak mencengkeram lengan bajuku,
menarik-nariknya. “Tidak lihat ya hujan
akan datang? Ayo pergi!”
Dan
tahu-tahu ia sudah menyeretku berlari bersamanya, entah ke mana. Berteduh dari hujan? Yang benar saja, bahkan setitik gerimis pun
tidak tampak. Lagipula, kenapa aku harus
ikut segala?
“Oi,
bocah, berhenti! Lihat baik-baik, tidak
ada hujan.”
“Ada
kok, Paman!” Ia menjawab seraya tertawa.
“Sebentar lagi hujannya datang, percayalah padaku!”
Aku
mendengus mengejek. “Bagaimana kau bisa
tahu hujan akan turun? Dan jangan
panggil aku paman, aku belum setua it—“
“Lihat,
lihat! Lihat, Paman! Hujan datang!”
Bocah
itu berhenti mendadak, menunjuk langit seraya melonjak-lonjak. Aku mendongak, dan kurasakan setetes air
membasahi wajahku. Perlahan, tetesan itu
berubah menjadi gerimis, lalu menjelma menjadi hujan masif. Cih.
Baju baruku jadi basah, sialan. Anehnya,
bocah itu justru tertawa riang, begitu senang, dan kembali menarik lenganku. Kali ini lebih bersikeras.
“Ayo,
ayo, cepat, Paman! Nanti pelanginya
keburu pergi!”
“Sudah
kubilang jangan panggil aku Paman!” Jawabku ketus, mulai kesal. “Lagipula, belum tentu akan ada pelangi
setelah hujan ini red—“
“Lihat,
lihat! Lihat, Paman! Pelangi datang!”
Bocah
ini peramal atau bagaimana? Jauh di
depan sana, sebuah pelangi besar melengkung—hujan mereda. Sudah lama aku tidak melihat pelangi sebesar
dan sejelas itu, dan aku sudah hendak merogoh tas kameraku ketika aku sadar
tindakanku itu akan terlihat kelewat kekanakan.
Terpesona pada pelangi? Bah.
“Nah,
kau sudah dapat pelangimu kan, bocah?
Kalau begitu biarkan aku perg—“
Sayang
sekali aku tidak seanarki itu untuk menghajar bocah yang sepertinya hanya
beberapa tahun di atas balita itu untuk mau melepaskanku. Ia kembali menyeretku berlari bersama
langkah-langkahnya yang kecil. Apa lagi
selanjutnya? Aurora? Bintang jatuh?
Dan
ada yang janggal dari bocah ini. Ya, ya,
aku tahu anak-anak cenderung menyukai hujan.
Tapi yang satu ini tampak lebih dari sekedar suka. Seolah ia menganggap hujan sama dengan
Sinterklas, dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda. Terkubur di dekat pelangi atau
semacamnya. Caranya menyebut hujan dan
pelangi bahkan terdengar seolah mereka adalah kawannya, yang biasa singgah dan
kemudian pulang. Kota yang kelabu rupanya
berefek menjadikan penduduknya aneh.
“Kita
sampai, Paman!”
Bocah
itu sekali lagi berhenti, kali ini mendatangi sebuah pohon besar. Ia berjongkok di antara dua akar besarnya
yang menonjol, dan mulai menggali dengan tangan kosong. Kelewat bersemangat.
“Kau
sedang apa?”
Ia
tersenyum semakin lebar, menarikku untuk
ikut berjongkok, lalu mengarahkan pandanganku pada pelangi besar itu dengan
telunjuknya.
“Paman
tidak tahu, ya? Ujung pelangi kan tempat
yang ajaib!”
Pantas
saja. Jika dilihat dari jauh, ujung
pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini. Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya
benar—meski sedikit melenceng.
“Kalau
kita menulis surat dan memasukkannya ke dalam botol kaca lalu menguburnya di ujung
pelangi, pelangi akan menguraikan kata-katanya menjadi warna-warna mereka dan
mengantarkannya pada malaikat di langit!”
Ia melanjutkan, masih asik menggali, sesekali memamerkan senyum selebar
wajahnya padaku. “Lalu para malaikat
akan mengabulkan permintaan yang kita tulis di surat!”
Sekali
lagi, aku mendengus diiringi senyum mengejek.
Aku bukan pecinta mitos. “Dan
bagaimana kau tahu permintaanmu dikabulkan?”
Senyumnya
benar-benar lebar kini, wajahnya jadi terlihat seolah terbelah. “Kalau permintaan kita dikabulkan, malaikat
akan memberi tanda dengan memunculkan satu warna baru pada pelangi!”
Astaga. Orangtua bocah ini terlalu berlebihan
mengarang dongeng bagi anaknya. Malang sekali
kau, nak, dibodohi sejak usia sedini ini.
Tanganku bergerak menepuk-nepuk kepalanya bersimpati, ketidakpercayaan
tampak jelas pada ekspresiku, dan bocah itu segera merengut.
“Paman
tidak percaya padaku, ya? Ya kan?”
“Well,” sahutku seraya mengangkat bahu,
“pelangi itu hanya biasan dari cahaya dan tetes air, kiddo, bukan kurir pengantar surat atau semacamnya, jadi—“
“Tidak,
Paman salah!” Bocah ini harus belajar
untuk tidak memotong perkataanku setiap lima menit sekali. “Paman bodoh!” Apa-apaan.
“Paman payah!”
Okay, that’s it.
“Berisik!”
Aku bangkit berdiri, habis kesabaran. “Terserah! Suatu saat kau akan paham bahwa yang bodoh
itu kau, bukan aku!” Aku berbalik dan
bersiap pergi, menoleh untuk terakhir kali untuk menambahkan, “Dan jangan
panggil aku Paman!”
Lihat
siapa yang bersikap kekanakan sekarang.
Tapi aku tak peduli. Suasana
hatiku sedang buruk dan aku tidak mau memperparahnya dengan meladeni bocah aneh
pecinta hujan dan pelangi. Sial, aku
bahkan belum menghasilkan satu foto pun hari ini.
Umpatan kulontarkan, dan aku bergegas pulang menuju rumah kecil yang
disewakan untukku, berpikir sebaiknya aku beristirahat dan mencoba lagi
besok. Dan semoga aku tak perlu bertemu
orang aneh lainnya.
Tapi
sepertinya ketidakberuntunganku belum berakhir.
Gedoran gaduh terdengar dari jendela kamarku, memaksaku bangun. Terlalu pagi.
Sialan. Aku mati-matian menyeret
kaki dan mataku yang masih diselimuti kantuk untuk membuka jendela, hanya untuk
menemukan wajah kerdil itu lagi—tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Mau
apa ka—“
“Paman,
kalau tidak cepat-cepat, nanti terlambat lho!”
Lagi-lagi
aku tidak bisa melepaskan diri ketika tangan kecil itu menarikku keluar dari
kamarku melalui jendela. Aku merasa jadi
korban penculikan. Kupikir kali ini pun
bocah itu akan membawaku melihat hujan, atau pelangi, atau semacamnyalah, tapi
akhirnya kami duduk di salah satu meja pada teras sebuah kafe kecil, yang
disebutnya memiliki menu sarapan paling enak sejagad raya. Hah, kepercayaan konyol lainnya.
Aroma
yang kemudian tercium dari hadapanku seketika menutup mulut sinisku. Aku bukan orang yang menganggap sarapan itu
penting, tapi potongan roti dan secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul
itu entah bagaimana mampu membuat pengecualian.
Segera, kulahap keduanya seperti orang kelaparan. Crap. Bocah itu benar.
Dua
tawa lepas terdengar. Si bocah dan
wanita setengah baya yang mengantarkan makanan itu tersenyum lebar menatapku
menyantap dengan rakus, seolah sejak awal tahu akan reaksiku.
“Kalau
ingin tambah, akan kuberi bonus gratis, nak.”
Wanita
itu menepuk bahuku, mengiringinya dengan senyum hangat, yang tidak bisa tidak
kubalas. Seraya menghabiskan sarapan
pertamaku setelah bertahun-tahun itu, aku mengamati sekelilingku. Bocah di hadapanku, wanita pemilik kafe itu,
dan wajah-wajah lainnya. Kusadari satu
hal. Seberapapun seringnya mendung
memayungi kota ini, penduduknya tidak pernah tampak muram. Sebaliknya, mereka memiliki wajah-wajah
sesejuk pagi, dan senyum-senyum secerah matahari.
Damn. Aku mulai berubah menjadi melankolis.
“Bocah,
apa tadi yang kau bilang tentang terlambat?” tanyaku, mengalihkan pandang
kembali ke mejaku sendiri. Bocah itu
mendongak, menghadiahiku senyum lebarnya yang mulai familiar di mataku.
“Hujan
akan turun sebentar lagi!”
Bocah
ini bisa membuat bangkrut badan meteorologi.
Tidak lama setelah kami menghabiskan sarapan kami masing-masing, gerimis
turun, pelangi muncul kemudian, dan tidak jauh berbeda dengan kemarin, langkah
cepat kami berakhir di bawah sebuah pohon besar. Perut kenyang sepertinya memang berpengaruh
pada suasana hati, jadi kali ini aku tidak banyak omel, meski aku tetap tidak
sudi turut mengotori tanganku untuk membantu bocah itu menggali. Aku hanya berjongkok di sampingnya, sementara
ia sibuk dengan agendanya sendiri.
“Kenapa
kau harus mencari pelangi lagi hari ini?”
tanyaku sambil lalu, “Memangnya permintaanmu yang kemarin tidak
dikabulkan?”
“Aku
tidak melihat ada warna baru. Pasti ada
permintaan lain yang lebih penting dariku untuk dikabulkan kemarin.” Jawabnya,
tanpa nada sedih ataupun kecewa, seraya menguburkan botol kacanya kembali
dengan tanah. “Tapi kali ini mungkin
saja giliranku!”
Senyum
simpul muncul di wajahku. Kuangkat
tanganku untuk mengusap puncak kepalanya.
Dasar keras kepala. Malaikat itu
tidak ada. Hanya manifestasi dari
harapan-harapan tidak nyata manusia.
Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya segamblang itu. Tidak ketika yang kuhadapi adalah sesosok
yang bahkan tidak menyimpan dendam karena mengetahui permintaannya tidak
dikabulkan demi orang lain yang ia pikir lebih membutuhkannya.
Jadi
biar kuikuti saja permainannya.
Esok
harinya, dan esok hari setelahnya, dan esok harinya kemudian, bocah itu selalu
membangunkanku dengan gedoran di jendelaku, menyeretku berlari keluar bahkan
sebelum kedua mataku benar-benar terbuka.
Aku jadi tidak perlu punya alarm.
Dan
tiap hari pula aku melihatnya mengejar pelangi, melumuri kedua tangannya dengan
bulir-bulir tanah hitam demi mengubur permintaannya. Dan jawabannya selalu sama. Barangkali ada permintaan orang lain yang
lebih penting untuk dikabulkan.
Barangkali hari ini adalah gilirannya.
Tapi bahkan setelah lebih dari satu minggu, ia tidak juga menemukan
warna baru untuknya.
Hari
kesepuluh sejak pertama kali jendelaku digedor, aku telah lebih dulu bangun. Aku bahkan telah berpakaian lengkap. Kedua mata dan pikiranku sepenuhnya
terjaga. Senyum lebar kubuat di wajahku,
siap menyombong bahwa aku bisa bangun sebelum ia tiba.
“Ha! Hari ini aku bangun lebih dulu daripada—“
Bocah
itu tidak ada.
Aneh. Langit mendung seperti biasa, aku tidak akan
kaget jika tak lama lagi hujan turun.
Tapi ke mana perginya pecinta hujan itu?
Ke mana perginya pengejar pelangi itu?
Berbekal
secarik alamat dari pemilik kafe, kubawa langkahku pada sebuah rumah mungil di
tepi kota. Kuketuk pintunya tanpa ragu,
dan sesosok wanita muda menyambutku.
“Permisi,
madam, apakah aku bisa bertemu
dengan…ngg…”
Aku
baru sadar aku tidak mengetahui nama bocah itu.
Wanita itu tersenyum padaku, tampak letih, namun membukakan pintu lebih
lebar untukku, mempersilakanku masuk, seolah tahu siapa yang kumaksud. Ia mengantarku ke depan pintu kamar anaknya
di lantai dua. Kuputar kenopnya, mengayunkan
daun pintunya terbuka. Bocah itu ada di
sana, berbaring di tempat tidurnya, memunggungiku. Selimut menutupi hingga lehernya.
“Hei,”
aku berjongkok di sisi tempat tidurnya, “kau tidak membangunkanku pagi ini.”
Terlalu
gengsi untuk bertanya apakah ia baik-baik saja.
“Karena
hujan tidak akan datang.”
“Hah?”
“Hujan
tidak akan datang.”
“Kau
bercanda.” Aku terbahak, menepuk-nepuk
kepalanya. “Hujan selalu datang. Tiap hari.
Bukankah kau sendiri yang bilang—“
“Hujan
tidak akan datang!”
Ia
mendadak bangkit duduk, menyibakkan selimutnya dan berbalik menghadapiku. Wajahnya memerah. Bukan karena marah. Lebih karena gusar—atau takut. Aku tidak tahu.
“Hujan
tidak akan datang! Dan tidak akan ada
pelangi! Dan tidak akan ada warna
baru!” Ia menjerit, berteriak keras
tepat di wajahku. Ia seolah menggunakan
seluruh udara yang ada di paru-parunya dan mengiris pita suaranya sendiri
dengan kalimatnya yang berikutnya. “Dan
permintaanku tidak akan pernah dikabulkan!”
Aku
membeku. Terlalu kaget untuk
merespon. Kedua mata bocah itu mulai
disaputi air mata, dan detik berikutnya ia sudah membenamkan wajahnya kembali
ke bantalnya, memunggungiku lagi.
Kurasakan tepukan di pundakku—ibunya.
Ia memberi isyarat untuk mengikutinya keluar dari kamar. Kami berdua duduk di meja makan kemudian,
saling berhadapan. Dengan secangkir teh
hangat disertai ucapan maaf atas sikap anaknya padaku.
“Tidak
apa-apa.” Sahutku tidak enak hati, meski
aku sebetulnya merasa perlu penjelasan.
Selama lebih dari seminggu bocah itu memaksaku bangun dan
menyeret-nyeretku mengejar pelangi, sekarang mendadak ia berkata hujan tidak
akan datang? Konyol.
“Saya
harap Anda bisa memakluminya.” Wanita
itu mulai bicara lagi, keletihan tampak lebih kentara di balik senyumnya
kini. “Ia begitu percaya pada kisah itu,
dan ia begitu ingin sembuh, karenanya...”
“Maaf—apa?” ada yang terdengar janggal di sini. “Sembuh?
Sembuh dari apa?”
Wanita
itu sejenak tampak tersentak, menyadari sesuatu, hingga ia melepaskan sebuah
desah berat. Ia tampak jauh lebih lelah
dari sebelumnya.
“Ia
tidak pernah menceritakannya, saya kira.”
Ia menyesap tehnya dengan tangan gemetar, sebelum melanjutkan
kata-katanya. “Ia menderita kanker. Dokter berkata ia hanya punya waktu beberapa
minggu, atau bulan, jika beruntung.
Sejak saat itu, ia selalu berusaha mengejar pelangi.”
Aku
merasakan hantaman asing di perutku. Tenggorokanku
tercekat. Napasku seolah tertahan. Tiap kata itu terlalu mengejutkan untuk
kucerna. Terlalu tidak masuk akal. Bocah itu sekarat—itu tidak mungkin. Bocah yang selalu tersenyum itu, yang tidak
mengenal sedih itu.
“…Permisi.”
Aku
melangkahkan kaki keluar. Benang kusut
menyesaki kepalaku. Sialan. Sialan. Seharusnya aku tahu lebih cepat. Seharusnya aku tidak membiarkannya
kehujanan. Seharusnya aku membantunya
menggali agar ia tidak perlu berlama-lama di udara sedingin itu. Seharusnya aku menanyakan apa permintaannya.
Dan,
hujan benar-benar tidak datang.
Tidak
hari ini. Tidak juga esoknya. Tidak juga esoknya kemudian. Dan aku mulai kehabisan kesabaranku—juga
umpatan untuk kumuntahkan pada langit atau dewa atau malaikat apa pun yang
bertugas mengatur hujan di atas sana. Aku
selalu berusaha menemui bocah itu, membujuknya untuk keluar, berkata
kemungkinan hujan akan datang hari ini.
Tapi ia bergeming, kembali meneriakiku bahwa hujan tidak akan
datang. Dan ia benar, seperti biasanya.
Tapi
ketiadaan hujan tidak membuatu segusar ketika kulihat betapa cepat perubahan
fisik bocah itu. Aku nyaris tidak
mengenalinya lagi. Wajahnya semakin
tirus, tubuhnya tampak menciut hingga aku merasa bisa melihat garis-garis rusuk
di bawah piyamanya. Dan meski ia masih
mampu menjerit padaku, bisa kurasakan tiap gerak dan suara yang dibuatnya
menghabiskan banyak energi dari yang seharusnya, membuatnya kesakitan.
Maka
aku berhenti mendatanginya. Menghabiskan
sisa hariku dengan mengutuki langit, dan Tuhan, yang sebetulnya tidak
kupercayai keberadaannya. Tapi aku butuh
seseorang—sesuatu—untuk kusalahkan, untuk kujadikan pelampiasan amarahku.
Satu
minggu lagi berlalu, dan tidak juga ada tanda-tanda hujan akan turun, segelap apa
pun langit tampaknya. Perlahan namun
pasti, ketakutan itu merayapiku.
Ketakutan untuk mendengar yang terburuk.
Aku terlonjak tiap kali teleponku berdering, berharap itu bukanlah suara
yang memberitahukan ketakutanku berubah nyata.
Ketika
aku mulai merasa tidak sanggup menahan ketakutan itu tanpa kehilangan
kewarasanku—hujan pun turun.
Aku
ternganga, perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari tetes-tetes yang
membasahi jendela di depan meja kerjaku bukanlah sekedar khayalanku, sebelum
aku bangkit berdiri. Kursiku terjatuh
karena gerakku yang terlalu tiba-tiba, begitu juga dengan berkas-berkas kerja
di atas mejaku, tapi aku tidak peduli. Aku
berlari, melawan hujan.
Akhirnya. Akhirnya.
Aku
bahkan tidak mengucap salam ketika ibunya membukakan pintu, dan tergesa-gesa
menaiki tangga. Kubuka pintu kamarnya
hingga menjeblak dengan keras. Masa bodoh dengan tata krama.
“Bocah! Ayo keluar, kalau tidak kau akan terlambat—“
Tidak
ada. Bocah itu tidak ada. Tidak, jangan bilang bocah itu sudah…
“Ia
sudah pergi,”
Aku
berbalik, kedua tanganku mencengkeram bahu wanita itu, terlalu keras hingga ia
mengernyit. Ia menyadari kesalahannya,
dan bergegas menyelesaikan kalimatnya.
“Ia
sudah pergi mengejar pelanginya, sebelum Anda datang.”
Sialan. Aku nyaris saja menangis. Kuucapkan maaf dengan cepat, sebelum kembali
berlari melewatinya, mempercepat lajuku.
Hujan telah reda, dan sebuah pelangi besar tampak di langit. Begitu dekat.
Dan ia ada di sana. Bocah itu ada
di sana. Di ujung pelangi itu.
“Bocah!”
Ia
mendongak, terbelalak melihatku, tapi kemudian ia tersenyum. Aku membalas senyumnya, begitu lega, sebelum
kulihat tubuhnya mendadak limbung.
Kuulurkan lenganku untuk menangkapnya sebelum menghantam tanah. Ia tampak begitu pucat. Wajahnya dipenuhi peluh. Lututnya terluka dan berdarah. Kedua tangan dan kakinya kotor. Ia terlihat sulit bernapas. Tapi ia tersenyum. Senyum lebarnya yang biasa.
“Bocah
bodoh.”
Ia
terkekeh, “Paman, akhirnya permintaanku terkabul.”
Tangannya
terangkat dengan susah payah, mengarah pada pelangi yang masih bertengger
dengan kokoh di langit. Mataku seketika
terbelalak. Samar, di bawah lengkung
ungu, kulihat satu warna yang tidak pernah kutahu ada pada pelangi mana pun
sebelumnya. Warna yang tidak mampu
kudefinisi. Tak terkatakan. Sebagaimana tak tersangkal.
“Kau
benar,” pandanganku kembali pada wajah lugu bocah itu, tersenyum. Senyum yang tidak pernah kupikir bisa
kubuat. “Permintaanmu terkabul. Akhirnya.”
Ia
membalas senyumku, dengan senyumnya yang paling lebar. Sebelum terlelap, tanpa kehilangan kurva itu
di parasnya.
Dan
sejak itu, ia tidak pernah lagi membuka matanya.
Permintaannya
tidak terkabul. Tidak ada malaikat. Tidak ada yang membaurkan kata-katanya dan
membawanya ke langit. Barangkali warna
yang kulihat kali itupun hanyalah ilusi.
Itu semua hanya karangan.
Kebohongan. Dan dengan bodohnya
aku berharap hal itu bukanlah sekedar dongeng, untuk satu kali itu saja.
Masa
tinggalku di kota itu sudah berakhir.
Dan tak satu pun foto berhasil kubuat.
Pemimpin redaksi akan mencecarku, paling buruk memecatku. Tapi aku sudah mati rasa. Aku mengosongkan lemari dan kamarku, dibantu
wanita pemilik kafe yang membawakanku sarapan.
Ia selalu mengunjungiku tiap pagi sejak kepergiannya, tidak satu kalipun
percaya pada perkataan bahwa aku baik-baik saja. Akhirnya aku menyerah, membiarkannya. Aku sudah malas berdebat. Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk
menghibur diriku sendiri.
Desah
berat kusuarakan, mengakibatkan satu lagi tanya “Kau baik-baik saja?”
dilontarkan padaku. Aku menggeleng tidak
meyakinkan, dan aku memutuskan untuk pergi ke luar, beralasan ingin memotret
sesuatu sebelum pergi, hanya agar aku tidak perlu berhadapan dengan wajah cemasnya.
Langit
cerah. Biru. Terang.
Tanpa satu pun helai awan. Tidak
ada ancaman mendung. Aku tersenyum,
menertawai ironi itu, mengejek diriku.
Tanpa
sadar, langkahku terhenti di bawah satu pohon besar. Satu tempat yang selalu kuhindari setelah hari
itu. Aku bukan orang hebat. Aku hanya manusia kecil yang tidak berdaya
melawan kuasa yang sudah diguratkan atas setiap insan. Aku bahkan tidak berdaya melawan kesedihan
yang menyeretku tenggelam terlalu dalam.
Tapi
kurasa, pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal.
Aku
berjongkok, menyentuh gundukan tanah yang masih baru itu. Perlahan, tanganku mulai menggali. Semakin dalam. Kuacuhkan tanah yang melaburi telapak tanganku,
menyusupi kuku-kukuku. Aku dikuasai
dorongan kuat untuk menemukan botol kaca itu.
Yang menyimpan permintaan terakhir bocah itu. Satu-satunya yang kuanggap tersisa untuk
mewakili keberadaannya.
Ujung
jariku menyentuh sesuatu yang keras, dan aku tahu aku berhasil
menemukannya. Kutarik botol kaca itu
dari benamannya, mencabut penutupnya.
Aku sudah tahu. Aku sudah tahu
apa permintaan bocah itu. Yang
tersia-sia. Tak mampu bahkan sekedar
menangguhkan kepergiannya barang sehari.
Tapi biarkan aku membacanya sendiri.
Biarkan aku merasakan hantaman sakitnya sekaligus sebelum benar-benar
merelakannya. Kubuka gulungan kertas
kecil di dalamnya, membaca coretan yang tertera di atasnya:
“Malaikat yang baik,
aku tahu ini bukan permintaanku yang pertama dan barangkali kau sudah bosan
membaca tulisanku. Aku juga tahu ada
permintaan lain yang penting, tapi kumohon, kumohon, kumohon, kumohon, kumohon,
tolong kabulkan permintaanku kali ini.
Aku ingin melihat
Paman tersenyum. Ia agak bodoh dan
payah, tapi ia baik hati. Ia cuma tidak
tahu cara tersenyum. Jadi bisakah kau
beri ia lebih banyak alasan untuk tersenyum?
Please? Aku berjanji tidak akan pernah meminta apa
pun lagi setelah ini. Toh, sebentar lagi
aku akan bertemu langsung denganmu, kan?
Tolong ya, malaikat.
Salam sayang,
Frey.
PS. Oh ya, dan tolong buat ia bangun lebih pagi,
ya. Pastikan Paman sarapan, ia gampang
marah kalau belum makan.”
Tanganku
bergetar, dan kurasakan tetes-tetes mengaliri pipiku. Aku menengadah. Hujan turun.
Langit berlabur kelabunya yang biasa.
Tulisan dalam genggamanku sebagian pudar ditelan rinainya, tapi tidak
terhapus dari pikiranku. Aku mengingatnya. Aku akan mengingatnya.
Kubiarkan
wajahku diterpa, kubiarkan seluruh tubuhku basah, menghanyutkan gumpalan besar
yang sudah berhari-hari mencekikku dari dalam, melumpuhkanku. Bersamaan dengan tetesnya yang terakhir, dan
langit kembali membuka, aku dapat merasakan kedua kakiku lagi.
Dan
pelangi itu ada di sana. Lebih besar dan
lebih indah dari yang pernah kulihat sebelumnya. Warna-warnanya merekah terang, tapi tidak ada
yang semempesona warna barunya. Warna
kedelapan itu.
Kupandangi
warna itu. Tersenyum.
Bocah,
permintaanmu terkabul.
Dan
warnamu telah kubingkai abadi, dalam potret dan dinding kenanganku.
Malang,
21 April 2012
3 comments:
Cihuy... untuk pertamanya ku bilang, cerita yang ini bagus. hihihi.. Sebelum baca, ada temanku yang baca judulnya terlebih dahulu dan langsung celetuk, 'gak ada warna kedelapan', baru deh aku ngeh untuk membaca judulnya. Dan aku cuma bisa berkata, ya coba kita baca saja. Dan ternyata.. hihihi aku suka deskripsimu 'Warna yang tidak mampu kudefinisi. Tak terkatakan. Sebagaimana tak tersangkal.' Keren ta...keren...
oia, aku cuma mau koreksi atau bertanya mungkin ya, karena ada yang buat otakku berpikir setengah mati apa maksudnya?
Kata ini ta >>Pantas saja. Jika dilihat dari jauh, ujung pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini. Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya benar—meski sedikit melenceng.
Teorimu belum dideskripsikan ya sepertinya!!??
@cappucino_no:
Wah, Tania, dirimu pertamax! =))
Hihihi, memang ga ada warna kedelapan, kecuali di kotanya Frey dan si Paman =))
Teori tentang pelangi yang dia bilang itu maksudnya yang ini: "Seolah ia menganggap hujan sama dengan Sinterklas, dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda. Terkubur di dekat pelangi atau semacamnya."
Untuk tulisan berikutnya ntar aku belajar lebih baik lagi buat nulis deskrip deh, biar ga bikin bingung lagi =))
Anyway, makasih banyak udah mampir, baca, & komen *pelukin*
Ayok, kutunggu ceritamu juga :D
Aku nggak bingung kok bagian yg disebut sama Nia #dor =))
Dan ini beneran bagus... ih semua tulisanmu selalu bagus, moga2 kamu ga bosen ya denger aku bilang IH BAGUS terus hehehee...
Aku nangis bacanya... bocah itu beruntung banget... bahagia banget sampai2 dia bisa berharap buat kebahagiaan orang lain... so sweet...
Post a Comment